desa-suruhanKe mana orang berwisata di Kabupaten Semarang? Mungkin jawaban paling populer adalah pergi ke Bandungan, berburu sayur-mayur, bebuahan, tanaman hias, dan menikmati kesejukan udara di vila yang bertebaran di sana. Bisa juga mampir ke Candi Gedongsongo, Kopeng, Museum Kereta Api Ambarawa, Rawa Pening, atau ke Umbul Sidomukti.

Yap, ada banyak alternatif kunjungan di daerah yang kaya akan objek wisata, baik wisata alam, budaya, maupun peninggalan sejarah itu. Bagaimana kalau berwisata ke tempat yang bernuansa nostalgis dan ”ndesa” di Dusun Suruhan, Desa Keji, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang?

Desa wisata itu berjarak sekitar 26 km dari Kota Semarang. Berada di lereng Gunung Ungaran dengan panorama khas pedesaan, hawanya begitu sejuk. Perintisnya Sanggar Tari dan Studio Pelestari Seni Budaya dan Permainan Tradisional Yoss Tradisional Center (YTC), hampir satu tahun berselang.

Boleh dibilang, YTC hampir serupa dengan Saung Angklung Mang Udjo di Bandung. Sajian budaya dan tradisi angklung dimainkan dalam sebuah pertunjukan yang menarik. Sama halnya juga jika kita berkunjung ke Bali dan menyempatkan diri menyambangi Bali Classic Centre. Tempat-tempat tersebut menonjolkan kesenian masing-masing daerah yang khas.

Kalau soal popularitas, mungkin masih belum semoncer yang di Bnadung atau Bali. Meski begitu, gagasan Yossiady BS untuk mewujudkan desa itu sebagai tempat wisata edukatif tetap patut diapresiasi. Apalagi potensi desa yang berdekatan dengan sumber air Watu Kemloso itu tak kalah dengan desa wisata lainnya yang sudah eksis di Kabupaten Semarang seperti desa wisata Kopeng Kecamatan Getasan, Desa Candi dan Desa Sidomukti Bandungan, serta Desa Bejalen Ambarawa.

Untuk mencapai Dusun Suruhan Desa Keji, jalur paling gampang adalah lewat alun-alun Ungaran kemudian ke arah utara atau menuju ke Gunungpati. Jaraknya sekitar 4 km dari Kota Ungaran. Setelah melewati Terminal Sisemut hingga ke Perumahan Mapagan, silakan belok ke kiri dan ikuti petunjuk arah yang terpampang jelas.

Jalan berkelak-kelok sedikit menanjak dan tak terlalu lebar mewarnai perjalanan saya. Minggu (15/2) pagi itu mendung menggelayut. Hari itu akan ada Gelar Adat Budaya Tradisional di objek wisata nostalgis tersebut. Saya sedikit khawatir kalau-kalau acara itu bakal kacau lantaran hujan. Hmm, kekhawatiran itu terpupus oleh kehijauan terasering persawahan di sepanjang perjalanan. Tak kalah dengan persawahan di Bali yang begitu memantik pesona.

Sampai di Lapangan Siseret Dusun Suruhan, wahana kirab budaya bakal berlangsung, sudah banyak orang berkumpul pada area seluas sekitar 1.000 m2. Begitu hangat suasananya oleh tegur sapa anak-anak desa menyambut kedatangan tamu lengkap dengan pengalungan replika kuda lumping warna-warni.

Tampaknya tak ada celah yang tersisa. Begitu penuh dan meriah. Kios-kios bambu beratap sirap menawarkan aneka suvenir, makanan dan minuman khas, dan arena permainan tradisional. Ramai pula gubug untuk belajar membatik motif khas kuda debog-bunga terompet dan srengengen, pengenalan tokoh wayang Punakawan. Yang di situ kebanyakan anak-anak kelompok bermain dan TK.

Mereka terlihat riang. Beberapa tampak tercengang seperti baru kali itu melihat beberapa permainan ”ndesa” di situ seperti dakon, egrang, teklek atau bakiak, sprinto karet, atau gasingan. Maklum saja, barangkali mereka lebih akrab dengan permainan semacam playstation (PS), boneka barbie, mobil-mobilan dengan remote control, atau lego.

Tak hanya ketika ada acara khusus, setiap hari Minggu, Anda bisa berkunjung ke sana untuk menikmati suasana pedesaan dan pelbagai atraksi kesenian, khususnya tari. Lihat misalnya tarian selamat datang ”Kuda Debog”. Begitu unik dan rancak. Penari anak-anak yang semuanya laki-laki yang menunggang ”seekor kuda” dari pelepah pohon pisang. Dengan kostum dedaunan yang unik, anak-anak itu menari dengan lincah seturut alunan gamelan dan lantunan merdu sinden. Setelah itu, giliran beberapa remaja perempuan menari kuda lumping pesisiran lengkap dengan kostum cerah dan tata riasan meriah seturut irama musik lesung. Eksotis.

Pemilihan kuda lumping atau kuda kepang itu bukannya tanpa alasan. Sudah lebih dari tiga generasi penduduk di situ adalah pembuat dan penari jaran kepang. Menurut Yossiady BS dari tim kreatif dan jelajah pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Semarang, ada sekitar 95 orang Suruhan yang menekuni kesenian tersebut.

”Ini upaya kami melestarikan tradisi,” tandas lelaki yang akrab disapa Yossi itu.

Benarlah, wisata edukatif seperti YTC layak mendapat perhatian. Selama ini, mereka berswadaya membangun desa wisata yang diperoleh dari saweran hasil pertunjukan, sedikit demi sedikit disisihkan untuk kas dan membangun sarana penunjang yang representatif.

Berdasarkan data YTC, sejak dibuka hampir setahun lalu sudah hampir 1.000 wisatawan berkunjung. Ketua ASITA Jateng Bambang Setyono bahkan berencana membawa 400-an turis asing Amerika Serikat yang berwisata dengan kapal pesiar pada November nanti untuk mengunjungi wisata nostalgis tersebut. Menurut dia, potensi pembelanjaan turis asing begitu luar biasa dan jika memang lokawisata yang terhitung baru ini bisa dikemas lebih atraktif, dia yakin Suruhan layak dikunjungi.

”Masih ada banyak waktu untuk berbenah dan saya harap pemerintah daerah memperhatikan keberadaan desa wisata ini. Nuansa desa di sini tak kalah dengan Bali, lho,” ujarnya.

Tapi apakah hanya pertunjukan seni budaya saja yang bisa kita nikmati? Tidak. Sumber air Watu Kemloso yang berada tak jauh dari lokasi tersebut juga jadi pelengkap perwisataan. Lebih-lebih setiap tahunnya ada ritus Iriban Banyu Kemloso. Perayaan yang jatuh pada Agustus tepatnya Sabtu Pahing itu biasanya digelar besar-besaran dengan kirab sesaji ke sumber air penghidupan warga itu.

Sebelum acara ritual, lokasi sekitar sumber akan dibersihkan dan ayam-ayam yang dibawa warga akan dipotong. Darah pertama si ayam akan diteteskan ke sumber yang ke­luar dari semak-semak di lereng bukit itu. Me­nurut Mbah Rajak (55), salah seorang se­se­puh, ritus itu sebagai ungkapan syukur war­ga sekaligus upaya pelestarian sumber air.

Selain itu, jalur menuju Kemloso inilah yang sering digunakan untuk tracking. Jaraknya tak sampai 1 km untuk sampai ke sungai berbatu dengan aliran air deras dari atas bukit. Batu-batu besar menghiasi alur sungai yang biasanya dijadikan rute petualangan. Dengan panjang 1,2 km, sungai berkelok-kelok itu sangat jernih di luar mu­sim hujan. Kalau hujan, airnya cokelat. Itu berbeda dari Watu Kemloso yang airnya selalu jernih pada musim apa pun.

Pecel Gablog dan One-day Tour

Selain alam dan atraksi kesenian tradisional, Suruhan juga asyik untuk wisata kuliner. Salah satunya, Anda bisa menikmati gethuk tetek melek. Unik sekali namanya. Kata Sunarti (35), salah seorang pembuat penganan itu, gethuk berbahan baku singkong ini hampir sama dengan kue jongkong. Bedanya cuma pembungkusnya saja: jongkong dengan daun pisang, sedangkan tetek melek dibungkus plastik.

Dinamakan melek, karena pembuatannya sambil melek-melek (be­ga­dang) dengan harapan yang me­nyan­tap gethuk itu bisa terus melek (terjaga) dalam menyaksikan pertunjukan adat dan tarian. Cara mem­buat­nya mudah. Singkong cu­kup di­pa­rut dan diberi garam dan gu­la Ja­wa selanjutnya dikukus dan di­letak­kan di atas nampan. Tunggu sampai dingin baru dipotong-potong dan disajikan dengan parutan kelapa.

Menu lain yang patut dicoba adalah pecel gablog. Jika biasanya kita makan pecel gendar, maka menu yang satu ini menggunakan gablog yang dibuat dari beras. Setelah dimasukkan ke plastik, beras kemudian direbus hingga penuh.

Selanjutnya beras setengah matang sekaligus plastiknya ikut dikukus. Butuh waktu satu jam sampai gablog bisa disantap. Membuat gablog tak perlu pakai bumbu. Cukup bumbu sambal pecel saja yang dicampur sayuran semacam sawi, tauge, bayam, dan daun kenci plus tambahan tempe mendoan. Hmm…

Kalau ada pertunjukan, kedua penganan itu jadi serbuan pengunjung. Apalagi seporsi hanya Rp 2.000. ”Acara baru mulai pukul 10:00, tapi pagi-pagi sudah banyak orang datang untuk memesan. Saya sering kewalahan,” cerita Sunarti.

Di luar itu, kalau ke Suruhan, kita bisa menyewa homestay di rumah penduduk. Harganya sangat terjangkau. Cukup Rp 50 ribu per orang, pengunjung tak perlu khawatir lagi soal makanan. Selebihnya jika ingin membeli paket-paket tertentu seperti kelas membatik atau permainan edukatif lainnya, kita pun tak perlu merogoh kocek terlalu tebal. Hanya Rp 5-Rp 10 ribu per orang.

Bahkan, YTC juga menyediakan paket One-day Tour di Kabupaten Semarang. Semisal turis turun dari bandara atau kereta api di Semarang, biasanya bus akan menjemput dan mengantar ke berbagai tujuan yang telah diatur sedemikian rupa. Seharian, para turis akan diantar ke industri herbal Ibu Hj Herlin, YTC, industri makanan khas Tumpi, industri tas Deliwang, dan industri tahu baxo Ibu Pudji.

Selanjutnya acara makan siang lesehan bermenu terancam bumbu khas dengan ikan gurami bakar dan ayam bakar di Umbul Sidomukti sebelum ke industri bordir Desa Jetis, Museum KA Ambarawa, Pemandian Muncul, dan Desa Wisata Kopeng untuk melihat cluster tanaman hias dan menikmati stroberi.

Semuanya hanya perlu mengeluarkan Rp 125 ribu per orang, lengkap dengan transportasi bus mini. Rasanya harga tersebut masih cukup terjangkau untuk sebuah paket wisata dengan banyak tujuan.

Pasalnya, itu juga sudah termasuk tiket masuk lokawisata, suvenir, minuman dan tarian selamat datang, penganan ringan, dan makan siang.

Sumber: Suara Merdeka