Batu yang bentuknya seperti lonceng itu ditemukan di sebelah menhir pipih yang disebut sebagai Batu Kujang. Formasi batu di lokasi itu seperti pola punden berundak.

Batu yang bentuknya seperti lonceng itu ditemukan di sebelah menhir pipih yang disebut sebagai Batu Kujang. Formasi batu di lokasi itu seperti pola punden berundak.

Kota Lembang, ibukota kecamatan yang terletak sepuluh kilometer di utara Kota Bandung ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Setiap akhir pekan, Lembang tidak pernah sepi dari wisatawan. Para wisatawan itu umumnya datang untuk berekreasi dan berbelanja. Selain membeli sayuran segar di pasar, mereka juga bisa menikmati wisata kuliner yang beranekaragam di kawasan itu.

Apakah hanya itu yang ada di Kota Lembang? Meski demikian, belum banyak orang yang memperhatikan warisan geologi di sana. Padahal, salah satu yang sering terabaikan meski bentuknya cukup mencolok adalah Gunung Batu. Lokasinya pun tidak jauh dari Kota Lembang. Agar bisa mencapai lokasi ini, kita bisa mengikuti jalanan yang menghubungkan kota itu dengan tempat wisata alam Maribaya di sebelah baratnya. Apabila menggunakan kendaraan bermotor, gunung itu sudah bisa dilihat berada di sebelah kanan jalan dalam waktu sekitar lima menit saja. Buat Anda yang ingin merasakan hawa sejuk Lembang pada pagi hari, bisa juga menyewa delman untuk sampai ke sana.

Gunung Batu yang lebih tepat disebut sebagai bukit itu merupakan bagian kecil dari retakan di kerak bumi, yang dikenal sebagai patahan atau Sesar Lembang.

Bersama sekitar 40 orang lainnya yang menjadi peserta dalam acara Jajal Geotrack I dengan tema Potensi Wisata Sesar Lembang, SP berkesempatan menyambangi batuan yang sudah ada sejak 520.000 tahun lalu itu. Kami berangkat ke sana sejak pukul delapan pagi dengan menggunakan dua buah bus pariwisata pada pertengahan bulan Juli lalu.

Perjalanan ini dipandu oleh dua penulis buku Wisata Bumi Cekungan Bandung Budi Brahmantyo dan Titi Bachtiar. Keduanya secara bergantian memberikan penjelasan soal batuan bekas lava Gunung Sunda itu.

Menurut Budi, patahan itu adalah retakan di kerak bumi yang telah menggeser blok yang dipisahkannya. Sesar Lembang, digolongkan sesar normal. Bagian Blok Lembang di sebelah utara, ambles, menurun. Sedangkan, blok bagian selatan terangkat naik. Maka terbentuklah bidang geser patahan yang miring terjal ke arah utara.

Setelah berjalan sekitar 20 menit dari tempat bus berhenti, kami pun tiba di puncak batuan bekas lava itu. Dari puncaknya yang mudah didaki ini, terlihat jelas gunung-gunung yang mengelilingi Kota Bandung. Mulai dari Gunung Malabar, Wayang, dan asap dari panas bumi di Kawah Kamojang. Kota Garut juga terlihat jelas di sebelah selatan. Bergeser ke sebelah barat, terlihat sosok Gunung Gede dan Pangrango. Jika kita melihat ke timur, tampak Gunung Bukit Tunggul. Kalau kita mengarahkan mata ke utara, terlihat Gunung Tangkubanperahu dan Gunung Burangrang, yang menjadi bagian dari legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Titi Bachtiar memaparkan, dua gunung itu terbentuk dari letusan gunung api Sunda yang tingginya diperkirakan antara 3.000 hingga 4.000 meter dari permukaan laut. Pada zaman kuarter Pleistosen atau 1,8 juta tahun hingga 5 juta tahun lalu gunung tersebut meletus dan membentuk kaldera. Istilah itu diambil dari bahasa Spanyol yang artinya ketel besar. Dalam konteks letusan gunung diartikan sebagai cekungan atau kawah yang sangat besar di puncak gunung api akibat letusan dahsyat. Akibatnya, bagian puncak gunung amblas.

Gunung Tangkubanparahu lahir sekitar 125.000 tahun lalu dari sisi timur kaldera Gunung Sunda. Letusan berikutnya terjadi 55.000 tahun yang lalu. “Material letusannya membendung Citarum Purba di utara Padalarang sehingga terbentuk Danau Bandung Purba,” terang Bachtiar.

Bentuk perahu terbalik, yang terlihat dari arah Kota Bandung, pada gunung itu akibat letusan-letusan berikutnya berupa lava yang mengalir perlahan di lembah, di empat sisi mata angin. Meskipun menyajikan pemandangan yang menakjubkan, Sesar Lembang ini menyimpan potensi gempa yang cukup besar.

Budi mengungkapkan, apabila patahan yang membentang sepanjang hampir 25 kilometer dari Cianjur hingga Gunung Palasari di sebelah timur aktif kembali, bukan tidak mungkin terjadi gempa bumi berkekuatan 6,5 hingga 7 skala richter.

Selesai menyaksikan pemandangan di sana, rombongan pun kembali ke bus. Kali ini tujuan selanjutnya adalah Kampung Batuloceng di Desa Gegersunten, Cibodas yang masih termasuk ke dalam Kecamatan Lembang.

Sebelum sampai di sana, rombongan berhenti dulu di Maribaya, yang berada di sekitar dinding Sesar Lembang. Tempat ini menjadi lokasi terpotongnya Sesar Lembang oleh Sungai Cikapundung.

Perjalanan dilanjutkan dengan bus. Kali ini, rombongan disajikan bentang alam Sesar Lembang yang menyejukkan mata. Sayangnya, pembukaan lahan kebun di beberapa bagian dari bentang alam itu merusaknya. Buat Budi dan Titi Bachtiar, pemandangan di sana tidak kalah dengan pegunungan di Alpen, Swiss.

Mendekati jam makan siang, kami tiba di pintu masuk Kampung Batuloceng. Kampung ini terletak di sebelah timur Sesar Lembang, tempat hulu anak sungai Ci Kapundung bermula.

Selesai makan siang, rombongan melanjutkan perjalanan dengan menapaki jalan setapak ke arah kampung yang jumlah rumahnya tidak lebih dari 50 bangunan. Suara lenguhan sapi dan bau pupuk memberikan suasana berbeda buat sebagian peserta yang banyak menghabiskan hidupnya dalam suasana perkotaan.

Burung “Manintin”

Nama kampung ini didasarkan pada sebuah batu yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Secara fisik, tinggi batu itu sekitar 40 sentimeter, membulat membentuk silinder seperti tabung dengan diameter 25 sentimeter. Pada bagian atasnya ada sebuah tonjolan bulatan yang tingginya sekitar 15 sentimeter dan diameter 5 sentimeter. Sekilas bentuknya memang seperti lonceng.

Masyarakat di sana menyebut batu yang berbentuk lonceng ini sebagai Batuloceng, keramat. Permukaan batunya sendiri berwarna hitam dan berlubang-lubang hasil pelepasan gas ketika batu membeku. [Suara Pembaruan/Adi Marsiela]