Embos Min, upacara yang dipimpin sesepuh adat.

Sejumlah perempuan Dayak Wahea.

Menarik, bila Anda berkesempatan mengunjungi masyarakat adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Di tempat ini, kabarnya kita bisa melihat upacara adat yang cukup menarik dan penuh makna, yang hingga kini masih dipelihara serta dilestarikan dengan baik oleh masyarakat setempat.

Itulah sebabnya, wartawan SP bersama rombongan wartawan lainnya dan rekan-rekan dari LSM The Nature Conservancy (TNC) yang berjumlah 20 orang, berniat mengabadikan upacara adat yang hanya berlangsung sekali satu tahun ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh, berkunjung ke Desa Nehas Liah Bing, akan cukup menguras tenaga. Setidaknya membutuhkan waktu sekitar 13 jam untuk mencapai desa tersebut dari kota Balikpapan, pintu masuk Kalimantan Timur.

Dari Balikpapan menuju Samarinda membutuhkan waktu 4 jam, kemudian dilanjutkan ke arah Sangatta dengan durasi jam yang sama. Dari Sangatta menuju Desa Nehas Liang Bing harus ditempuh dengan waktu 5 jam.

Memetakan kondisi ini, rombongan yang berangkat dari Jakarta tiba Sabtu (21/4) siang di Balikpapan memutuskan untuk beristirahat sejenak di Samarinda dan bermalam di Sangatta, untuk memulihkan kondisi badan. Baru keesokan harinya rombongan berangkat dari Sangatta.

Di sepanjang jalur terlihat pohon-pohon hijau berjejer di tepi jalan meski tidak terlalu tinggi. Di beberapa lokasi terlihat kawah besar berwarna hitam legam hasil tambang batu bara milik PT Kaltim Prima Coal (PT KPC). Maklumlah sebagian besar jalur jalan ke arah desa Nehas Liang Bing berada dalam wilayah produksi PT KPC.

Kondisi jalur jalan yang rusak parah, berkelok-kelok, dan menanjak menjadi tantangan tersendiri. Tidak jarang, penumpang harus terguncang-guncang dalam perjalanan, atau mobil mengerem mendadak karena adanya lubang besar tertutup air hujan yang menganga di tengah jalan.

Tiba di Desa Nehas Liah Biang Senin (22/4) malam, rombongan pun menginap di rumah kepala suku adat, Ledjie Taq (53 tahun). Menurut Kepala Adat Suku Dayak Wehea ini, besok pagi ada acara adat yang akan dilangsungkan di desa mereka.

Benar saja, keesokan haginya tepatnya pukul 11.00 WITA (jadwal pukul 09.00 WITA) upacara mulai berlangsung. Upacara adat ini bernama Lom Plai. Menurut Pak Ledjie, kata Lom yang diterjemahkan dari kata Erau, mengandung dua pengertian yakni mengantisipasi agar tidak sakit, selamat dan panjang umur, atau suatu usaha penyembuhan terhadap orang sakit.

Tujuan dari Lom Plai ini adalah agar masyarakat sehat, selamat, dan panjang umur, serta supaya pada musim tanam berikutnya, padi dan tanaman lain yang dibudidayakan oleh masyarakat terhindar dari hama dan penyakit, dan juga mendapatkan hujan yang cukup sehingga padi dan tanaman lainnya dapat tumbuh dengan subur serta memberikan hasil yang berlimpah kepada masyarakat.

Upacara Lom Plai ini dilakukan setelah selesai masa panen dan berlangsung sekitar satu bulan lamanya. “Upacara ini sebagai bentuk rasa syukur masyarakat akan panen yang berhasil,” ujar Pak Ledjie.

Acara yang berlangsung pagi itu disebut Embob Jengea yang merupakan puncak dari upacara Lom Plai. Sebelum masuk ke puncak upacara, masyarakat sudah melakukan serangkaian upacara lainnya cukup panjang.

Dimulai dari Ngesea Egung (memukul gong), Pesilla (rotan kotok yang disambung sepanjang 20 meter sampai 40 meter), Laq Pesilla (mengambil Pesyai yaitu rotan kotok dan buah Pis), Peknai (penyiraman lepada ketua adat), Naq Pesilla (membuat Pesya).

Dilanjutkan Petdeq Le’on (tukar-menukar beras baru yang telah digoreng), Naq Kenan Plai (membuat makanan dari padi yang dilakukan di bawah kolong rumah), Unding (2 potong kayu yang berfungsi memanggil roh padi), Endee Menan (membuang sial), Naq Jengea (membuat pondok darurat).

Menyongsong acara puncak, pagi harinya masyarakat suku Dayak melakukan pesta yang berarti membuat lemang. Penganan khas masyarakat Dayak Wehea ini dari tepung beras yang dimasak dalam potongan-potongan batang bambu. Setiap warga, khususnya pendatang, biasanya diundang oleh masyarakat setempat ke rumah untuk menikmati masakan penganan gurih ini.

Di Desa Nehas, kata pak Ledjie, ada sekitar 1.300 kepala keluarga (KK). Warga asli suku Dayak Wehea sendiri diperkirakan berjumlah 700 KK, selebihnya adalah pendatang atau campuran karena perkawinan.

Seksiang perang-perangan di Sungai Wahea.

Salah satu peserta  upacara.

Perang-perangan

Setelah mundur dua jam dari yang direncanakan, prosesi puncak pun dimulai. Beberapa perempuan dewasa dipimpin sesepuh adat berjalan ke arah hulu atau hilir kampung sambil mengibas-ngibaskan bulu ayam yang dibawa. Acara ini dikenal dengan nama Embos Min.

Acara yang dilakukan di jalan utama desa ini bermaksud membuang segala kesialan dan kejahatan yang ada didalam kampung. Aturannya, jalan yang dilewati barisan tidak boleh dilewati atau dilintasi oleh siapapun baik manusia dan/ atau hewan.

Prosesi ini dilakukan berkali-kali. Dan untuk mengamankan prosesi ini, seorang petugas adat ikut mengawasi.

Saat dilakukan upacara Embos Min, di tengah sungai berlangsung pula acara lanjutan yang cukup menarik yakni seksiang atau perang-perangan. Uniknya, perang-perangan ini berlangsung di Sungai Wehea bukan di darat.

Acara perang-perangan ini umumnya diikuti oleh pemuda-pemuda yang berfisik kuat dengan memakai beberapa perahu ke hulu sungai dan sambil hanyut mengikuti arus air sungai, mereka saling melempar batang pohon (mewakili tombak) dan permainan ini dilakukan sambil menunggu Embos Min selesai.

Usai perang-perangan usai, masyarakat melakukan siraman. Di sini setiap orang berhak menyiram siapa pun yang ditemuinya dan yang disiram tidak boleh marah. Arti dari siraman ini, bahwa diharapkan dengan adanya air panen musim depan bisa lebih baik.

Setelah siram-siraman, dilakukan beberapa acara lagi, seperti Nelha La (menggantung rumput), Entuem Pang Tung Eleang (menerobos ujung titian), Ngesea Egung (memegang rumput yang telah digantung), Laq Gues (mengambil tawanan).

Upacara kemudian dilanjutkan dengan tari-tarian bernuansa magis. Tarian pertama yang dilakukan di lapangan desa yakni tarian Hedoq (hudoq) yang merupakan tarian jin yang menurut kepercayaan warga setempat dapat membantu manusia, yang berasal dari bawah air, dari atas tanah, dan dari khayangan. Tarian tersebut dipercaya dapat menyembuhkan penyakit tertentu serta mendatangkan semangat (roh) padi, sehingga pada musin tanam berikutnya, padi menjadi subur. Malam harinya, diadakan tarian Tumbambataq, Jiak Keleng, Ngewai dan Enluei untuk menghibur warga.

Akhirnya, acara puncak Lom Plai pun ditutup dengan prosesi Embos Epaq Plai yakni mem- buang hampa padi. Dalam bagian ini semua masyarakat berjalan menuju ke bagian hulu kampung dan secara perlahan berjalan ke arah hilir kampung dengan menyanyikan Doa.

Pak Ledjie mengatakan, upacara adat seperti Lom Plai ini sepertinya sudah mulai tidak populer lagi di masyarakat dan terancam punah. “Kondisi ini terjadi bukan karena tidak adanya regenerasi, tetapi lebih karena aturan adat yang membatasi adanya prosesi yang tidak boleh diketahui sembarang orang terutama kaum muda. Jadi ya, tidak regenerasi,” katanya.

Tentu saja kita harapkan, upacara adat itu tetap bisa lestari, sebagai salah satu bentuk kekayaan adat di Tanah Air kita. [SP/Erwin Lobo]