UJUNG KULON tahun 1808. Gubernur Jenderal Herman William Daendels memaksa Sultan Banten mengirim 1.000 pekerja rodi setiap hari untuk membangun pangkalan angkatan laut dan pelabuhan di Ujung Kulon.Seiring dengan berjalannya proyek, ribuan pekerja meninggal diserang malaria, kolera, gas beracun, dan dimangsa binatang buas. Akibat kondisi alam yang ganas itu banyak pekerja rodi yang lari dan akhirnya pekerjaan di Ujung Kulon gagal. Daendels kemudian memindahkan pembangunan pelabuhan itu ke Anyer, Banten.
Itulah salah satu cerita keganasan dan keliaran Ujung Kulon yang tertulis di buku-buku sejarah. Dan gambaran keganasan alam Ujung Kulon masih tersisa hingga sekarang. Hamparan hutan belantara luas dengan bukit-bukit terjal di antaranya masih berdiri dengan tegak.
Pepohonan besar berusia ratusan tahun dengan ribuan satwa liar yang tiba-tiba bisa muncul di depan mata juga masih ada. Malah “raksasa” Gunung Krakatau yang pernah mengguncang dunia lewat letusannya tahun 1883 dan 1927 masih bertengger dengan angkuhnya.
Namun, dibalik keangkeran dan keganasannya, Ujung Kulon memiliki keindahan tiada tara. Pasir putih menghampar di sela-sela hijaunya hutan rimba. Laut biru menawarkan keindahan biota laut yang tak akan bosan dinikmati mata.
Beberapa kapal pesiar yang mengangkut orang asing bisa berhari-hari terapung-apung di sekitar selat Panaitan (wilayah perairan Ujung Kulon) hanya untuk menikmati keindahan ikan dan terumbu karang. Belum lagi keliaran hutan rimba yang memiliki daya tarik tersendiri untuk dijelajahi.
Oleh karena itu, saat melihat keindahan pesisir pantai di kawasan Ujung Kulon, kesan angker itu langsung sirna. Daerah yang dulu pernah ditakuti pekerja rodi zaman penjajahan Belanda itu ternyata bagaikan surga tropis di ujung paling barat Pulau Jawa.
Perjalanan menuju Kawasan Taman Nasional (KTN) Ujung Kulon membutuhkan waktu kurang lebih enam jam dari Jakarta. Wisatawan bisa melalui rute pintu tol Cilegon Barat-Anyer-Carita-Labuan selama tiga jam. Dari Labuan kemudian disambung menuju Sumur dan Tamanjaya, gerbang terakhir ke KTN Ujungkulon. Jika ingin jalur yang lebih dekat, wisatawan bisa melalui Serang-Pandeglang-Labuan.
Dari Labuan, perjalanan masih sekitar tiga jam lagi menuju Kota Kecamatan Sumur. Untuk menuju kawasan Ujung Kulon bukan perjalanan yang mudah dilalui. Ketika mendekati Sumur, jalan yang ditempuh berliku-liku serta sesekali menanjak tajam. Kondisi jalan dalam kondisi rusak berat, penuh lubang besar dan tergenang air-mungkin lebih pantas disebut kubangan-akibat hujan sepanjang sore.
Saat hampir tiba di Sumur, wisatawan bisa melihat hutan lebat Gunung Honje yang berada di sepanjang kiri jalan. Hutan itu sudah merupakan bagian dari KTN Ujung Kulon. Menurut penduduk sekitar, rute itu termasuk rawan kejahatan di malam hari. Mereka menyarankan, jika malam hari belum sampai ke Sumur, lebih baik wisatawan menginap di sekitar Carita dan Labuan agar bisa melanjutkan perjalanan di siang hari.
***
Kecantikan Sumur biasanya membuat lupa dengan perjalanan yang memakan waktu lebih dari enam jam itu. Dibandingkan Desa Tamanjaya, gerbang terakhir KTN Ujung Kulon, Kecamatan Sumur memiliki tempat wisata yang berpotensi untuk dikembangkan. Di antaranya adalah Pantai Dadap Langu, Pantai Kesik Panjang, dan Pantai Ciputih. Ketiga pantai berpasir putih itu membentang panjang di Desa Kerta Mukti.
Bukan hanya investor besar yang tertarik dengan kecantikan Pantai Kesik Panjang dan Pantai Dadap Langu. Bahkan para pejabat dan pengusaha besar di Jakarta sudah rebutan mengkapling tanah yang dibelinya dari penduduk.
Beberapa cottage pribadi dengan berbagai macam bentuk dan ukuran sudah berdiri di dekat pantai. Singkatnya, kedua pantai tersebut-yang keindahannya tak kalah dari pantai-pantai di Bali dan Lombok-juga sudah habis dikapling orang.
Jalan yang menuju Pantai Kesik Panjang, Dadap Langu, dan Ciputih masih berupa jalan tanah yang diperkeras dengan pasir dan batu (sirtu). Disepanjang kiri kanan jalan berderet pohon kelapa. Menurut Rahmat, Pemerintah Kabupa-ten (Pemkab) Pandeglang berencana menjadikan Kecamatan Sumur-yang berpenduduk sekitar 17.000 jiwa-sebagai “Bali Kedua”. Bahkan Pemkab Pandeglang sudah memilih satu tempat di Desa Kertamukti untuk dijadikan desa wisata.
Rencananya, desa wisata akan dibuat semacam desa kerajinan yang memproduksi aneka ragam kerajinan ciri khas setempat. Desa itu juga akan mempertahankan keaslian rumah penduduk Ujung Kulon, yaitu berupa rumah panggung sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai papan, dan beratap daun kelapa. Selain bekerja menggarap sawah, masyarakat lokal juga akan dilatih membuat aneka kerajinan dengan bahan baku setempat.
Dari Sumur, perjalanan bisa dilanjutkan ke Desa Tamanjaya. Kondisi jalan dari Sumur ke Tamanjaya jauh lebih parah dibandingkan Labuan-Sumur. Untuk menempuh jarak sekitar 12 km, dibutuhkan waktu hampir satu jam. Jika barang yang dibawa tidak terlalu banyak, perjalanan lebih nyaman dan cepat menggunakan ojek sepeda motor.
Tidak usah bingung mencari ojek karena penduduk di Sumur banyak menyediakan jasa menjadi tukang ojek untuk membawa wisatawan ke Tamanjaya.
***
Untuk menjelajahi seluruh KTN Ujung Kulon dibutuhkan waktu beberapa minggu mengingat luas kawasan itu mencapai 120.551 hektar. Selain konservasi flora dan satwa di daratan yang luasnya mencapai 76.214 hektar (63,22 persen luas seluruh KTN), Ujung Kulon juga merupakan daerah konservasi laut yang luasnya mencapai 44.337 hektar.
Ujung Kulon dinyatakan sebagai kawasan yang dilindungi sejak tahun 1921 dan dinyatakan sebagai daerah tertutup. Pada tahun 1992, KTN Ujung Kulon ditetapkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Situs Alam Warisan Dunia (Natural World Heritage Site) karena memiliki banyak keanekaragaman hayati.
Tempat itu juga merupakan merupakan habitat terakhir Badak Jawa bercula satu (Rhinoceros sondaicus). Sebagian besar masyarakat Ujung Kulon percaya, meski banyak diburu dan dibunuh, badak jawa di dalam hutan Taman Nasional jumlahnya tetap 40 ekor. Konon, jumlah itu tidak akan berkurang hingga akhir jaman.
Mereka beranggapan, badak jawa merupakan jelmaan putri Raja Galuh yang enggan dipersunting raksasa dari Pulau Panaitan. Mereka juga percaya, siapa pun yang berani menyakiti, melukai atau membunuh badak, maka ia tidak akan pernah selamat sepanjang hidupnya.
Setiap tahunnya, menurut data Pengawasan Hutan dan Perlindungan Alam (PHPA) Dinas Kehutanan Labuan, Ujung Kulon dikunjungi sekitar 6.000 wisatawan domestik dan manca negara. Wisatawan asing yang datang ke Ujung Kulon paling banyak berasal dari Australia, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Inggris, dan Perancis.
PHPA KTN Ujung Kulon mengembangkan tujuh daerah tujuan wisata (DTW) di Ujung Kulon, yaitu Pulau Panaitan, Gunung Honje, Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Peucang, Pulau Handeleum, Sanghyang Sirah, dan sepanjang pantai selatan mulai dari Karangran-jang, Cibandowoh, Cibunar, dan nyambung ke Sanghyang Sirah.
Pulau Peucang merupakan primadona yang paling banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. “Rasanya belum datang ke Ujung Kulon kalau belum menginjak Pulau Peucang,” kata Komar pemilik perahu nelayan di Desa Tamanjaya yang siap mengantarkan kami ke “pulau surga” itu.
Saat menuju Pulau Peucang, perahu bisa mampir dulu di Pulau Handeuleum. Dari Pulau Handeuleum perjalanan dilanjutkan ke Pulau Peucang. Pulau yang menjadi andalan kawasan tersebut dikelilingi hamparan pasir putih dan laut biru jernih kehijauan. Pemandangannya sangat mempesona mata.
Kerlap-kerlip lampu bagang (tempat penangkapan ikan di tengah laut), yang dipakai sebagai penunjuk arah, menambah keeksotisan alam Ujung Kulon di malam hari. Hilang sudah kesan angker yang sebelumnya sempat terbayang seperti ditakutkan para pekerja rodi di masa silam. (LUSIANA INDRIASARI)