tawaoMenatap “kunang-kunang” malam tepat di garis terdepan Pulau Sebatik, tepatnya di Pos TNI AL Sungai Pancang, mampu membuat seseorang tersihir dan berfantasi tentang adanya Neverland –dunia imajinasi asal tokoh kartun Peter Pan– di seberang lautan.

Semakin lama seseorang menatap ratusan “kunang-kunang” yang menerangi “negeri penuh harapan dan impian” itu, semakin kuat pula “sihir” merayu untuk datang menghampirinya.

Itulah kekuatan lampu-lampu malam Ibukota Distrik Tawao yang tampak bak kunang-kunang yang menggambarkan betapa gemerlapnya kota tersebut sebagai bagian dari Sebatik wilayah Negara Malaysia.

Sebatik sendiri merupakan pulau yang terbagi oleh dua negara Indonesia dan Malaysia. Wilayah Sebatik milik Indonesia merupakan sebuah kecamatan bagian dari Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, sedangkan Sebatik milik Malaysia menjadi bagian dari Negara Bagian Sabah.

Semua aktivitas perekonomian Kecamatan Sebatik seakan tersedot peradaban Tawao yang pesat. Tidak heran masyarakat dari pulau terbesar di Kabupaten Nunukan tersebut menggunakan dua mata uang sekaligus untuk bertransaksi.

Dengan jarak tempuh hanya 30 menit dengan speed boat alias kapal tempel, Tawao berhasil membuat masyarakat Sebatik menggantungkan kehidupannya pada Negeri Jiran tersebut.

Samat, pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menetap selama 31 tahun di Sebatik mengatakan, listrik merupakan penanda batas peradaban antara Malaysia dan Indonesia di wilayah tersebut.

Pemandangan sangat kontras memang tampak saat malam mulai menyelimuti perairan Laut Sulawesi. Bahkan dari jarak ratusan mil Tawao begitu gemerlap oleh cahaya sementara Kecamatan Sebatik hanya ditandai oleh satu cahaya suar yang sesekali menghilang saat berputar.

“Baru ada tambahan dua mesin dari PLN, lumayan. Sebelumnya sering sekali listrik mati. Hari ini hidup besok mati,” ujar Samat.

Di daratan Sebatik sendiri, malam hari bak warung remang-remang. Penerangan di masing-masing rumah penduduk terkadang hanya berasal dari bola lampu lima watt yang tampak muram di salah satu ruang dalam rumah.

Sulit berkembang

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nunukan, Muhammad Yusuf pun mengatakan, listrik pula yang menjadi kendala tidak berkembangnya sektor perikanan di Sebatik.

Sudah sejak lama sumber daya ikan yang dimiliki Kabupaten Nunukan tanpa mendapatkan nilai tambah seluruhnya dibawa ke Tawao. Semua hasil perikanan tersebut akan kembali lagi ke tanah air dalam bentuk produk perikanan hasil olahan industri-industri makanan di sana.

“Bagaimana kita bisa dapat nilai tambah, cool storage saja kita tidak bisa pasang karena listriknya tidak mampu,” ujar Yusuf.

Yusuf menegaskan bahwa Pemda setempat mampu membangun sendiri cool storage di Sebatik, tetapi tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau tersebut.

“Kalau untuk cool storage saja listrik sudah tidak mampu apalagi untuk membangun industri pengolahan di sini,” tambah Yusuf.

Bahkan ikan hasil tangkapan nelayan Sebatik tidak satu pun yang didaratkan di pulau tersebut tetapi langsung dibawa ke Tawao. Para pengepul ikan yang menjadi kepanjangan tangan cukong-cukong di Malaysia secara rutin mendatangi nelayan dan membeli dengan harga murah.

Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Aji Sularso mengatakan prihatin atas keadaan tersebut yang telah berlangsung lama.

“Semua ikan tidak pernah didaratkan di sini, bagaimana kita bisa tahu potensi SDI kita? Kita akan perbaiki tempat pendaratan ikannya, besok semua ikan harus didaratkan dulu di sini dan harus tercatat,” tegas dia.

DKP sendiri mempunyai rencana untuk membangun Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Sebatik. Harapannya sumber daya ikan Sebatik tidak berpindah dan pengolahan ikan yang dibangun mampu mengimbangi industri-industri di Tawao.

Daya Tarik Tawao

Seandainya Tawao berkembang pesat seperti saat ini maka masyarakat Sebatik pun akan sangat terbelakang.

Sentuhan modernisasi tampak dari dominasi produk-produk kebutuhan sehari-hari, baik makanan dan minuman ringan, hingga peralatan rumah tangga asal Malaysia. Produk-produk Negeri Jiran tersebut membanjiri swalayan kecil dan toko-toko klontong di kecamatan yang memiliki luas 414,16 kilometer tersebut.

Samat, yang berprofesi sebagai supir mengakui bahwa ia sering sekali melakukan perjalanan lintas batas untuk membeli kebutuhan yang tidak tersedia di Kecamatan Sebatik.

“Sering kita ke sana. Kemarin saja mobil rusak butuh spare part, dari Ujung Pandang bisa seminggu datang, kita suru Bu Haji saja berangkat ke Tawao harganya sama tapi lebih cepat dapatnya,” ujar dia.

Tidak jarang masyarakat Sebatik menyeberang ke Tawao untuk berobat karena di sana pelayanannya lebih baik, ujar dia. “Di sini ada memang tapi tidak lengkap, orang banyak ke sana, hanya sekolah saja yang tidak bisa di sana”.

Pemerintah Malaysia menyadari betapa potensialnya Tawao untuk dikembangkan di wilayah tersebut. Dengan mengandalkan sumber daya alam Kalimatan Timur, industri-industri di negara tersebut dengan mudah dan murah memperoleh bahan baku.

Bagai pepatah mengatakan “Sekali dayung satu dua pulau terlampaui”, itu lah yang terjadi di Tawao, Negara bagian Sabah, Malaysia. Setelah mendapat pasokan bahan baku murah dan mudah, mereka pun mendapat tenaga kerja yang murah dari Indonesia.

Bagi masyarakat Indonesia tidak saja yang berada di Sebatik, Tawao merupakan daya tarik yang dapat memberikan harapan kesejahteraan bagi mereka. Tidak heran jika Nunukan menjadi salah satu pos perbatasan yang ramai dilalui TKI.

Dari catatan Konsulat RI di Tawao, jumlah TKI yang berada di sana mencapai 240.000 orang. Mereka bekerja diberbagai sektor formal dan informal, mulai di perkilangan, konstruksi, perkebunan, tata laksana rumah tangga, hingga pembantu rumah tangga.

Dengan berbandingan Gross Domestic Product (GDP) Tawao yang mencapai Rp400.000 sementara Sebatik hanya RP7.000, rasanya sangat wajar apabila pada akhirnya “kunang-kunang” di “Neverland” tersebut menyihir rakyat Indonesia yang haus akan harapan dan impian untuk datang menghampiri.

Hanya dengan berbekal harapan dan impian mereka rela mencari “jalur-jalur tikus”, menempuh rintangan lintas batas yang penuh bahaya untuk dapat memasuki “Neverland”.Virna Puspa Setyorini/ant/kem – www.republika.co.id