Danau Tolire Besar yang menyimpan legenda “incest”.

Bandara Sultan Babullah Ternate, berbatasan dengan laut biru.

Tidak banyak orang yang menaruh perhatian pada gambar di mata uang kertas kita. Jangankan membaca tulisan di dalamnya, mengamati gambarnya pun acap terlewatkan. Jangan harap lagi mencari keterangan mengenai gambar itu. Perhatian orang lebih terfokus pada warna uang, atau berapa jumah nol di belakang angka, yang menunjukkan angka nominalnya.

Sikap acuh tak acuh seperti itu rupanya terusik ketika mendapat kesempatan berkunjung ke Ternate, awal Desember lalu. Ketika sedang mengambil gambar, seorang teman dengan latar belakang Pulau Tidore di kejauhan, seseorang menyodorkan uang kertas pecahan Rp 1.000. “Tidak afdol kalau tidak membentangkan uang Rp 1.000,” katanya sambil mengatur cara memegang uang dengan menunjukkan gambar bagian belakang uang.

Apa hubungannya? Jika mengamatinya, terlihat gambar laut, nelayan sedang menjala ikan, dan dua gunung, besar dan kecil. Pada bagian atas kiri uang, tertera tulisan “Pulau Maitara dan Tidore”. Bukit kecil di sebelah kiri, itulah Pulau Maitara. Gunung yang lebih besar di belakangnya, adalah Pulau Tidore.

Uang pecahan Rp 1.000 mengabadikan sumber daya manusia dan sumber daya alam dari Kepulauan Maluku. Gambar wajah Kapitan Pattimura, contohnya, diabadikan di bagian depan uang.

Sayang, dalam kunjungan empat hari itu, tak terlihat pemandangan nelayan menjala ikan di laut. Yang tampak hanya kapal nelayan melintas, atau kapal motor besar yang melayani transportasi antarpulau. Bahkan, di Pelabuhan Laut A Yani pada awal Desember itu terlihat yacht berbendera Australia dengan beberapa penumpangnya.

Ada ataupun tidak ada nelayan, laut yang mengitari Ternate memang benar-benar biru, kecuali di daerah Pelabuhan Laut A Yani. Dari teras Restoran Floridas di Jalan Ngade, bahkan terlihat kehidupan bawah laut yang masih terjaga kelestariannya.

Selain pesona bawah laut, Ternate memiliki pantai-pantai indah yang masih alami. Pantai Toboloto-Tabanga adalah satu-satunya pantai di Ternate yang berpasir putih. Pantai yang terhampar hampir sepanjang dua kilometer itu terletak sekitar 12,5 kilometer dari pusat Kota Ternate. Pantai Bobane Ici, 20 kilometer di selatan pusat Kota Ternate, adalah tujuan wisata favorit turis. Pantai-pantai lainnya adalah Pantai Tolire Kecil , Pantai Kastela, dan Pantai Sulamadaha.

Memerlukan waktu sekitar dua jam untuk mengelilingi pulau yang luasnya 547,736 kilometer persegi itu. Jalan raya yang mengelilingi pulau lumayan mulus. Selain pantai-pantainya, satu objek wisata lain yang tak boleh ditinggalkan adalah Danau Tolire Besar. Danau yang terletak 18 kilometer dari pusat kota itu masih alami, dikelilingi hutan.

Legenda tentang terjadinya danau itu masih hidup di masyarakat hingga kini. Danau itu dikisahkan terjadi karena tanah longsor akibat seorang ayah yang sedang mabuk dalam suatu pesta rakyat, menggauli anak gadisnya sendiri. Sang ayah terkubur bersama long-soran tanah, dan si anak gadis yang melarikan diri kemudian tenggelam di Danau Tolire Kecil, yang tak jauh letaknya dari Danau Tolire Besar.

Benteng Tolokko, salah satu objek wisata favorit.

Tari tradisional untuk menyambut kedatangan tamu agung, dilestarikan.

Pulau Rempah-rempah

Ternate sejak dulu dikenal masyarakat dunia sebagai penghasil rempah-rempah, terutama oleh negara-negara yang pernah terlibat dalam perdagangan rempah, seperti Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris. Tak mengherankan, julukannya pun Pulau Rempah-rempah. Cengkeh afo di Kelurahan Marikurubu, menjadi salah satu bukti. Cengkeh setinggi 36,6 meter dengan lingkar batang 4,26 meter itu diperkirakan berumur 398 tahun. Setiap tahun, pohon itu masih mampu menghasilkan sekitar 400 kg cengkeh.

Kota Ternate pernah menjadi pusat pemerintah VOC, Kongsi Dagang Hindia-Belanda, sehingga di kota itu ditemukan banyak peninggalan sejarah. Dalam Pesona Wisata Kota Ternate keluaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate disebutkan, Ternate adalah salah satu kerajaan bernama Maluku Kieraha, yang berkonfigurasi ke dalam empat kesultanan. Keempat kesultanan itu ialah Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo.

Sebagai bagian dari masa lalu, Ternate telah tersentuh peradaban dunia sejak abad ke IV dan VII Masehi. Kenyataan itu bisa dilihat dari peninggalan budaya bangunan-bangunan tua, seperti benteng-benteng dan keraton bernilai sejarah. Di antaranya Benteng Orange, Benteng Kalamata, Benteng Kota Janji, Benteng Gamlamo, dan Benteng Tolokko. Benteng Tolokko, paling terkenal di antaranya, adalah peninggalan Portugis, yang dibangun pada 1540 oleh Gubernur Jenderal Francisco Serral.

Potensi nonfisik seperti nilai-nilai budaya tradisional yang terjaga juga membuktikan Ternate sebagai daerah yang kaya akan cagar budaya dan sejarah. Pada perhelatan akbar, misalnya, atraksi Bambu Gila dan Dadansa acap ditampilkan.

Masjid Sultan Ternate, Kedaton dan Museum Ternate, adalah dua tempat yang sayang dilewatkan untuk dikunjungi. Arsitektur bangunan Kedaton dan Museum Sultan Ternate yang dibangun Sultan ke-40 Ternate, Muhammad Ali, pada 1813, berbentuk seekor singa duduk dengan dua kaki depan menopang kepalanya. Satu atraksi yang paling menarik turis adalah Mahkota Berambut. Dari mulut ke mulut dikisahkan, rambut pada mahkota itu tumbuh, sehingga setiap Lebaran Haji harus dipotong.

Doa objek wisata lain di dalam kota adalah Gereja Katolik Santo Wilibrordus dan Klenteng. Gereja dibangun pada 1523, sebagai tempat melaksanakan aktivitas keagamaan bangsa Portugis yang masuk Ternate pada 1515. Gereja itu pernah ditutup. Pastor-pastor Jesuit kemudian merenovasinya pada 1610.

Ternate relatif mudah dijangkau dari Jakarta. PT Pelni, misalnya, melayani jasa angkutan laut melalui Ternate, dua kali dalam satu minggu. Beberapa maskapai penerbangan juga melayani rute Jakarta – Ternate, baik melalui Manado maupun langsung, yakni Merpati Airlines, Wings Air, Batavia Air, Trigana Air Service, dan Express Air. Tanpa transit, lama penerbangan dua jam 40 menit hingga tiga jam.

Kecantikan Ternate sudah tampak sejak tamu menginjakkan kaki di Bandara Sultan Babullah. Landasan pacu seolah diapit laut biru dengan latar belakang Pulau Tidore, dan Gunung Gamalama yang berketinggian 1.715 meter di atas permukaan air laut. Jika cuaca cerah, puncak Gamalama terlihat tegak menjulang. Mei tahun lalu, gunung api aktif itu ditingkatkan statusnya dari aktif normal ke status waspada. Gempa, baik besar maupun kecil, terjadi beberapa kali. Warga mengaku sudah terbiasa menghadapinya.

Sisa lahar panas letusan Gamalama pada 1673, contohnya, bisa dijumpai di Batu Angus. Perpaduan batu hitam dengan kehijauan Gamalama serta birunya laut, membentuk pemandangan yang unik dan memesona. Tempat itu juga merupakan tugu peringatan dan kuburan tentara Jepang yang tewas dalam pertempuran melawan Tentara Sekutu pada Perang Dunia II.

Berkeliling Ternate, tak lengkap jika tidak berburu makanan khas. Popeda, ketam kenari, dan aneka olahan ikan biasanya disajikan untuk menjamu tamu. Makanan kering halua kenari dan bagea aneka rasa, juga minyak kayu putih, adalah pilihan oleh-oleh favorit para turis. [Suara Pembaruan/Sotyati]