BEGITU turun di Bandara Tambolaka, pertama-tama yang kujumpai di luar pintu keluar para lelaki rata-rata bermulut merah karena sirih. Sebagian dari mereka menyarungkan parang di pinggang.

Mengapa semua lelaki di Sumba harus menyandang parang? Itu kesan dan pertanyaanku saat kunjungan pertama ke Sumba. Akhirnya takjub juga. Betapa indah dan kayanya kebudayaan Indonesia. Inilah Sumba, satu dari ribuan kebudayaan di Nusantara.

Tepatnya Sumba Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam rangka memenuhi ajakan teman sesama fotografer yang berniat menyaksikan acara sukacita musim panen atau tahun baru menurut penanggalan Merapu. Mengunjungi Sumba dapat melalui Bandara Tambolaka atau dari Waingapu. Luas Sumba 11.150 km pesegi. Boleh dikatakan pulau terbesar di Provinsi NTT.

Tatanan kehidupan sosial adat Sumba masih mengenal tingkat raja atau golongan Maramba. Juga golongan tokoh-tokoh adat dan pejabat yang disebut Kabihu, dan orang-orang biasa yang dikenal dengan Ata.

Kehidupan umum orang Sumba dari hasil pertanian, berternak kerbau dan sapi serta perikanan laut. Semakin banyak berternak kerbau semakin tinggi simbol status seseorang, terutama kerbau menjadi nilai untuk mas kawin pada waktu melamar gadis.

Sumba terkenal dengan kayu cendana, kuda-kudanya, makam-makam megalith dan kain-kain ikat yang unik dan terjaga dengan tema-tema filosofis.

Bentuk-bentuk rumah adat mereka memiliki puncak atap-atap tinggi yang unik, guna menyimpan benda-benda pusaka dan hasil panen. Ruangan tinggal juga terbagi untuk wanita dan pria. Sementara bagian terbawah tempat kandang-kandang ternak. Rumah mereka umumnya juga dikelilingi makam-makam keluarga dan leluhur klen-klen mereka.

Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi muatan atas dasar antropologi agama. Marapu merupakan inti kebudayaan mereka, yang berintikan pada sumber nilai-nilai dan pandangan hidup yang berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Sumba pada umumnya.

Upacara yang terbesar dalam lingkungan adat adalah upacara pernikahan dan upacara kematian dan mengorbankan banyak kerbau, sapi, babi bahkan kuda.

Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya selalu ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka.

Walaupun tidak mengenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka kepercayaan Merapu. Dikenal dengan sebutan Lii Ndai atau Lii Marapu yang dituturkan pada upacara-upacara ritual dalam alunan nyanyian adat yang syahdu.

Kesusasteraan suci itu dipercaya bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas demi mengundang kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak.

Hal lain yang menarik dari perjalanan saya ke dusun-dusun di pelosok Sumba itu, adalah tentang kuburan. Jika di tempat lain makam-makam biasanya jauh dari pemukiman maka di Sumba dibangun di halaman rumah.

Dahulu material yang digunakan membuat pemakaman adalah batu-batu alam yang dipotong. Namun sekarang sudah banyak yang membuat makam-makam semacam itu terbuat dari semen yang dicor.

Makam-makam tersebut dibangun di halaman rumah, merupakan wujud kecintaan mereka terhadap orang yang telah pergi agar tetap dekat dan selalu turut menjaga keamanan dan kesejahteraan keluarga yang masih hidup.

Sastra Sumba
Nyanyian suci selalu menggambarkan pentingnya manusia harus selalu meyesuaikan dengan irama gerak alam semesta, dengan mengawasi bersama akan ketertiban hubungan antara manusia dengan alam.

Selain itu manusia juga harus selalu mengupayakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan bahasa alam yang menjadi bagian dari alam semesta itu sendiri. Bila hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam terpelihara, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat mendatangkan kemakmuran dan kedamaian hati.

Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dan hubungannya dengan arwah-arwah mereka yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhur tersebut.

Berbagai upacara adat pun kutemui. Upacara umumnya harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk itu didasarkan pada kalender adat Sumba. Kalender adat tidak boleh diubah atau ditiadakan.

Karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara para leluhur. Bila ada yang berani mengubah aturan leluhur, dipercayai akan menimbulkan kegoncangan yang juga menimbulkan bahaya karena murkanya para leluhur. Dari situ, ragam tarian adat bisa dinikmati. Alunan musik pengiring dan gemulai gerak sungguh menampakkan keharmonisan.(mediaindonesia.com)