gerbang-borneoBersamaan ucapan pramugari yang mengingatkan penumpang bahwa beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Juwata Tarakan, saya mengencangkan seatbelt sambil memandangi panorama di bawah. Kawasan utara Pulau Borneo itu terlihat amat elok dari atas. Ada gugusan pulau kecil penuh bakau di sekelilingnya dan tambak di tengah-tengahnya dengan sekat-sekat beralur.

Hmm, mirip satu loyang pizza yang dipotong beraneka bentuk asimetris: hutan bakau adalah pinggirannya, dan tambak adalah toppingnya. Seakan-akan tampak pulau-pulau mini itu sengaja dirancang dengan citarasa seni tinggi untuk menyambut para pelancong yang merindukan keindahan alam. Tak lama berselang pesawat pun mendarat di landasan yang dibuat tepat di bibir pantai.

Tak salah bila kota pulau tersebut mengklaim sebagai Gerbang Utara Pulau Borneo. Pasalnya, hanya di Pulau Tarakanlah, pesawat besar dapat mendarat di kawasan utara Kalimantan, atau lebih dikenal dengan Borneo. Bandara di kota dan kabupaten lainnya hanya untuk pesawat perintis.

Di luar bandara tersedia taksi yang dapat mengantar penumpang kemana pun ke seluruh penjuru pulau, hanya dengan membayar tiket Rp 50 ribu. Taksi jenis itu hanya tersedia di bandara. Adapun transportasi umum dalam kota menggunakan taksi jenis lain, yang di Jawa kita sebut angkot.

Esok paginya, saya mengunjungi hutan mangrove untuk melihat bekantan (Nasalis larvatus), si monyet Belanda yang menjadi ikon kota. Di Pulau kecil itu tak sulit untuk mencari sebuah penginapan. Dari penginapan tersebut kita bisa berjalan-jalan menyusuri kota sembari mencari orang yang menjual makanan khas Tarakan.

Namun sepanjang jalan tak juga saya temui warung yang menjajakan makanan khas. Akhirnya saya mampir di sebuah warung makan yang penjualnya berasal dari Tuban, Jatim. Sami mawon, jauh-jauh ke ujung Kalimantan, hampir dekat Malaysia, alamak… cuma sayur asam yang bisa kita nikmati.

Tak terlalu jauh dari pusat kota, sekitar satu km berjalan, sampailah saya di hutan mangrove. Pagar depannya berhias lukisan timbul bertema bekantan dan hutan. Setelah membayar karcis Rp 2.000 di gerbang masuk, saya pun segera melangkahkan kaki menyusuri jembatan kayu yang dibuat di antara akar-akar mangrove. Rasanya seperti memasuki dunia lain.

Bayangkan, baru saja berada dalam suasana sebuah kota yang cukup hiruk pikuk, tiba-tiba terbentang hutan mangrove yang hijau dan teduh, hanya dengan melangkahkan kaki melewati pintu di pagar tembok setinggi dua meter.

Berbagai jenis mangrove dibiarkan tumbuh alami tanpa gangguan bangunan. Papan-papan nama jenis pohon dipasang pada pohon yang tumbuh di tepi jalur, sehingga pengunjung dapat mengenali dan mempelajari jenis-jenis tumbuhan penyusun hutan mangrove.

Di hutan tersebut, saya berharap dapat melihat dari dekat bekantan yang sudah mulai langka. Namun sampai berkilo-kilo menyusuri jalur, si monyet Belanda berwarna oranye itu tak menampakkan batang hidungnya. Tengah asyik mengambil foto akar mangrove yang unik, tiba-tiba muncul seekor monyet abu-abu (Trachypithecus villosus), saya pun memotretnya. Mungkin monyet itu merasa terganggu oleh kilatan lampu blitz, dia mendekat ke arah saya dan berteriak-teriak seperti marah. Segera saya sembunyikan kamera dalam jaket, takut direbut monyet itu seperti yang sering terjadi di Sangeh atau Uluwatu, Bali.

Ternyata monyet itu tidak sendiri. Di belakangnya muncul yang lain, sepertinya satu keluarga. Salah satunya sangat besar, mungkin kepala keluarga. Semuanya ada sebelas ekor. Kera-kera itu berjalan ke arah saya dengan tatapan yang tidak ramah. Saya pun membuang pandangan ke arah lain, takut dikira menantang.

Jantung saya berdegup kencang saat monyet yang terbesar berjalan mendekati saya, apalagi tidak ada pengunjung lain yang kelihatan disekitar saya. Saya berusaha untuk tidak panik dan mengingat-ingat apa yang dilakukan para jagoan di film bila diserang binatang buas. Tetap tenang, tidak membuat gerakan yang mencurigakan, dan siaga terhadap kemungkinan terburuk.

Perlahan, si monyet besar berjalan melewati saya menuju menara yang tak jauh dari tempat saya berdiri. Saya pun bernapas lega dan melangkah perlahan mencoba melewati beberapa monyet tadi. Ternyata ujian belum selesai, seekor anak monyet mendekat dan langsung menarik-narik celana panjang saya, mengajak bercanda mungkin.

Tak cukup menarik celana, si anak monyet mulai menggigit sepatu saya. Apa yang harus saya lakukan? Saya mencoba strategi lain. Kalau tadi saya tidak berani menatap mata mereka, kali ini saya pelototi si anak monyet. Ternyata berhasil, dilepaskannya celana saya dan berguling-guling mencoba menarik perhatian. Selamatlah saya. Tinggal melewati beberapa monyet yang kelihatannya tidak terlalu memedulikan saya.

Lepas dari kepungan monyet abu-abu, saya mempercepat langkah mencari tempat yang lebih ramai. Beruntung, tak lama kemudian saya sampai di pos penjaga. Seorang staf penjaga kawasan tersebut ada di sana. Setelah ngobrol beberapa waktu dengan Pak Kadir, sang penjaga, saya menuju ke tempat yang dia tunjukkan sebagai lokasi kesukaan para bekantan.

Benar, di lokasi itu terlihat beberapa monyet berhidung besar tersebut tengah mengunyah pucuk-pucuk daun atau berayun di dahan pohon. Bekantan merupakan binatang pemalu. Mereka akan sembunyi bila bertemu manusia. Jadi, saya bergerak sepelan mungkin, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Saya pun duduk di tepi jembatan dan mengamati aktivitas mereka dengan teropong.

Menurut Pak Kadir, bekantan yang ada di kawasan tersebut didatangkan dari Berau, salah satu pulau kecil dekat Tarakan. Jumlah semula hanya 13 ekor dan berkembang biak hingga mencapai 47 ekor. Sayang, tahun 2008 populasinya menurun hingga tersisa 17 ekor saja. Penurunan populasi itu terjadi karena adanya pergantian pengelola sehingga perawatan bekantan kurang mendapat perhatian.

Permasalahan lain adalah lokasi hutan mangrove itu yang terletak di tengah kota. Tak seperti lazimnya hutan mangrove yang berada di wilayah pasang surut air laut, hutan seluas 9 ha ini tidak berada di pantai, namun justru di tengah kota. Di belakang kawasan hutan hingga pantai berdiri bangunan pabrik dan perusahaan perikanan berskala nasional.

Meskipun berupa bangunan panggung, namun sangat menghambat masuknya air laut ke kawasan mangrove. Air laut yang menjadi sumber nutrisi pohon-pohon penyusun mangrove dialirkan lewat sebuah kanal yang kurang terawat. Karena itu, keberadaan hutan mangrove beserta flora dan fauna di dalamnya terancam punah bila pengelolaannya tidak segera dibenahi.

Hidup di Waktu Malam

Pagi dan siang hari, kota Tarakan mirip sebuah wilayah yang mati. Setiap orang sibuk bekerja di tempat mereka dengan pekerjaan masing-masing. Walhasil, jalanan seperti lengang. Kalau pun ada lalu lalang, jumlahnya tak seperti yang kita jumpai pada kota-kota di Jawa. Dan memang, keramaian hanya terjadi di bandara atau pelabuhan. Itu pun hanya pada jam-jam tertentu.

Menjelang sore, geliat kehidupan mulai tampak di kota tersebut. Warga kota mulai memadati ruang-ruang publik. Taman Oval, yaitu taman kota yang didesain berbentuk oval menjadi favorit warga yang ingin bersantai, melepas penat setelah seharian bekerja, atau menikmati kecerahan suasana sore hari bersama keluarga.

Pusat kota pun mulai terlihat hidup. Ini dia keunikan Tarakan. Jangan pernah belanja pagi atau siang hari karena hanya akan menemui beberapa toko yang buka. Menjelang pukul empat sore, barulah keramaian yang sesungguhnya terlihat. Para pedagang di pasar dan pertokoan mulai membuka lapaknya.

Beraneka barang mulai dari sembako, pakaian, aksesoris, hingga elektronik bisa diperoleh di pasar malam. Barang-barang itu umumnya didatangkan dari Surabaya. Bila ingin mendapat potongan harga khusus, cobalah menawar dengan bahasa Jawa karena hampir 90 persen pedagang di ujung utara Kalimantan itu berasal dari Jawa Timur.

Keramaian di pasar malam dapat berlangsung hingga tengah malam. Itu bergantung apakah banyak pengunjung yang datang dan berbelanja atau tidak. Bila sepi pembeli, pada jam sepuluh malam pedagang mulai menutup lapaknya. Namun selama masih ramai pembeli, pasar malam pun terus berlanjut.

Benar, tidak semua produk didatangkan dari Jawa. Ada sebagian kecil yang diperoleh dari negara tetangga, Malaysia. Tidak seperti lazimnya produk yang diimpor lewat jalur resmi, produk-produk tersebut bebas pajak dan masih menggunakan label Malaysia. Produk Malaysia tersebut dibawa dari Tawau, pulau milik Malaysia yang berbatasan dengan Indonesia. Produk-produk itulah yang sering dicari para pendatang untuk oleh-oleh. Meski ilegal, bisa diperoleh di supermaket, mal, pertokoan, maupun pasar.

Selain makanan, produk lain yang sering dicari adalah suvenir seperti manik-manik, parang, dan sepatu karet. Jadi, untuk membawa oleh-oleh dari Malaysia, kita tak perlu paspor, cukup datang ke Pulau Tarakan. Tapi sekali lagi, berbelanjalah setelah senja mulai tiba. Sebab, Tarakan memang lebih hidup dari senja hingga tengah malam.

Sumber: SuaraMerdeka