GERBANG – Menuju Chiang Rai terdapat “pintu gerbang” segi tiga emas yang dikenal dunia sebagai The Golden Triangle, salah satu pusat produksi opium (candu) di dunia.

Kota Chiang Mai di Thailand Utara terkenal dengan objek wisatanya. Ada wisata alam dengan panoramanya yang indah. Ada pula objek wisata sejarah, lengkap dengan peninggalan “tempo doeloe” berupa candi, prasasti dan patung. Namun yang tak kalah menariknya, di kota itu anda bisa menikmati hidangan khas.

Satu-satunya hidangan di dunia yang spesifik cuma di Chiang Mai. Yakni yang namanya “authentic jungle food” (makanan asli dari hutan).Di Samlam Soi 1 Road, ada sebuah restoran yang digemari turis asing, namanya Kaithong.

Keunikan makanan di situ adalah seluruh bahannya benar-benar berasal dari hutan. Ada daging ular piton. Begitu juga ada daging ular kobra. Tidak ketinggalan daging buaya, yang khusus ditangkap dari sungai. Kalau binatang buas itu masih hidup, sangat ditakuti manusia.

Sedangkan yang lainnya berupa daging kura-kura, lele, kambing hutan, ayam hutan dan kodok (katak). Hidangan yang disajikan bagi turis asing dikemas dengan cara dibakar dan dicampur dengan kentang, kol, kacang panjang, wortel dan jagung muda.

Para turis asing ternyata senang menikmati makanan tersebut. Selain khas dan satu-satunya di dunia, “authentic jungle food” dihidangkan dalam bentuk steak. Sehingga sepintas lalu, tidak tahu jika steak yang dilahap adalah daging yang berasal dari ular piton, kobra, buaya, kura-kura, atau kambing hutan.

Steak di Restoran Kaithong, menurut turis asing yang pernah mencobanya, bukan semata-mata khas rasanya. Tetapi daging ular dan buaya, berfungsi sebagai obat bagi mereka yang menderita sakit kulit. Khasiat lain, bisa menjadikan tubuh lebih segar

Restoran itu buka dari pukul 4 sore sampai dengan pukul 11 malam. Karena hidangannya yang khas, turis yang datang dari mancanegara datang berbondong-bondong ke tempat tersebut. Bahkan saking populernya, para sopir taksi di Chiang Mai kenal restoran Kaithong.

Tidak sulit menemui tempat makanan unik ini, sebab di buku-buku petunjuk pariwisata dan brosur-brosur gratis yang dibagikan di bandar udara, pelabuhan dan berbagai pusat perbelanjaan, nama Restoran Kaithong terdapat di antara beragam objek wisata di Chiang Mai.

Jangan heran, sambil menikmati steak ular piton atau kobra, anda dapat pula menghirup udara pegunungan yang sejuk. Chiang Mai terletak di kawasan yang dikelilingi pegunungan dan hutan. Kerajaan Thailand sengaja mempromosikan kota itu sebagai salah satu tempat yang serba hijau. Selain hutan, ada tanaman hias dan bunga-bunga.

Bagi turis mancanegara, suasana yang sejuk dan serba hijau merupakan kesenangan tersendiri..Apalagi bagi wisatawan dari benua Eropa, hawa yang dingin bukan menjadi halangan. “We like to be here” (kami senang tinggal disini), kata seorang turis Italia.

Chiang Mai memang sengaja membangun banyak restoran bagi turis asing. Jika di Kaithong bisa dinikmati makanan khas satu-satunya di dunia, di tempat-tempat lain ada restoran yang menjual hidangan dengan menu Barat. Di Charoen Prathet Road tidak sulit mencari “pasta flour” Italia. Begitu pula “beef” dari Amerika

Buat uris yang datang dari Jerman, tak perlu repot-repot mencari hidangan kegemaran mereka. Di Loi Kroa Road, ada Steafan’s Deutsches Gourmet Restaurant , yang menjual makanan impor dari negara Hitler.

Wisatawan India, Pakistan dan Arab, tak perlu khawatir jika ingin mencicipi “special food” dari negeri asalnya. Di Charoenprathet, Off Changklan Road , Shere Shiraz Restaurant menjual makanan otentik dari Asia Selatan dan Timur Tengah. Ada tandoori kambing, roti khas India ,kari ayam dan lain-lain.

Bagi yang memeluk agama Islam, tersedia makanan dengan label halal. Jadi tak perlu cemas, menyantap “food” di situ, karena tidak ada daging babi atau jenis hidangan yang dilarang menurut kepercayaan Islam.

PUTUS – Jalan menuju kawasan tempat tinggal suku terasing di daerah pegunungan sekitar Chiang Mai memang tidak selamanya mulus seperti salah satu jembatan yang terputus ini.

Angkutan Tuk-tuk

Di Chiang Mai sangat banyak tempat jajan. Mau yang murah, bisa di pinggir jalan. Yang tarifnya menengah juga ada. Sejumlah restoran menetapkan harga yang moderat. Namun jika ingin makanan bergengsi, sejumlah hotel berbintang menyediakan hidangan dengan harga “orang berduit”.

Makanan merupakan salah satu daya tarik objek wisata di Chiang Mai. Untuk menjaga keaslian hidangan yang disajikan kepada turis mancanegara, Kerajaan Thailand melakukan pengawasan ketat dengan melakukan kontrol rutin. Di tempat-tempat yang bertuliskan halal, tak boleh dijual daging ular piton, kobra dan buaya. Apalagi daging babi.

Namun di restoran tanpa label halal, bebas dijual daging apa saja.” Kecuali daging manusia,” seloroh seorang petugas kepolisian . Sebagai negara yang mengutamakan salah satu pemasukan devisa dari pariwisata, Thailand sengaja membentuk Polisi Pariwisata.

Tugasnya menjaga keselamatan dan keamanan turis asing. Mereka dilengkapi kemampuan berbahasa Inggris. Tahu tempat-tempat menarik. Hafal beragam pusat perbelanjaan dan sekaligus bisa berfungsi sebagai penunjuk jalan (guide). Polisi Pariwisata ikut melakukan pengawasan di tempat-tempat hiburan yang menjamur.

Selain memiliki restoran khas Kaithong, Chiang Mai mempunyai tempat-tempat yang menjual produk kerajinan suku terasing (tribal) . Mereka mendiami kawasan tertentu seperti pegunungan dan sekitar hutan. Kerajinan Tangan Suku Terasing Thailand (Thailand Tribal Craft) bisa dibeli di Bumrung Rat Road.

Produk yang dijual antara lain, kain tenun, anak panah, pisau, tombak, topi,ornamen kulit binatang. Toko di Bumrung Rat Road buka dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore. Hari Minggu toko tutup, karena merupakan saat istirahat kerja.

Menyusuri Chiang Mai di malam hari lain lagi suasananya. Bermacam-macam hiburan bisa dinikmati. Akan tetapi, di mana saja pusat hiburan, produk makanan Thailand yang sudah “go international”, antara lain Tom Yam tidak pernah absen.

Keunggulan Thailand dalam sektor pariwisata tidak semata-mata pada keindahan alam dan hiburan, tetapi juga kemampuannya mempromosikan “food” yang beragam.

Jika anda ingin datang ke restoran, tidak selalu harus naik taksi yang mahal tarifnya. Karena di Chiang Mai, turis bisa naik kendaraan sejenis bajaj, bernama tuk -tuk. Selain tarifnya murah, sarana transportasi publik ini, boleh masuk ke mana saja. Apakah ke hotel, tempat hiburan, restoran.

Penumpang tuku-tuk, bukan hanya golongan berpenghasilan rendah. Transportasi publik tersebut, bisa diisi penumpang kalangan berkantong tebal, seperti pejabat pemerintah, pengusaha, diplomat dan perwira tinggi. Maka jangan heran, jika kita menjumpai tuk-tuk parkir di hotel berbintang. Pemerintah tidak pernah melarang dan membatasi beroperasinya tuk-tuku ke mana saja.

Jadi gengsi seseorang tidak ditentukan hanya memakai kendaraan mahal. Pengusaha kaya raya sekali pun, tidak merasa rendah diri jika naik tuk-tuk. Padahal sarana transportasi ini, sejenis bajaj. Di Indonesia, tidak ada pengusaha dan pejabat yang naik bajaj. Tetapi di Thailand merupakan pemandangan biasa konglomerat “bertuk-tuk ria”.

Suasana Lain

Mengamati perkembangan wisata di Chiang Mai, dengan tampilnya Restoran Kaithong membawa suasana lain . Selain ciri makanannya khas, Thailand nampaknya ingin tampil beda dalam menjual objek wisata. Jika selama ini negara gajah putih ini, populer dengan wisata seks, hadirnya Kaithong membawa citra tersendiri.

Tentu saja bagi turis dari negara-negara Islam, sulit mencicipi hidangan seperti steak daging ular piton, kobra dan buaya. Namun bagi mereka yang datang dari Eropa, Amerika, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan, tak ada pantangan.

KERAJINAN – Kerajinan tangan suku terasing Thailand (Thailand Tribal Craft) bisa dibeli di Bumrung Rat Road. Produk yang dijual antara lain, kain tenun, anak panah, pisau, tombak, topi, dan ornamen kulit binatang.

Untuk menangkap ular piton dan kobra dari hutan, diperlukan keahlian tersendiri. Ada pawang khusus yang terbiasa membekuknya. Jika tidak punya keahlian khusus, jangan coba-coba menangkapnya. Binatang hutan ini terkenal ganas dan memiliki bisa beracun.

Yang tidak banyak diketahui, tukang masak di Kaithong ternyata sudah tahan uji. Bau ular piton, kobra dan buaya yang menyengat bukan menjadi halangan untuk diolah menjadi hidangan berskala internasional berupa steak. Padahal buat orang awan, bau yang menyengat dan tidak enak, dapat membuat perut mules dan muntah.

Justru di sini letak keistimewaan negara gajah putih, yang mempunyai kreasi lain dalam menjaring turis mancanegara sebanyak-banyaknya. Makanya dalam promosi, Thailand berani menulis “the only snake steak in the world” saat Kaithong beroperasi.

Akan tetapi suatu saat, diprediksi akan muncul protes dari kalangan pencinta alam. Apalagi jika sampai kelompok seperti Green Peace tahu, terjadi perburuan dan pembantaian ular serta buaya untuk konsumsi manusia. Sampai saat ini, suasana pemotongan ular dan buaya masih dalam batas normal. Artinya belum mengganggu ekosistem.

Andaikata tidak dibatasi, bukan mustahil restoran satu-satunya di dunia yang menjual steak ular dan buaya itu akan tutup. Hal ini terjadi, karena protes terus mengalir dari berbagai belahan penjuru dunia. Ikan paus dan lumba-lumba yang diburu habis-habisan, menimbulkan protes global. Apalagi ular dan buaya, yang jumlahnya terbatas.

Namun lepas dari kekhawatiran yang belum terjadi, kreasi objek wisata yang dirancang Thailand merupakan daya tarik tersendiri. Setidak-tidaknya negara lain yang memiliki hutan dan satwa, dapat membuat kreasi berbeda guna menjaring wisatawan asing dalam jumlah besar.

The Golden Triangle

Thailand Utara, bukan sekadar memiliki Chiang Mai yang menarik. Masih ada kota lain yang tak kurang istimewanya. Namanya Chiang Rai, yang terletak di kawasan segitiga emas (The Golden Triangle). Sudah sejak lama nama “The Golden Triangle” dikenal sangat menakutkan. Karena merupakan salah pusat produksi opium (candu) di dunia.

“The Golden Triangle” letaknya di tiga negara. Yakni Thailand, Myanmar dan Laos. Jika menyusuri sungai Mekong, kita dapat melihat langsung ketiga negara, yang dibatasi pegunungan. Dari sinilah opium mengalir sejak lama, karena bisa diolah menjadi narkotika dan jenis obat-obat terlarang.

Namun dengan mengembangkan Chiang Rai dan kawasan sekitarnya yang ada di pegunungan segitiga emas, Thailand ingin merubah citra seram. Caranya dengan membangun kawasan wisata. Chiang Rai memiliki banyak hotel, tempat hiburan dan pusat perbelanjaan.

Di Chiang Rai dapat dibeli produk suku terasing yang benar-benar berasal dari kawasan segitiga emas. Ada tas, mainan anak-anak, baju, sarung, alat pengisap candu dan ukir-ukiran. Sampai ke wilayah pegunungan, dibangun pasar, hotel, toko dan kasino guna menjaring turis mancanegara.

Namun yang tidak ada di Chiang Rai adalah steak ular dan buaya. Tetapi soal batu permata, jangan tanya.. Produk permata asal Chiang Rai sangat terkenal. Apalagi wilayahnya berbatas dengan Myanmar, yang juga populer dengan produk serupa. Makanya begitu menginjakkan kaki, turis asing saling berebut membeli barang-barang yang dibuat suku terasing dan beragam batu permata .

Yang perlu dicontoh dalam mengembangkan sektor pariwisata, Thailand berhasil menyulap makanan eksklusif dan kawasan penghasil candu. Kedua kreasi ini, dirancang bukan sekadar menarik devisa bagi negara. Tetapi kesan turis asing menjadi lebih baik, begitu memasuki Thailand. Bukan sekadar hanyut dalam promosi wisata seks.

Chiang Mai dan Chiang Rai adalah contoh merubah citra buruk. Dari sisi ini kita patut mengacungkan jempol. Ternyata mengembangkan objek wisata banyak ragamnya. Tergantung dari cara menangani dan mempromosikannya.

MULYADI