Berkunjung ke Kota tua ini belum lengkap jika belum bertandang ke Lawangsewu, menyaksikan Klenteng Sam Po Kong dan Gereja Blenduk serta mencicipi Lumpia dan Tahu Gimbal.

Alunan merdu lagu Gambang Semarang terasa lembut di telinga menemani kedatangan saya di Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah. Bangunan tua ini nampak masih kokoh berdiri dan tetap berfungsi seperti sediakala. Stasiun kereta api besar ini adalah salah satu yang tertua di Indonesia.

Dua kunjungan sebelumnya ke Ibukota Jawa Tengah ini hanya sebagai persinggahan saja, akhirnya, kali ketiga menginjakkan kaki di Semarang atas undangan Dirjen pemasaran Kementerian Pariwisata dan ekonomi Kreatif (Kemanparekraf), sebuah pengembaraan singkat bisa saya lakukan, melihat dari dekat salah satu kota bersejarah di pesisir utara Pulau Jawa tersebut ternyata menggoreskan kenangan.

Mungkin jika bicara sebagai kota wisata, kota ini belum sepopuler Bandung atau Yogyakarta yang menjadi destinasi wisata favorit di Jawa. Tapi percayalah, mengunjugi Semarang saat mengisi liburan adalah sebuah pilihan tepat. Wisata sejarah, kuliner, budaya, religi hingga belanja berpadu di sini.

Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, Semarang sudah menjadi kota penting. Fungsinya sangat strategis sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat perdagangan kala itu. Sisa-sisa peninggalan masa lalu itu setidaknya bisa disaksikan di kawasan Kota Lama. Sebuah kompleks bangunan tua yang menjadi ikon wisata sejarah di Semarang.

Deretan bangunan berarsitektur masa lalu masih berdiri kokoh di sini. Beberapa gedung masih berfungsi sebagai perkantoran, hotel, rumah tinggal, hingga tempat ibadah. Salah satu bangunan paling terkenal di kota lama adalah Gereja Blenduk yang terletak di Jalan Letjend. Soeprapto nomor 32. Disebut “blenduk” lantaran gedung yang dibangun pada 1753 ini memiliki kubah sehingga dalam bahasa Jawa bentuk tersebut disebut “mblenduk” atau cembung.

Menikmati santap siang kala itu, saya memilih Toko Oen yang berada di Jalan Pemuda No 52. Toko yang sudah buka sejak 1936 ini, tidak hanya menyajikan makanan. Suasana interior Toko Oen seolah mengajak pengunjungnya kembali memasuki rumah makan pada masa sebelum kemerdekaan. Mesin ketik zaman baheula, dan seperangkat kursi kayu semakin menguatkan suasana masa silam.

Salah satu menu terkenal di toko yang kini dikelola generasi keempat dari Oen Tjoen Hoek sang pendiri, adalah menu es krimnya. Kelezatan rasa es krim tanpa pengawet di Toko Oen dijamin meninggalkan kerinduan untuk kembali mencicipinya. Toko yang awalnya menjual kue-kue kering ini pun menyajikan beragam menu masakan, mulai Eropa, Indonesia hingga aneka masakan asal Tiongkok.

Masyarakat Semarang memiliki sejarah panjang dengan bangsa Tiongkok. Hubungan keduanya telah terjalin sejak beratus tahun silam, jauh sebelum bangsa Eropa menginjakkan kakinya di sini. Adalah Zheng He/Cheng Ho seorang laksamana besar dari negeri Cina, dalam ekspedisi lautnya rombongan Cheng Ho pernah singgah di Pantai Simongan Semarang.

Salah satu bukti peninggalan lawatan laksamana muslim ini adalah bangunan yang kini menjadi Klenteng Gedung Batu (Sam Poo Kong). Klenteng yang kini berada di Jalan Simongan 129 tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah sekaligus wisata religi.

Dan, sempatkanlah untuk mengujungi Tugu Muda. Kawasan ini adalah salah satu ikon kota yang pernah berjuluk “Venice Van Java” ini. Tugu Muda berbentuk lilin ini berdiri tegak di persimpangan Jalan Sutomo, Jalan Pandanaran, Jalan Imam Bonjol,
dan Jalan Soegiopranoto. Tugu yang diresmikan pada 20 Mei 1953 tersebut dibangun sebagai monumen memperingati perjuangan masyarakat Semarang dalam pertepuran lima hari pada 15-20 Oktober 1945 melawan tentara Jepang.

Berdekatan dengan Tugu Muda ada Gedung Lawang Sewu yang tak boleh dilewati. Bangunan bekas jawatan kereta api pada masa penjajahan tersebut masih terlihat berdiri megah diantara bangunan-bangunan modern bertingakat. Gedung karya arsitek Belanda Prof. Jacob F Klinkhamer dan BJ. Queendag tersebut dibangun pada 1903.

Menjelang malam, wisata kuliner kembali menjadi pilihan mengisi perjalanan singkat ini. Semarang memiliki banyak pilihan tempat wisata kuliner malam hari. Kebetulan saya tertarik berwisata kuliner di Jalan Gajah Mada. Sepanjang jalan ini menjadi pusatnya pedagang sate dengan konsep lesehan.

“Sate Ayam Madura Pertama di Gadjah Mada” begitu tertulis di warung milik HM. Hasan yang menjadi tempat pilihan saya. Sebenarnya, sate disini tak jauh beda dengan sate biasanya. Hanya saja, sambal sate disini disajikan dalam potongan cabe rawit dan bawang merah. Cukup merogoh kocek Rp 13.000, seporsi sate ayam sudah bisa dinikmati. Pedagang sate di sepanjang jalan ini mulai buka pukul 17.00-24.00.

Hari kedua di Semarang, saya mulai dengan mengunjungi Pagoda Avalokitesvara di kota atas Semarang, tepatnya di Jalan Perintis Kemerdekaan, Semarang. Bangunan yang dibuat pada 2005 ini terdiri dari tujuh tingkat yang bermakna tingkat ketujuh adalah puncak dimana seorang petapa mencapai kesucian. Disetiap tingkat terdapat empat patung Dwi Kwan In. Sebagian besar bahan material bangunan setinggi 45 meter tersebut didatangkan dari Cina.

Menjelang siang, mengunjungi Masjid Agung Semarang yang terkenal megah dengan desain modern. Masjid di Jalan Gajah Raya ini memiliki fasilitas pendukung yang lengkap seperti perpustakaan, auditorium, toko cenderamata, hingga fasilitas penginapan. Luas lahan yang digunakan masjid ini mencapai 10 Hektar dengan luas bangunan utama untuk shalat 7.669 meter. Desain arsitektur Masjid Agung Semarang mengkombinasikan arsitektur Jawa, Arab, dan Yunani.

Sebelum menutup perjalanan di Semarang, saya sempatkan singgah ke Jalan Pandanaran untuk membeli oleh-oleh. Bandeng presto, wingko babat, lumpia (loen-pia), tahu gimbal dan aneka makanan khas Semarang lainnya.

Kawasan Simpang Lima Semarang sebagai salah satu ikon Kota Semarang merupakan titik pertemuan dari Jalan Pandanaran, Jalan Pahlawan, Jalan Ahmad Yani, Jalan KH Ahmad Dahlan dan Jalan Gajah Mada. Menikmati suasana senja di Simpang Lima menjadi penutup perjalanan sebelum kembali ke hotel. Segelas kopi menjadi teman sambil mendengarkan kembali lagu Gambang Semarang.

Sumber: Majalah Travel Club