baduy 1Tak sembarang orang bisa bertandang di tengah orang Baduy Dalam. Hidup di tengah harmonisasi alam dan kebijakan tentang nilai luhur yang terus dijaga, seakan menjalar dalam nadi.

Sebuah jembatan bambu dengan bentuknya yang unik, menyambut kedatangan setiap tamu yang mengunjungi Baduy Dalam. Inilah perbatasan yang memisahkan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelah melewati bagian ini, semua larangan yang diberlakukan di daerah ini harus ditaati setiap pendatang, termasuk saya tentunya.

Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan barang-barang elektronik, tidak mengotori sungai dengan sabun atau odol, berkata dan berbuat tak senonoh, serta sederet pantangan lainnya.

Selain itu, wilayah yang dihuni oleh orang Kanekes ini juga terlarang bagi orang asing (non-WNI). Konon beberapa wartawan asing sampai sekarang belum berhasil masuk ke wilayah ini.

Kalaupun ada yang mengaku sampai Baduy, nyaris dipastikan sesungguhnya mereka berada di lingkungan Baduy Luar, yang lebih terbuka terhadap orang luar dan sudah “terkontaminasi” modernisasi.

Nama Baduy ini diambil dari nama sungai yang melewati wilayah ini, sungai Cibaduy. Secara geografis terletak tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten.

Dengan ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (DPL), membuat wilayah ini memiliki topografi dengan berbukit dan bergelombang, dengan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan).

Perjalanan yang saya tempuh dari Baduy Luar menuju Baduy Dalam sekitar tiga jam. Bila melalui Desa Nangrang, atau desa yang dianggap bagian belakang dari Desa Baduy Dalam (Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik). Desa Nangrang ini merupakan kawasan terakhir bagi kendaraan roda empat dan dua, kemudian bisa dititipkan pada penduduk setempat.

Kali ini saya dan rombongan memang mencoba rute baru, untuk mengambil jalan pintas langsung menuju Baduy Dalam tanpa menginap di Baduy Luar. Dengan catatan, medan yang akan kami lalui lebih terjal dan menantang.

Jalur lainnya yang harus menginap melalui Ciboleger, menginap semalam di sana, sebelum masuk ke Baduy Dalam. Meskipun jarak tempuhnya bisa sekitar enam jam jalan kaki, yang tak sebanding dengan orang Baduy yang hanya perlu waktu satu jam saja.

Sebelum masuk wilayah ini, pengunjung harus melapor dulu kepada pemangku adat setempat yang disebut Jaro Pulung, seorang pimpinan adat yang tugasnya membina hubungan dengan kebudayaan luar. Setelah mengisi buku tamu dan mengutarakan maksud rombongan kami, perjalanan dimulai dari sebuah titik yang bertuliskan “Selamat Datang di Baduy”.

Wilayah Baduy Dalam, di mana mereka tinggal ada di pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum terusik dengan kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, sehingga sulit bagi masyarakat lainnya untuk bisa masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam.

Peraturan yang tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya bagi warganya adalah tidak menggunakan kendaraan jenis apapun untuk sarana transportasi, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan alat elektronik (teknologi), hanya mengenakan pakaian berwarna hitam/ putih yang ditenun dan dijahit sendiri, dan semua hal yang berkaitan dengan “kembali ke alam”. Karenanya selama ini tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam.

Setelah melewati perbukitan yang cukup terjal, keluar masuk beberapa kampung Baduy Luar, sampailah kami di perkampungan Baduy Dalam yang pertama, Cikertawarna. Matahari sudah tak tampak, jalanan pun mulai terlihat samar-samar. Kampung yang konon dihuni tak lebih dari 50 kepala keluarga ini amat sepi, sama sekali tak terdengar suara kehidupan. Hanya ada seorang bapak tua yang menyapa kami dalam bahasa Indonesia campur Sunda dialek Banten. Setelah tahu tujuan kami untuk mengunjungi kampung Cibeo, ia langsung memandu kami hingga ke ujung kampung.

Dua puluh menit kemudian kami telah sampai di Cibeo, tempat kami bermalam hari itu. Sekelompok anak-anak masih tampak berlarian di lorong-lorong antar rumah meski hari sudah mulai gelap. Kami disambut dengan penuh keakraban, salah seorang warga langsung menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap. “Di tempat kami saja,” ujar Syarif, lelaki berusia 25 tahun tersebut.

Ini bukan pertemuan pertama saya. Lima tahun lalu saya pernah juga menginap di rumahnya. Dan, tampaknya tak ada satu pun perubahan terjadi disini. Semua tetap sama, mulai dari perabotan hingga ruang-ruang dalam rumahnya. Yang berbeda, kini Syarif telah punya tiga anak, sulungnya pun telah meningkat remaja.

Setelah istirahat sejenak, kami telah disuguhi kopi dan teh hangat, berikut makan malam nasi dengan lauk mie instant campur kornet. Wah, meski hanya menu sederhana, namun beberapa teman setuju bahwa Baduy Dalam berhasil membuat “mie instant” jadi makanan terlezat di dunia – saat itu -. Begitu juga dengan kopinya yang terasa legit. Benar-benar menjadi makan malam penuh kesan.

Selepas makan kami duduk-duduk di teras sambil ngobrol dengan sang pemilik rumah. Hebatnya, kami tak dapat melihat wajah lawan bicara karena malam yang amat pekat. Justru disinilah uniknya, hanya mendengar suaranya tanpa bisa membayangkan ekspresi wajahnya. Tak lama kemudian datang teman-teman Syarif lainnya, jadilah malam itu kami mengobrol layaknya sebuah pertemuan keluarga yang penuh canda tawa.

Meski masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal budaya baca-tulis, namun ternyata mereka dapat mengikuti perkembangan dunia luar. Bahkan kami pun dibuat terkaget-kaget dengan berbagai pertanyaan atau jawaban mereka yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdas, dibalik kebersahajaannya.

Salah satu dari mereka dengan fasih menjelaskan asal-usul moyangnya dengan lengkap, bahkan mampu juga bicara tantangan yang harus mereka hadapi dalam era modernisasi.

baduy 2Tak terasa malam terus merambat. Sayup-sayup terdengar suara alat musik tradisional yang dipetik dengan penuh perasaan. Lilin, satu-satunya yang menjadi alat penerang rumah Sarif pun makin kecil nyalanya.

Setelah rombongan warga setempat pulang, saatnya menikmati “malam” yang sesungguhnya. Udara super dingin di malam yang pekat serta suara lolongan anjing, benar-benar “pas” untuk mereka yang butuh intropeksi diri. Kesunyian yang membeku inilah yang membuat saya tak kuasa memejamkan mata.

Namun, tak terasa hari telah berganti. Suara celoteh anak-anak kecil membangunkan saya. Rumah mereka yang didirikan diatas batu (ini kepercayaan mereka bahwa rumah supaya kokoh harus berdiri di atas batu) serta berbilik bambu, membuat udara masuk dengan leluasa. Tak salah bila sebagian besar dari rombongan kami menggigil semalaman. Sementara anak-anak kecil di Baduy Dalam ini tidur tanpa selembar kain di badan.

Bermalam di tempat terpencil ini tak hanya dapat belajar banyak soal kearifan hidup, tetapi kembali menyadarkan bahwa alam benar-benar bisa menjadi sahabat manusia untuk kembali menjadi manusia yang “membumi”. Setelah menikmati dinginnya air kali saat mandi, kami pun bergegas pulang kembali ke Jakarta. Tak lupa membawa air bambu hitam untuk obat batuk.

Ada begitu banyak kesan tertinggal di sana. Meski lelah meraja, dan kaki pegal tak ketulungan, rasanya sebanding dengan pengalaman ini. Belum lagi mobil yang kami tumpangi meluncur kembali ke Jakarta, seorang teman langsung nyeletuk,” Kapan balik lagi ke Cibeo ya?” tanyanya.

Orang Kanekes

Masyarakat baduy dikenal dengan sebutan Orang Kanekes. Sehari-hari pemerintahan adatnya dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi kedalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah.

Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka yang jumlahnya 9 orang bertugas menjaga, mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur mereka. Jaro tanggungan adalah pemimpin bagi Jaro Dangka dan Jaro Tangtu (Jaro Duabelas).

Sementara Jaro Pamarentah bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Dan, pimpinan tertinggi bagi mereka disebut “Puun”, sebuah jabatan yang diemban secara turun-temurun. Namun jabatan ini tak selalu turun dari bapak ke anak, bisa juga kerabat lainnya.

Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani (huma). Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual hasil hutan seperti buah durian, asam, dan madu. Saat tak ada pekerjaan di ladang, ada beberapa orang Baduy yang berkelana ke kota besar dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Cenderamata

Dimasa lalu perdagangan di tempat ini dilakukan secara barter. Namun sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Keahlian lain yang dimiliki warga Baduy Dalam adalah membuat kerajinan tangan, berupa manik-manik, anyaman, serta menenun kain, seperti kerajinan tangan tas koja yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang dianyam.

Dan, biasanya saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, mereka senang berkelana ke kota besar di sekitarnya menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Jakarta termasuk tempat tujuan favorit mereka, meski harus berjalan kaki beberapa dengan rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang.

Sumber: Majalah Travel Club