Legenda Roro Mendut dan Pronocitro, bagi masyarakat Jawa tak kalah seru dari Romeo-Juliet. Petilasannya di Sendangtirto, Berbah, Yogyakarta.

Setiap orang memiliki definisi tersendiri mengenai cinta. Keindahan kata tersebut pun teruntai dalam bahasa universal yang paling mudah untuk diucapkan dan dirasakan oleh makhluk hidup bernama manusia.

Namun, apa jadinya jika cinta berubah menjadi sebuah pengorbanan? Berawal dari perasaan ingin saling berbagi atau memberikan kasih sayang kepada orang yang dicintai, maka, muncul pengorbanan atas dasar cinta. Tentu saja, hal ini membuat ikatan suatu hubungan antara dua orang menjadi kuat.

Cinta pun mempunyai kisahnya sendiri. Sebut saja, dongeng, legenda, bahkan kisah nyata yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Dan, setiap rangkaian cerita tersebut tidak lekang oleh perjalanan waktu.

Jika di Barat ada kisah percintaan Romeo & Juliet, Indonesia mempunyai legenda Roro Mendut-Pronocitro, kisah cinta dari tanah Jawa yang begitu terkenal ditengah masyarakat. Roro Mendut hidup di era Kerajaan Mataram, di bawah kekuasaan Sultan Agung pada 1600-an.

Alkisah, sejak kecil Roro Mendut diasuh Adipati Pati. Saat itu, Sultan Agung yang berniat menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir Jawa, mengutus Tumenggung Wiraguna untuk menguasai Pati. Usai Pati diambil alih Wiraguna, Sang Adipati menyerahkan anak gadisnya, Roro Mendut sebagai tanda taklukan pada Wiraguna. Kemudian, Roro Mendut diboyong menuju Mataram.

Padahal, Roro Mendut sudah merajut cinta dengan seorang pemuda bernama Pronocitro. Karena tidak rela kekasihnya pergi bersama pria lain, Pronocitro pun mengikuti jejaknya ke Mataram. Setibanya di Mataram, Pronocitro menyamar jadi pekatik (pegawai yang merawat kuda prajurit dan raja). Keadaan tersebut dijadikan kesempatan pemuda itu agar bisa bertemu Roro Mendut.

Sementara, Roro Mendut bakal disunting oleh Wiraguna yang usianya jauh lebih tua dari gadis itu. Namun, Roro Mendut tidak terima dan memilih setia pada Pronocitro. Ia pun menolak tinggal di lingkungan istana. Hal ini membuat Wiraguna marah dan ingin membuat Roro Mendut menderita, dengan cara memberikan pajak kepada gadis itu.

Keinginannya untuk keluar dari lingkup istana yang semakin besar, membuat Roro Mendut menyanggupi tantangan tersebut. Ia pun menjual rokok pada setiap pria, baik muda maupun tua. Pesona kecantikan Roro Mendut seolah-olah menyihir para pria, hingga mereka mau membeli rokok buatan Roro Mendut. Dari hasil menjual rokok, gadis itu mampu menunjukkan pada Wiraguna bahwa ia bisa berhasil hidup di luar istana.

Namun, sayangnya pertemuan Roro Mendut dan Pronocitro yang berlangsung diam-diam itu, perlahan diketahui Wiraguna. Tumenggung yang memergoki mereka sedang berdua menjadi naik pitam. Ia langsung mencabut keris pusaka miliknya dan menghujamkan keris tersebut ke tubuh Pronocitro. Pasangan yang sedang bermadukasih ini pun terkejut. Melihat Pronocitro diserang, Roro Mendut membalikkan badannya seolah menutupi dan menjadi perisai tubuh kekasihnya.

Keris Wiraguna akhirnya menusuk punggung belakang Roro Mendut. Namun sayang, keris itu juga menembus sampai menusuk ke dada Pronocitro, tewaslah sepasang kekasih ini secara bersamaan. Roro Mendut tewas ketika memeluk kekasihnya.

Kematian Roro Mendut merupakan pembuktian dari seorang perempuan yang menggugat kemapanan dan kekuasaan patriarkis. Dia merupakan sosok wanita yang bisa melawan tindakan anarkis dari orang yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan.

Dilain pihak, kisah perjalanan cinta sepasang kekasih ini harus berakhir dengan kematian yang tragis. Legenda Roro Mendut pun menyajikan sebuah bentuk kisah cinta abadi bagi masyarakat Jawa.

Hingga saat ini, petilasan Roro Mendut yang terletak di sebelah timur Kota Yogyakarta, tepatnya di wilayah Dusun Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman, masih ramai dikunjungi para wisatawan atau peziarah. Bahkan, di sekitar lingkungan petilasan banyak warga yang menjual rokok. Mereka beranggapan, dengan menjual rokok dapat meraih penghasilan yang besar seperti dulu, waktu Roro Mendut berjualan barang yang sama.

Sumber: Majalah Travel Club