Adalah Seorang Raden Patah yang menjadi perintis kerajaan Islam di Jawa. Ia disebut-sebut sebagai putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan putri asal Campa (kini Kamboja) yang telah masuk Islam. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Ampel Denta -pesantren yang dikelola Sunan Ampel. Ibu Sunan Ampel (istri Maulana Malik Ibrahim) juga putri penguasa Campa ketika Majapahit melemah dan terjadi pertikaian internal, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dan membangun Kesultanan Demak. Dalam konflik dengan Majapahit, ia dibantu Sunan Giri. Berdirilah Kesultanan Demak pada 1475 atau beberapa tahun setelah itu.

Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit. Konon sebagian penganut Hindu kemudian hijrah ke Bali dan sebagian mengasingkan diri ke Tengger.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Dia yang menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pangeran Sabrang Lor ini tampaknya adalah Dipati Unus menurut sumber Portugis. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang “walisongo”.

Dalam buku “Sejarah Ummat Islam Indonesia” yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia, Trenggono banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta) digempur. Berbagai wilayah lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan – Jawa Timur. Ia diganti adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh Adipati Jipang, Ario Penangsang.

Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya -menantu Trenggono-memindahkan kerajaan ke Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat dikalahkan. Senopati dijadikan menantu Sultan. Begitu Adiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Mataram.

Senopati berkuasa dengan tangan besi. Legenda rakyat menyebut ia membunuh menantunya sendiri, Ki Mangir, dengan menghantamkan kepala korban ke batu. Ia digantikan anaknya, Pangeran Seda ing Krapyak yang meninggal pada 1613. Pemerintahan dilanjutkan oleh anak Seda ing Krapyak, Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung (1613-1645).

Sultan Agung memegang erat kekuasaan dengan gaya yang anggun. Wilayah demi wilayah ditaklukkannya untuk tunduk ke Mataram. Adipati Ukur di Sumedang diserangnya. Panembahan Kawis Gua -pelanjut Sunan Giri- berhasil dibekuk dan ditawan di Mataram. Blambangan digempur.

Kesultanan Cirebon diikatnya dengan perkawinan. Putri Sultan Agung menikah dengan Pangeran Cirebon. Adipati Surabaya yang memberontak dikalahkannya, lalu Pangeran Pekik, putra adipati itu diambilnya sebagai menantu.

Ia juga mengirim utusan ke Mekah, menggunakan kapal Inggris, untuk memperoleh gelar Sultan. Tahun 1641, gelar itu diperolehnya. Jadilah Mataram bukan hanya pusat kekuasaan namun juga pusat Islam di Jawa. Sultan Agung mengubah penanggalan Jawa dari Tahun Saka menjadi Tahun Hijriah. Ia juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis ‘Babad Tanah Jawi’.

Setelah era Demak, Sultan Agung adalah satu-satunya kekuasaan yang berani menggempur asing. Pada 1618, VOC Belanda bertikai dengan Jepara yang berada di pihak Mataram. Pada 1628 dan 1629, Sultan Agung dua kali menyerang markas VOC di Batavia. Upayanya gagal setelah gudang persediaan makanannya dibakar Belanda.

Pada Februari 1646, Sultan Agung wafat. Ia dimakamkan di puncak bukit imogiri /daerah wonosari jogya, komplek pemakaman yang dibangunnya pada 1631,dan sekarang menjadi komplek pemakaman raja raja tarh Mataram dari Solo dan Jogyakarta

Sang anak, Amangkurat II, seorang ambisius. Ia ingin sesegera mungkin naik tahta menganti ayahnya. Ia bersama seorang Madura, Trunojoyo, untuk memberontak. Trunojoyo menguasai kerajaan. Pada 1677 itu, di saat rakyat tertimpa musibah kelaparan hebat, Amangkurat I terlunta-lunta mengungsi hingga meninggal di daerah Tegal. Sejak Amangkurat I,nampaknya kekuasaan di Jawa sepenuhnya dalam pengaruh pihak Belanda.

Amangkurat II kemudian berkoalisi dengan Belanda untuk mengalahkan Trunojoyo. Bahkan Amangkurat II menikam sendiri perut sahabat dekatnya tersebut. Amangkurat II ini yang menurunkan Dinasti Pakubuwono di Solo dan Hamengkubuwono di Yogya. Dari Pakubuwono kemudian pecah Dinasti Mangkubumi. Sedangkan dari Hamengkubuwono lahir Dinasti Paku Alam.

Masjid Agung Demak

Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama dalam tempo satu malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala “Lawang Trus Gunaningjanmi”, sedang pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479.

Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.

Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting. Wali inilah yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang konon berisi baju “hadiah” dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.

Memasuki pertengahan abad XVII, ketika kerajaan Mataram berdiri, pemberontakan pun juga mewarnai perjalanan sejarah kekuasaan raja Mataram waktu itu.

Sejarah yang sama juga melanda kerajaan Demak. Kekuasaan baru yang berasal dari masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak.

Namun keberadaan kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan. Dimasa pemerintahan raja Trenggono, walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari. Tapi perlawanan perang dan pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang memiliki basis kuat keyakinan Hindu. Sehingga, daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu. Di tahun 1548, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang.

Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih ada hubungan darah dengan sang raja.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.