Foto-foto: Istimewa PASIR PUTIH – Pantai Rua, sekitar 20 km dari Kota Waikabubak, Sumba Barat, NTT, menawarkan panorama pantai yang berpasir putih. Pantai yang masih jauh dari keramaian ini belum dijamah secara profesional sebagai objek wisata (atas).

WAIKABUBAK – Ketika menjejakkan kaki di perkampungan tua di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) sesaat bayangan kehidupan modern seolah lenyap. Kenyataan di depan mata menunjukkan sisa kehidupan dari masa prasejarah, zaman megalit. Sumba memberikan panorama kontras yang unik. Di satu sisi, tawaran dunia modern tak terelakkan dan terpaksa berhadapan dengan warisan tradisi masa lalu yang sangat kental di sisi yang lain.

Sumba ternyata bukan sekadar padang sabana, yang akrab dengan ringkikan kuda sandel. Juga, bukan sekadar menawan mata ketika kaum pria mempertontonkan kemahiran berkuda, dengan tubuh duduk tegap di punggung kuda mengiring ternak gembalaannya.
Sekilas, hamparan sabana menunjukkan kegersangan di saat kemarau atau tak lebih dari padang rumput hijau di saat musim hujan. Tapi, sabana itu merupakan sumber makanan ternak bagi kaum peternak. Untuk itu, wilayah Sumba Timur dijuluki sebagai “matawai amahu pada jara hamu” atau “mata air yang bagus bagi peternakan kuda”. Sementara Sumba Barat menegaskan sebagai daerah sabana dengan julukan “pada eweta manda elu” atau “padang rumput yang hijau”.
Pulau yang dikenal sebagai Pulau Sandelwood ini menyimpan situasi kontras yang tampak di Waikabubak, Ibukota Kabupaten Sumba Barat. Sepintas, kota ini tak berbeda dengan kota kabupaten lain di NTT. Sejumlah ruas jalan sudah licin berlapis hotmix, yang meliuk-liuk di bawah perbukitan. Namun, kalau kaki berbelok arah untuk menapaki bukit, di sana akan ditemui kehidupan dengan deretan rumah tradisional yang seolah tak terjangkau perubahan zaman.
Di kota ini, ada sejumlah kampung tua yang bisa dinikmati keasliannya, seperti Kampung Tarung, Tambelar, Dessa Elu, Bodo Ede, dan Kampung Paletelolu. Kampung Tarung, misalnya, merupakan kampung tua yang terletak persis di jantung kota. Sama dengan yang lain, kampung ini dipenuhi dengan deretan rumah menara beratap ilalang, rumah tradisional khas Sumba.
Rumah tradisional Sumba terdiri dari tiga bagian. Lantai paling dasar merupakan kandang ternak (kuda). Kemudian, lantai dua merupakan tempat keluarga, tempat tidur dan perapian terletak persis di bagian tengah. Sedangkan, bagian menara merupakan gudang atau tempat menyimpan persediaan pangan.
Untuk menuju ke lantai dua terdapat dua pintu. Fungsi dari setiap pintu terkait erat dengan polarisasi gender. Pintu utama biasanya diperuntukkan bagi tamu dan kaum lelaki. Sedangkan pintu belakang digunakan untuk aktivitas yang melekat dengan kaum perempuan. Pintu belakang ini boleh dikatakan menjadi pintu kaum perempuan. Pada masa lalu, sangat pantang bagi kaum perempuan untuk masuk melalui pintu kaum pria. Tapi, kini kedua pintu itu bisa dilalui kaum pria maupun perempuan tanpa harus merasa bersalah.
Nuansa masa lalu kian sempurna ketika rumah tradisional itu berpadu dengan kuburan batu, yang mengingatkan kehidupan masa megalitikum—zaman batu besar—salah satu babak zaman prasejarah. Tak salah lagi, Sumba merupakan sorga bagi peneliti megalit.
Di setiap sudut kota dan kampung begitu mudah Anda menemukan menhir—batu besar seperti tiang atau tugu yang ditegakkan di tanah, sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang. Begitu juga dolmen—monumen prasejarah berupa meja batu datar yang ditopang tiang batu, dalam berbagai ukuran sangat mudah dijumpai di setiap kampung.
Tapi, dalam satu dasawarsa terakhir, kebiasaan untuk menarik batu kubur yang menyerupai meja batu itu kian meredup, kalau tidak mau dikatakan hilang. Pada masa lalu, orang Sumba yang sudah berusia lanjut akan memikirkan, di mana harus dikubur ketika meninggal. Untuk itu, semasa hidup, ia akan membuat batu kubur yang melibatkan ratusan orang selama berhari-hari.
Memang, menyiapkan satu kuburan batu bukanlah perkara gampang, karena membutuhkan pengorbanan materi yang cukup besar. Rupanya, faktor materi ini menyebabkan orang lebih memilih untuk membuat kuburan dari beton daripada harus menarik batu kubur dari jarak sekitar 2 atau 3 km yang menelan anggaran cukup besar.

Marapu
Berbagai ornamen masa lalu itu tidaklah berdiri sendiri, melainkan terkait erat kehidupan sebagian masyarakat Sumba yang menganut agama tradisional Marapu. Marapu merupakan agama asli orang Sumba sebelum disentuh pengaruh agama Kristen. Kini, komunitas Marapu semakin terdesak seiring tak ada jaminan dari negara akan eksistensi dari keyakinan di luar enam agama resmi negara.
Meski tanpa pengakuan dari negara, komunitas Marapu tetap eksis dalam menjalankan upacara keagamaan, termasuk upacara kelahiran, perkawinan, kematian, dan syukuran. Bahkan, komunitas Marapu di wilayah Kota Waikabubak mengenal adanya wula podu (bulan suci) selama satu bulan sekitar Oktober dan November setiap tahun.
Penentuan bulan suci itu tidak berdasarkan kepada kalender masehi, tapi berdasarkan perhitungan tetua adat, dengan mengacu kepada gejala alam dan benda langit, terutama bulan. Tidak adanya waktu yang tetap membuat upacara ini sulit masuk dalam jadwal kunjungan wisata.
Upacara wula podu ini diselenggarakan di tiga kampung utama, yakni di Wee Bangga (sekitar 15 km dari Waikabubak), Kampung Bodo Maroto (sekitar 3 km dari Waikabubak) dan Kampung Tarung. Selama bulan suci itu, sama sekali tidak diperkenankan adanya pesta, termasuk menabuh gong. Praktis, selama bulan suci hanya gong dari ketiga kampung itu yang boleh ditabuh untuk mengiringi upacara keagamaan.
Bahkan, komunitas Marapu yang meninggal dalam bulan suci langsung dikubur tanpa upacara yang lazim dilakukan bagi orang meninggal. Tapi, setelah melewati bulan suci keluarga si mati bisa menggelar upacara resmi, yang biasanya ditandai dengan pemotongan ternak.
Pada saat wula podu itu, semua suku (kabisu) akan berkumpul di rumah induk masing-masing untuk melakukan upacara sekaligus menjadi ajang pertemuan keluarga. Pada umumnya, semua rumah adat yang di Kampung Tarung merupakan rumah utama dari setiap suku.
Upacara puncak wula podu diwarnai dengan berbagai tarian adat yang ditarikan seharian penuh, dari pagi hingga petang. Semua tarian itu hanya bisa disaksikan sekali dalam setahun (saat wula podu). Para penari baik kaum pria maupun perempuan mengenakan perlengkapan adat resmi. Selain diiringi gong, para rato (tetua adat) juga silih berganti melantunkan syair-syair adat yang ditujukan kepada pencipta.
Selain upacara wula podu, komunitas Marapu di Sumba Barat juga mempunyai upacara adat pasola, yang sangat atraktif. Sama dengan wula podu, pagelaran pasola dilakukan berdasarkan perhitungan kaum tetua adat. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi wisatawan untuk merencanakan perjalanan.

Pesona Budaya
Pasola merupakan perang berkuda yang melibatkan dua kelompok besar pasukan berkuda dan saling menyerang dengan senjata lembing kayu. Pasola digelar sekali dalam setahun, antara Pebruari dan Maret di empat wilayah di Sumba Barat, yakni di Wanokaka, Lamboya, Gaura dan Kecamatan Kodi.
Kecuali wula podu dan pasola, upacara kematian dan perkawinan juga menyimpan pesona budaya tersendiri. Seseorang yang meninggal dunia, tidak akan serta merta dikuburkan. Tapi, bisa dibiarkan antara tiga sampai satu pekan di rumah sebelum dimakamkan. Setiap hari, keluarga duka harus menjamu tamu yang melayat dengan makanan dan minuman.
Pada hari pemakaman, sejak subuh tetua adat sudah menyampaikan doa dan syair adat bagi kemuliaan roh si mati. Penyampaian doa itu diiringi dengan tabuhan gong berirama sendu, yang bisa membangkitkan perasaan duka mendalam. Sebelum pemakaman, akan dilakukan pemotongan ternak dengan jumlah yang sesuai dengan kemampuan keluarga duka.
Hanya saja, pemotongan ternak itu sangat jauh dari perhitungan ekonomis. Bahkan, sekitar akhir dekade 1980-an, Pemda Sumba Barat pernah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi pemotongan ternak maksimal lima ekor. Pasalnya, ketika itu Pemda menyaksikan pemotongan ternak yang sangat berlebihan.
Upacara perkawinan, juga tidak kalah menyimpan daya tarik. Namun, ini membutuhkan keberuntungan wisatawan untuk menyaksikan upacara perkawinan, terutama ketika terjadi pembicaraan mengenai belis (mas kawin). Sebab, belis dalam rupa ternak itu bisa mencapai puluhan ekor kuda, kerbau dan sapi yang harus diserahkan ke keluarga perempuan. Apalagi, kalau perkawinan itu melibatkan kaum “darah biru”.
Namun, mas kawin yang besar itu, biasanya mendapat imbalan yang setimpal dari pihak perempuan berupa kain dan perhiasan. Faktor keseimbangan ini biasanya sangat terjaga, guna menghindari dominasi dari satu pihak.

Pesona Alam
Pulau Sumba sesungguhnya bukan hanya menawarkan wisata budaya. Pesona alamnya pun tak kalah memikat. Setelah letih menyaksikan objek budaya, wisatawan bisa menyegarkan diri dengan menyaksikan air terjun di Weikelo Sawah, sekitar 9 km dari Waikabubak. Air terjun yang pernah dimanfaatkan sebagai sumber listrik itu menawarkan panorama yang alami, dengan sumber air dari gua yang cukup besar. Bila masih tertarik dengan air terjun, wisatawan bisa bergerak ke arah selatan Kota Waikabubak (sekitar 20-an km), di sana terdapat air terjun Laikanino, yang juga menawarkan pesona alam yang lain.
Wisatawan yang tertarik untuk menyaksikan laut, ada sejumlah pantai yang berpasir putih, terutama di pantai selatan. Seperti, pantai Rua (20 km dari Waikabubak), Wanokaka (15 km dari kota), Nihiwatu (25 km dari kota) dan Marosi sekitar 35 km dari kota. Panorama di sana dijamin masih asli, dan belum tersentuh polusi apa pun. Bahkan, nyaris tak ditemukan adanya sampah plastik. Garis pantai memanjang, berpasir putih dan air laut biru bening merupakan kekhasan pantai selatan.
Laut pantai selatan terkadang menunjukkan perangai yang tenang dan bersahabat. Tapi, terkadang perangai itu berubah menjadi gulungan ombak yang menawarkan tantangan kepada peselancar untuk menaklukkannya.
(Sinar Harapan/daniel duka tagukawi)