adu-kerbauRANTEPAO-Jika ingin menyaksikan lestarinya adat budaya leluhur di tengah hiruk–pikuk budaya global, tengoklah Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan, sekitar 300 kilometer sebelah utara Makassar.
Betapa tidak, meskipun warganya sudah merantau ke Australia, Eropa maupun Amerika, mereka tetap menjalankan upacara adat yang sudah berusia ribuan tahun di kampung halamannya.
Kini upacara adat tersebut menjadi magnet wisata Sulawesi Selatan dan Indonesia bagian timur, di samping alamnya yang indah dan menakjubkan. Bahkan, konon Tana Toraja sudah dikenal para turis mancanegara sejak 1960-an.
Dari informasi Dinas Pariwisata Kabupaten Tana Toraja, terdapat upacara adat yang tidak ada duanya di muka bumi. Upacara tersebut adalah Rambu Solo’, yaitu upacara adat memakamkan leluhur dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’. Selain itu, dikenal juga upacara Ma’nene’ dan upacara Rambu Tuka’.
Upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ diiringi dengan seni tari dan musik khas Toraja selama berhari-hari. Rambu Tuka’ adalah upacara memasuki rumah adat baru yang disebut Tongkonan atau rumah yang selesai direnovasi satu kali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara ini dikenal juga dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Sementara itu, Rambu Solo’ sepintas seperti pesta besar. Padahal, merupakan prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih.
Tidak hanya ritual adat yang dijumpai dalam upacara Rambu Solo’. Berbagai kegiatan budaya menarik pun ikut dipertontonkan, antara lain Mapasilaga Tedong (adu kerbau) dan Sisemba (adu kaki).
Upacara Rambu Solo’ yang disaksikan SH berlangsung akhir Oktober lalu di Desa Nanggala, Kecamatan Nanggala, sekitar 15 kilometer sebelah timur Ibu Kota Kabupaten Tana Toraja Utara, Rantepao. Saat itu yang dimakamkan adalah Sindo Salurapa dan putranya, Vila Salurapa.
Nenek Sindo meninggal 8 Maret 2000 dan disusul anaknya seminggu kemudian. Sindo dikenal sebagai orang kaya, memiliki ratusan hektare sawah dan kebun.
Upacara pemakaman ayah mertua Vila Salurapa dan nenek mertua Sindo Salurapa baru digelar saat itu karena menunggu kesepakatan keluarga yang tinggal di Amerika dan Australia. Namun, persiapannya sudah dilakukan sejak awal tahun lalu, di antaranya pembangunan makam untuk Vila Salurapa yang menelan dana ratusan juta, termasuk bangunan lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang diberi nomor.
Selama upacara berlangsung, sanak keluarga menginap di lantang. Upacara pemakaman ini termasuk kategori tertinggi (Dipapitung Bongi), yakni selama tujuh malam dan setiap hari dilakukan pemotongan hewan. Jumlah kerbau dan babi yang terkumpul mencapai 150 ekor. Namun, tidak semua dipotong karena sebagian dibagikan ke desa-desa yang membantu terselenggaranya pesta tersebut.

Adu Kerbau
Yang paling menarik perhatian pengunjung, terutama turis asing, adalah adu kerbau (Mapasilaga Tedong). Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau. Ada kerbau bule atau albino, ada pula yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut salepo dan hitam di punggung (lontong boke). Jenis yang terakhir ini harganya paling mahal, bisa di atas Rp 100 juta. Juga terdapat kerbau jantan yang sudah dikebiri—konon cita rasa dagingnya lebih gurih.
Puluhan kerbau ini dibariskan di lokasi upacara.
Selanjutnya, diarak dan didahului dengan tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Di sini kerbau-kerbau ini dibariskan lagi sebelum diarak ke lokasi upacara.
Saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, upacara diiringi dengan musik tradisional yang iramanya timbul dari sejumlah wanita menumbuk padi pada sebuah lesung besar dan panjang secara bergantian.
Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi—disebut tuak, kepada pemandu kerbau dan para tamu.
Setelah semua prosesi dilalui, dilanjutkan dengan adu kerbau di sawah. Adu kerbau diawali dengan kerbau bule.
Partai adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.
Menurut Ketua Panitia Rambu Solo’ Tuban Rombelayo, Rambu Solo’ mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong, tolong-menolong, kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang tua. Mengenai adu kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik pariwisata, namun di sisi lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong Bonga), yang dipotong akan mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong Bonga termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies yang hanya terdapat di Toraja. n