Foto-foto: Adi Marsiela

Sejumlah siswa sekolah dasar menyaksikan tarian dari Patung Sigale-gale. Dahulu patung ini dapat menari sendiri, namun kini menari dengan bantuan tali.

Setelah menyimak sejarah Desa Siallagan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir yang diceritakan Guido Sitinjak, pemandu wisata (SP Minggu 6 Januari) perjalanan dilanjutkan menuju ke Tomok, Kecamatan Simanindo. Sumatera Utara. Ternyata berdasarkan silsilah, raja di Tomok masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Siallagan.

Di lokasi ini kita bisa meyaksikan objek wisata Patung Sigale-Gale dan juga Makam Sidabutar. Kali ini yang menjadi pemandu wisata adalah Parlindungan Situmorang.

Patung Sigale-Gale bukan sembarang patung. Ada setumpuk cerita dibalik patung tersebut. Kisah soal patung ini katanya, dimulai berabad-abad lalu ketika Raja Rahat yang memerintah di Uluan memiliki putra, Raja Manggale namanya. Putra semata wayangnya itu sangat disayangi oleh seluruh kampung, terlebih oleh ayahnya karena dia pintar menari.

Ketika sang putra, Raja Manggale itu jatuh sakit dan tidak tertolong nyawanya, Raja Rahat sangat bersedih dan berduka. Sampai akhirnya ada tiga orang menyanggupi untuk membuat patung yang mirip dengan Raja Manggale.

Patung itu mereka buat terpisah, kepala, bagian leher hingga pinggang dan kakinya. Berbekal kesaktian tiga orang tersebut, roh Raja Manggale dipanggil dan masuk ke dalam patung tersebut.

Semenjak itu patung tersebut bisa menari dan menghibur sang raja. “Patung ini bisa menari sampai jongkok. Tapi sekarang patung itu digerakkan dengan tali dan ini adalah patung duplikatnya,” terang Parlindungan.

Agar bisa menyaksikan patung itu menari, pengunjung diharuskan membayar Rp 60 ribu. Ada empat tarian dalam sekali pertunjukkan, dimulai dengan Gondang Mula-Mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat dan diakhiri dengan Gondang Sitiotio. “Tiap tarian punya arti tentang hubungan kita dengan Sang Pencipta,” ujarnya.

Usai menari, kami diajak berkunjung ke Makam Sidabutar yang dimakamkan semenjak 460 tahun lalu. Sebelum memasuki kawasan makam, setiap pengunjung diharuskan mengenakan ulos, kain khas Batak.

Ulos itu merupakan kepanjangan dari unang lupa oloi sipasingot yang artinya turuti nasihat. Makanya dalam acara pernikahan, biasanya undangan memberikan kain tersebut kepada pasangan yang menikah sembari memberi nasihat-nasihat.

Dalam kawasan makam itu ternyata ada sedikitnya delapan kuburan, empat di antaranya sudah menggunakan salib sebagai simbol kepercayaan yang dianutnya.

Kuburan raja pertama di sana, kata Parlindungan, adalah tempat peristirahatan terakhir dari Raja Op. Soribuntu Sidabutar. Setiap raja yang dimakamkan di sana sebelumnya sudah dibalut terlebih dahulu dengan ulos dan juga dibalsem. “Waktu tahun 1973 batunya dibuka melalui upacara adat, tulang-tulang di dalamnya masih utuh.”

Secara sekilas, kita bisa melihat seperti apa raut wajah raja-raja yang pernah berkuasa di sana dari ukiran yang ada di makam batu itu. Salah satu kuburan yang cukup besar dan pahatannya masih jelas adalah milik Op. Ujungbarita Sidabutar, raja kedua di sana. Konon, warna merah pada bagian ujung makam yang berukir wajah itu adalah darah manusia.

Pada bagian depan, ada ukiran berbentuk orang yang dipercaya sebagai tangan kanan sang raja. Sedangkan di bagian belakang kuburan terdapat pahatan berbentuk perempuan yang dipercaya adalah Anting Malela boru Sinaga.

“Mereka sempat bertunangan selama 10 tahun, namun saat hendak berlangsung pernikahan, yang perempuan kena sihir sehingga malu dan lari ke hutan. Dari sana raja selalu menantinya, makanya dibuat patungnya,” tambah Parlindungan.

Pedagang ulos dan cenderamata tengah menawarkan dagangannya ke turis asing.

Parlindungan Situmorang menceritakan sejarah makam Raja Sibabutar di Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Ulos

Selain bisa melihat dan menikmati kisah-kisah dari masa lalu, kita juga bisa membeli berbagai oleh-oleh dari toko-toko cendera mata di sana. Para pedagang memajang dan menjual berbagai barang kerajinan seperti ulos, ukiran kayu khas tanah Batak seperti sistem penanggalan Batak, tempat obat yang terbuat dari bambu, serta gitar batak.

Perjalanan wisata di Danau Toba dan Pulau Samosir memang tidak bisa dinikmati dalam waktu sekejab. Sayang rasanya meninggalkan kawasan yang begitu kaya akan hal-hal menarik. Tapi, waktu kunjungan yang hanya beberapa jam di sana, setidaknya memberikan pemahaman dan kesenangan tersendiri bagi saya.

Makanya tidak salah kalau Maringan Simbolon, Kepala Dinas Pariwisata, Seni Budaya, dan Perhubungan mencoba meningkatkan kualitas masyarakat di sana, terutama para pedagang. Pasalnya, ketika wisatawan hendak pulang dengan segala kenangan yang sudah didapatnya, tiba-tiba ada saja pedagang yang memaksa mereka untuk membeli barang dagangannya.

“Kita membentuk kelompok sadar wisata untuk mengelola objek wisata. Karena kita tidak ingin wisatawan hanya datang sekali dan tidak datang kembali,” tuturnya.

Oleh karena itu katanya, pelatihan sadar wisata bagi pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat sekitar kawasan wisata, menjadi program penting pemerintah daerah untuk membangun industri pariwisata yang menjadi andalan sumber pendapatan daerah.

Tampaknya usaha membuat kelompok sadar wisata itu harus menjadi perhatian bagi pemerintah setempat. Karena bukan tidak mungkin, wisatawan seperti saya, yang baru datang sekali dan memiliki kenangan indah justru memilih tidak kembali ke sana. Penyebabnya, kebiasaan masyarakat yang memaksa pengunjung membeli barang-barang mereka. [SP/Adi Marsiela]