Salah satu rumah adat Batak di Desa Siallagan. Biasanya rumah itu dihuni oleh seluruh anggota keluarga.

Dermaga Tiga Raja, Parapat menjadi salah satu tempat bagi wisatawan untuk menyeberang ke Pulau Samosir.

“Sometimes words are hard to findI’m looking for that perfect line to let you know you’re always on my mindyeah, this is love – and I’ve learned enough to knowI’m never letting go no, no, no – won’t let go,…”

Lantunan lagu berjudul The Best of Me dari dalam pemutar kaset di KM Lake Toba Cruise 2 itu seakan-akan mengerti dengan apa yang tengah saya alami. Bryan Adams menyanyikan lagu tersebut untuk menceritakan sesuatu yang indah dalam hidup tidaklah akan dilepaskan atau dilupakannya.

Saat mendengar lagu itu, saya tengah berada di kapal motor menyeberang ke Pulau Samosir di kawasan Danau Toba dari Parapat (disebut pula Prapat). Menarik memang menikmati keindahan pemandangan alam, terlebih ini kunjungan pertama saya ke danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara itu. Apalagi letaknya merupakan yang tertinggi di dunia.

Pulau Samosir yang saya tuju memiliki panjang sekitar 130 kilometer. Apabila ada waktu lebih, kita dapat mengelilinginya lewat perjalanan darat. “Pulau di atas pulau dan danau di atas danau,” demikian slogan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mempromosikan pariwisatanya.

Samosir adalah pulau yang berada di tengah Danau Toba. Dia berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Memasuki tahun 2004, Samosir menjadi sebuah kabupaten tersendiri dengan sembilan kecamatan. Sebelumnya, masih menjadi bagian Kabupaten Tapanuli Utara Kawasan ini pun terdiri atas sembilan kecamatan, yakni;.

Menyeberang dengan perahu motor dari pelabuhan Tiga Raja, Parapat ke Samosir memakan waktu antara setengah hingga satu jam. “Tarif kendaraan roda empat untuk sekali menyeberang Rp 78 ribu, sedangkan penumpang biasa hanya dikenai Rp 1.500,” tutur M Idris Nasution yang memandu perjalanan wisata saya dan rekan-rekan jurnalis dari Jakarta.

Di sela-sela perjalanan menyeberang, Idris menceritakan asal muasal terjadinya Danau Toba. Cerita ini berawal ketika seorang pemuda yatim piatu pergi memancing. Kegiatan ini merupakan salah satu mata pencahariannya selain bertani.

Ketika memancing, dia mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Dibawanya ikan itu ke rumahnya. Ketika dia tinggalkan, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik. Singkat cerita, ikan itu mengaku dirinya telah dikutuk dewata dan bisa berubah menjadi manusia karena sudah disentuh oleh sang pemuda.

Si pemuda itupun melamar putrid itu menjadi istrinya. Sesaat sebelum menerima lamaran, sang gadis meminta agar pemuda itu memenuhi syarat yang diajukannya. “Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan,” kata Idris meniru ucapan sang putri.

Karena menyanggupinya, jadilah mereka berdua menikah dan dikaruniai seorang putra. Beranjak dewasa, si anak selalu merasa lapar. “Walapun sudah banyak makan-makanan, ia tak pernah merasa kenyang.”

Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orangtuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, ayahnya pun mengumpat kelakuan sang anak. “Dasar anak keturunan ikan!”

Dari sana bencana berawal. Sang istri yang merasa dikhianati marah dan pergi ke bukit. Dengan emosi, dia meminta agar Yang Kuasa memberikan pelajaran kepada suaminya. Tidak lama kemudian, langit pun menjadi gelap dan turunlah hujan dalam waktu yang cukup lama. Lama-kelamaan, air hujan itu terkumpul semakin banyak dan besar genangannya hingga menjadi danau.

foto-foto:SP/Adi Marsiela

Batu ini menjadi penanda saat keturunan Raja Siallagan di Pulau Samosir menerima agama Kristen sebagai kepercayaannya.

200 Tahun

Tidak terasa, cerita itu menghantarkan kami ke Desa Siallagan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Di sana kami disambut oleh pemandu wisata setempat, Guido Sitinjak. Perkampungan ini dikelilingi batu-batu alam yang disusun lebih dari satu meter tingginya. Guido pun mengajak kami menikmati peninggalan sejarah di sana, kursi dan meja yang usianya sudah lebih dari 200 tahun.

Kursi-kursi itu ditempatkan mengelilingi sebuah meja dari batu alam. Di bagian tengahnya ada pohon beringin, simbol adanya sebuah kampung pada masa lalu. Kursi dan meja itu digunakan untuk menggelar persidangan. “Saat sidang, terdakwa bisa mendengarkan sembari dipasung di bawah salah satu rumah. Yang paling sering disidang dan dihukum berat itu biasanya mata-mata musuh,” kata Guido.

Katanya, sebelum sidang digelar, biasanya kepala suku meminta bantuan dari penasehat spiritualnya untuk menentukan hari baik. Guido sendiri menyebut penasehat spiritual raja itu sebagai dukun. Sebutan itu mungkin terkait dengan adanya tunggal panaluan (tongkat sihir) yang dimiliki oleh sang dukun. “Dengan tongkat itu, dia bisa menaklukan orang atau juga memanggil roh. Baik yang sudah tidak ada atau yang masih hidup.”

Apabila dalam sidang diputuskan si terdakwa bersalah, maka dia akan dibawa ke tempat eksekusi. Letaknya terpisahkan oleh tembok batu. Di sana, si terdakwa akan mendapatkan makanan terakhirnya.

Terdakwa akan ditutup matanya. Setelah itu badannya akan ditelentangkan di atas batu yang lebih panjang ukurannya. Agar kekuatan magis terdakwa terkuras habis dan eksekusi berjalan dengan lancar, biasanya sang dukun akan menyayat tubuh serta memberikan asam garam di atasnya. Selain itu jantung dan hatinya akan diambil. Sebelum kepalanya dipenggal, sang dukun juga bakal merapal mantera yang dibacanya dari kitab yang disimpan melintang di atas tubuh terdakwa. “Itu agar hukum pancung lancar. Eksekusi terakhir dilakukan tahun 1816. Setelah itu datang misionaris ke sini,” papar Guido.

Menurut dia, perkampungan itu usianya sudah lebih dari 500 tahun berdasarkan silsilah keturunan Raja Siallagan ompu Batu Binjang. “Sekarang yang merawatnya keturunan ke-18.”

Masih di tempat yang sama, dia mengajak kami melihat Rumah Bolon, rumah tradisional di sana. Dapur di rumah panggung itu terletak di bagian tengah. Peralatan dapur dan kayu bakar disimpan di para-para yang digantung tepat di atas posisi dapur. Seluruh anggota keluarga tinggal di dalam satu rumah.

Tempat buang air sendiri berada di pojokan ruangan dengan lubang pembuangan yang langsung menuju ke bawah, tempat biasa binatang ternak disimpan. Atap rumah tradisional itu bagian depannya lebih tinggi dari yang belakang. Ini menjadi pesan agar sang anak nantinya lebih sukses daripada orang tuanya.

Yang cukup unik adalah pintu masuknya. Selain kecil, setiap orang masuk harus menunduk kepala di bagian dalamnya. “Itu buat menghormati yang ada di dalam rumah. Selain itu, apabila yang bertamu itu memiliki ilmu akan kalah dengan pemilik rumah. Karena dia datang sudah menghormat,” katanya.

Pada bagian luarnya, terdapat pahatan-pahatan. Motifnya antara lain berbentuk cicak, singa, dan juga payudara. “Cicak itu pesan agar orang Batak mudah beradaptasi, sedangkan singa itu untuk melawan unsur mistis dari luar. Payudara lebih melambangkan kesuburan,” terangnya. [SP/Adi Marsiela]