Indahnya Danau Lindu

Menuang ikan mujair ke atas ojek motor. Untung Rp 1.000 per enam ekor. [Foto-foto: Istimewa]

Apa yang membuat Anda tertarik ke situ? tanya seorang rekan. ” Banyak sekali!” jawab saya. Danau Lindu di Sulawesi Tengah ini terkenal hingga ke mancanegara. Orang yang tertarik penelitian dan bidang kesehatan akan mengetahui bahwa di situ ditemukan penyakit cacing schistosomiasis, yang disebabkan oleh parasit Schistosoma japonicum. Penyakit ini ditularkan oleh sejenis kerang air.

“Syukur kini penyakit itu sudah diketahui,” kata Ketua Adat Masyarakat Lindu, TG Sadombu. Dulu, katanya bercerita, dalam sehari bisa meninggal tiga orang akibat penyakit itu. “Bisa-bisa masyarakat Lindu tinggal kenangan. Karena yang lahir dan meninggal tidak seimbang!” tambahnya. Ketua adat ini telah berusia 72 tahun dan terlihat masih bugar.

Alasan tentang penyakit itulah antara lain yang membuat saya mampir ke tempat tersebut karena ada sebuah laboratorium yang khusus mendalami dan meneliti penyakit schistosomiasis. Di situ banyak sampel teronggok menunggu diteliti. Sampel itu tak lain berupa kotoran manusia.

Selain itu ada beberapa mikroskop. Juga Pinus, seorang PNS Golongan Ib yang sudah bekerja 12 tahun di laboratorium itu. Dialah yang menjelaskan bila mereka memeriksa sekitar 100 sampel sehari.

“Kadang-kadang kami membawa nasi atau makanan lain di samping sampel itu,” tambah Paulus pimpinan laboratorium yang sudah bekerja di laboratorium Lindu selama 20 tahun.

Tentu saja tidak hanya schistosomiasis yang membuat saya mengunjungi daerah itu. Untuk mencapai Danau Lindu saja sudah merupakan sebuah perjalanan menarik. Dari Palu menuju Desa Sadaunta di Kecamatan Kulawi, dapat ditempuh dengan beragam kendaraan. Jaraknya 62 km yang dapat dicapai dalam sejam. Di pinggir jalan itu ada sebuah warung tempat istirahat dan bersiap-siap mendaki gunung. Di sini kita bisa ngopi dan makan kue pisang dengan nikmat. Alat transportasi selanjutnya tiada lain dari ojek sepeda motor. Dulu digunakan kuda.

Ojek-ojek ini pada umumnya sudah dimodifikasi. Gear dan sockbreaker-nya diganti. Umumnya jenis bebek, tapi kap-nya sudah dicopot. Jalannya setapak, kadang hanya ukuran 0,5 m. Di bagian tertentu terbuat dari batang-batang kayu yang disusun. Ada bagian yang hanya diisi kerikil. Bagian lain terdiri dari tanah putih yang licin, lebih-lebih di kala hujan. Namanya pun menarik, Batu Licin, Batu Harum dan Turunan Maut “Kalau dulu naik kuda, kuda-nya jatuh, ya mati,” ucap Rustam 28 tahun menceritakan tentang Turunan Maut.

TG Sadombu, Ketua Masyarakat Adat Lindu (paling kecil di depan).

Lore Lindu

Setengah perjalanan melintas Taman Nasional Lore Lindu ini menanjak, setengahnya lagi menurun. Taman itu memang berada di ketinggian 200 meter sampai 2.610 m di atas permukaan laut. Sebagian masuk Kabupaten Donggala, sebagian lagi Kabupaten Poso. Jarak antara Desa Sidaunta dengan Danau Lindu sekitar 14 Km yang dapat ditempuh selama 1 jam dengan ojek sepeda motor.

Perjalanan yang memacu adrenalin begini pun sesungguhnya sebuah wisata sendiri. Apalagi kalau kita bisa menikmati kekayaan alam flora dan fauna di sepanjang jalan. Suara burung atau kokok ayam hutan dipadu dengan pohon-pohon pakis dari yang kecil sampai raksasa, ada pinang mencapai 100 meter, pohon pisang dan salak hutan, pohon-pohon besar dan berbagai jenis rotan tampak di sepanjang jalan.

Namanya juga Taman Nasional Lore Lindu. Lebih dalam ke hutan ditemukan Anoa, Babi Rusa, Enggang, Burung Maleo, Tarsisius dan sebagainya. Banyak di antaranya sudah mulai langka sehingga sudah sulit ditemukan. Saya tidak bisa bayangkan jika jalan sepintas ini diperlebar menjadi jalan raya. Kekayaan flora dan fauna itu tentu akan terancam. Tapi 700 orang anggota masyarakat yang bermukim di pinggir danau memang butuh berbagai pelayanan. Tujuh ratus orang itu adalah anggota masyarakat yang terdiri dari beberapa desa yakni Puroo, Langko, Tama, Anta, dan beberapa desa kecil lainnya.

Desa-desa ini kini sedang bersiap dimekarkan menjadi kecamatan. Desa paling tua adalah Desa Langko tempat TG Sadombu bermukim.

Hal lain yang membuat saya tertarik mengunjungi daerah Lindu adalah tentu saja Danau Lindu, tempat hidup keong-keong sebagai penular Schistosoma japonicum, penyebab penyakit schistosomiasis tadi. Danau ini juga tempat nyaman bagi berbagai jenis ikan seperti mujair, ikan mas, lele, gabus, sidat Lindu dan lain-lain.

Ketika kami sampai ke pinggir danau, tampak seorang pedagang yang memuat ikan mujair ke dalam wadah (dari kaleng) yang ditempatkan di boncengan sepeda motor bebeknya. Kedua tempat itu dipenuhi ikan-ikan mujair yang baru dipindah dari perahu-perahu nelayan. Ukurannya hampir sama. Semua ditangkap dengan menjaringnya. Ikan jenis lain didapat dengan memancing.

Daniel, anak muda yang memuat ikan mujair ini membelinya Rp 2.750 per 6 ekor dari nelayan Lindu. Lantas dibawanya ikan-ikan itu sampai ke Palu atau Donggala serta menjualnya Rp 3.750 per 6 ekor. Dari penjualan itu Daniel mendapat untung Rp 1.000 per 6 ekor. Keseluruhan kira-kira untung Rp 100.000, tambah Daniel yang hidup bersama istri dan kedua anaknya.

Jalan setapak, di kiri jurang menganga.

Mula-mula pakai trail, di jalan ganti bebek.

Tentu saja tidak dapat dilewatkan berperahu di Danau Lindu. Keikutsertaan pak Sadombu cukup penting. Sebelum memasuki perahu dia mengucapkan beberapa mantera yang isinya memohon izin penunggu danau agar kami diperkenankan selamat melintasi danau. Kehidupan masyarakat Lindu memang masih sarat dengan acara adat yang kelak menampilkan kearifan lokal. Itu pulalah sebabnya hutan-hutan dan lingkungan danau terpelihara dengan baik, walau jumlah penduduk menunjukkan kecenderungan meningkat.

Setelah mengunjungi laboratorium schistosomiasis yang bersebelahan dengan Puskesmas Lindu, kami mampir ke rumah Kepala Desa Langko. Suguhan utama Lindu sudah terhidang yakni berbagai olahan ikan mujair. Ada yang dibumbui rica-rica yang rasanya amat pedas, dipanggang, atau digoreng yang semua nikmat disantap dengan nasi yang masih hangat.

Berasnya pun beras Lindu yang baru dipanen. Apa-lagi dilengkapi sayur pakis oseng-oseng yang masih kelihatan segar dan hijau. Pakis-pakis inilah yang saya lirik tadi tatkala menuju danau. Lengkaplah sudah makan siang kami itu ditutup dengan pisang ambon. Nikmatnya bukan main.

Saya trenyuh dengan pertanyaan Sadombu tadi. “Dalam rangka kampanye apa ke sini?” tanyanya. Rupanya orang mau jauh-jauh datang ke tempat terpencil ini karena ada maunya. Kerap tak lain dari keperluan kampanye. Baik pemilu legislatif, presiden/wapres, maupun pilkada. Kasihan! Lagi pula yang datang itu biasanya hanya sebatas tim suksesnya, atau para jurkam. “Jarang pejabat datang ke sini!” kata Sadombu.

“Iya, kampanye makan jagung rebus!” ucap saya sembari mencomot jagung rebus hangat yang disodorkan tuan rumah. Mereka tertawa. [Baharuddin Aritonang]