KONAWE UTARA – Angin sepoi-sepoi begitu terasa segar menerpa tubuh ketika kita memasuki kawasan Pantai Tanjung Taipa, objek wisata primadona di Kabupaten Konawe Utara (Konut).
Hamparan pasir berwarna abu-abu yang diterjang hempasan ombak dan gelombang laut silih berganti menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan ketika kita berada di kawasan pantai sepanjang kurang lebih tiga kilometer itu.
Menjangkau kawasan pantai yang terletak kurang lebih 70 kilometer arah utara Kota Kendari, Sulawesi Tenggara itu dengan kendaraan roda dua atau roda empat, hanya butuh waktu 1-1,5 jam.
Di sebelah barat ujung pantai itu terdapat tebing yang curam. Di bibir tebing curam itu terdapat dinding-dinding karts (tebing kapur) yang cukup fantastis. Di atas tebing terdapat liang-liang gelap berbentuk gua (cave). Masyarakat setempat menyebut gua itu sebagai gua kelelawar karena memang dihuni oleh spesies kelelawar. Jika berada di mulut gua tersebut, kita akan mendengar dengan jelas suara-suara kelelawar dan satwa lain yang mendiami kawasan hutan di sekitarnya.Hanya beberapa meter dari gua kelelawar terdapat gua tengkorak. Disebut gua tengkorak karena di dalam gua itu terdapat banyak tengkorak dan tulang-belulang manusia. Diduga, gua itu menjadi tempat tinggal manusia purba masa lampau.
Ketika berada di atas tebing itu, kita dapat melihat dengan jelas aktivitas pengunjung pantai yang sedang mandi, berenang, dan bermain di sela-sela gelombang laut. Di sebelah timur ujung pantai itu terdapat hamparan pasir yang menjadi tempat binatang khas Sulawesi Tenggara, burung maleo bertelur. Di era 1990-an, dalam jarak pandang 50-100 meter di kawasan itu, kita dapat menyaksikan dengan jelas, puluhan bahkan ratusan ekor satwa endemik itu, melepas telurnya, lalu memendamkannya ke dalam pasir.
Warga sekitar yang bermukim tidak jauh dari kawasan pantai menjadikan telur burung langka itu sebagai sumber ekonomi keluarga. Selain dikonsumsi sendiri, baik dimasak langsung maupun menjadi bahan campuran berbagai jenis kue, warga juga memperjualbelikannya kepada pengunjung pantai atau pasar-pasar tradisional. Harga per butir saat ini mencapai Rp 25.000.
“Dulu, kami dapat menunggui burung maleo bertelur di kawasan pasir itu. Sekarang, sudah jarang dijumpai karena terusik dengan aksi warga yang banyak memburu telur burung berukuran besar itu,” tutur Abdul Malik, Camat Sawah, Kabupaten Konawe, dalam percakapan dengan SH belum lama ini.
Menurut Malik, dalam keadaan sepi pengunjung, di bagian timur kawasan pantai itu masih sering tampak 5-10 ekor burung maleo bertelur. Usai memendam telurnya ke dalam pasir, burung-burung itu terbang kembali ke kawasan hutan, masih di sekitar Tanjung Pantai Taipa.
Buah Mangga
Di bagian lain kawasan pantai itu banyak terdapat mangga. Menurut Abdul Malik, warga setempat menyebut pantai itu dengan nama Pantai Taipa karena keberadaan pohon mangga dalam jumlah banyak itu. “Pantai ini disebut Taipa karena di sini banyak ditumbuhi pohon mangga. Taipa dalam bahasa daerah di sini artinya mangga. Jadi, pantai ini disebut Taipa karena di sekitar sini banyak ditumbuhi pohon mangga,” jelasnya.
Menurut Malik, jika berkunjung di pantai itu saat musim mangga, pengunjung bisa menikmati manisnya aneka jenis mangga. Mulai dari mangga harum manis, golek, mangga macan, sampai mangga hiku.
Selain mangga, berkunjung ke Taipa juga tak masalah jika tidak menyiapkan makanan. Kita tinggal merogoh kocek Rp 10.000-an, lalu membeli nasi gogos (nasi dibungkus daun pisang lalu dibakar, makanan khas daerah setempat), yang banyak dijajakan warga di sekitar pantai. Lauknya, bisa menggunakan sate pokea (siput yang banyak terdapat di rawa-rawa), ikan bakar, atau membeli ikan segar dari nelayan yang baru pulang melaut, lalu membakarnya sendiri sesuai selera kita. Sambil duduk lesehan, pengunjung menikmati nasi gogos dengan sate pokea atau ikan bakar di atas tikar yang dibentangkan di hamparan pasir putih.
Jika beruntung, dalam jarak pandang sekitar 75-100 meter arah sebelah timur pantai itu, kita dapat menyaksikan satwa langka, burung maleo melepas telurnya, lalu memendamkannya ke dalam pasir.
Untuk berenang bebas menikmati segarnya air laut pantai, dapat menyewa ban dalam mobil yang banyak disiapkan warga. Hanya dengan uang Rp 5.000, kita menggunakan satu ban sepuasnya, sampai bosan.
Namun sebegitu kuat daya tarik yang ditawarkan pantai itu, wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang mengunjungi pantai itu masih sepi. Menurut Malik, kawasan itu baru ramai pada hari Minggu atau hari libur lainnya. Pengunjung umumnya datang di pantai itu menggelar pertemuan atau rapat di ruang bebas.
Malik menduga minimnya wisatawan mengunjugi objek wisata pantai Taipa karena fasilitas penunjang, seperti penginapan atau cottage, belum tersedia. Satu-satunya fasilitas yang ada, hanya sebuah gedung lengkap dengan kamar mandi dan ruang ganti pakaian milik Pemda Kabupaten Konawe Utara yang dikelola Dinas Pariwisata dan Seni Budaya setempat. Gedung itulah yang biasa disewa pengunjung untuk menggelar pertemuan atau rapat.
Saya dari surabaya. Tahun 2004 saya pernah kesini karena ada proyek outbound dengan Bank Indonesia Kendari. Justru karena pantai ini masih sepi, ini yang mebuat saya sangat menyukainya. Terasa benar-benar tenang dan damai di sini.
Sayang, waktu itu gag liat burung maleo. Tebing yang terjal juga sangat indah, terdapat semacam cerukan seperti gua disitu. Melihat pantai Taipa dari puncak tebing yang tejal sangatlah indah.
Beberapa warung di pinggir pantai yang masih tradisional. Wkatu itu, listrik yang amat temaram hanya menyala pada pukul 6 malam sampai 4 pagi. Tidak tahu sekarang seperti apa. Yang jelas, menikmati pantai Taipa di malam hari, merebahkan badan di atas pasirnya, pada saat langit cerah penuh bintang, benar-benar membuat saya mengagumi kebesaran Tuhan. Sungguh, jauuh lebih mewah daripada hotel bintang lima atau enam sekalipun. Ini adalah hotel jutaan bintang, yang tidak ada tandingannya.
Tapi, adakah transportasi umum dari kota Kendari ke Pantai Taipa??? karena waktu itu saya bersama rombongan naik bus dan mobil. Saya ingin kembali ke pantai taipa suatu hari nanti.