Pantai Wakatobi yang indah.

sp/kurniadiMemilih ikan teri.

Bagi mereka yang menyukai dunia bawah air, Wakatobi adalah tempat yang cocok untuk Anda. Kepulauan di tenggara Sulawesi ini menyimpan keindahan panorama dunia bawah air yang sudah diakui dunia internasional. Tapi, tidak hanya keindahan bawah laut, kehidupan sehari-hari masyarakat kepulauan itu pun menyimpan pesona budaya tersendiri.

Mungkin bagi sebagian masyarakat di Nusantara, nama Wakatobi masih terdengar asing dan tidak tahu persis di mana keberadaannya. Wakatobi adalah nama baru menggantikan nama Kepulauan Tukang Besi. Kepulauan itu letaknya di bagian selatan Sulawesi Tenggara.

Wakatobi adalah singkatan dari nama-nama pulau besar di kepulauan itu, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko. Untuk menuju kepulauan ini dapat ditempuh perjalanan laut dari Kendari-Bau Bau-Wanci. Wanci adalah Ibukota Wakatobi yang berada di Pulau Wangi-Wangi. Tapi, saat ini sudah jarang rute pelayaran seperti itu. Umumnya, jika berangkat dari Kendari ke Wanci, harus berganti rute di Bau-Bau. Total perjalanan laut Kendari-Wanci bisa ditempuh selama delapan jam. Sementara itu, jika ingin mengeksplorasi Kepulauan Wakatobi lebih jauh harus mempelajari rute pelayaran dari Wanci ke pulau-pulau lain. Seperti Kaledupa, Tomea, atau Binongko yang berada di paling selatan.

Umumnya, rute-rute itu masih dilayani dengan kapal yang terbatas dan hanya ada jadwal dalam beberapa hari. Hal inilah yang patut dipelajari jika ingin mengeksplorasi Wakatobi secara keseluruhan. Karena sulit jika harus mendatangi beberapa tempat menarik di sana hanya dengan waktu tiga hari.

Wakatobi memang terkenal dengan pesona keindahan bawah lautnya. Mereka yang menyenangi olahraga menyelam dan snorkling akan menemukan hal-hal yang menakjubkan di lokasi ini. Tapi, umumnya telah banyak turis mancanegara yang mendatangi Pulau Hoga, yang disebut-sebut memiliki keindahan bawah laut yang sangat memesona. Sejumlah spesies bawah laut yang hanya bisa dilihat dari gambar buku atau dokumentasi lainnya pun bisa dilihat di lokasi ini.

Namun secara umum wilayah, Wakatobi memang memiliki keindahan bawah laut yang selalu menuai decak kagum. Wakatobi adalah kabupaten yang lebih dari 80 persen wilayahnya adalah kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi. Jadi, tidak heran kalau kondisi alam di wilayah ini masih terjaga baik dan memesona.

Data dari Taman Nasional Laut Wakatobi menyebutkan, wilayah ini memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili, di antaranya Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton throchelliophorum, dan Sinularia spp.

Kekayaan jenis ikan yang dimiliki taman nasional ini sebanyak 93 jenis ikan konsumsi perdagangan dan ikan hias, di antaranya argus bintik (Cephalopholus argus), takhasang (Naso unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon specullum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma, Caesio caerularea, dan lain-lain. Ada tiga jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).

Sementara itu beberapa jenis burung yang ada di kepulauan ini adalah angsa-batu cokelat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), dan raja udang erasia (Alcedo atthis).

Keindahan alam dan habitat asli Wakatobi memang diakui secara internasional. Banyak peneliti yang datang ke sana untuk mempelajari karakteristik biota laut tropis. Tapi, sebenarnya kehidupan sosial dan budaya maritim masyarakat di sana juga cukup menarik perhatian.

Wakatobi adalah salah satu kepulauan yang digunakan sebagai tempat menetap Suku Bajo. Suku Bajo adalah suku laut yang hidupnya berada di atas perairan. Suku Laut ini tersebar di sejumlah wilayah Nusantara, termasuk di Johor dan Nusa Tenggara Timur. Belakangan, suku laut ini menetap di sejumlah tempat, membangun komunitas sendiri. Sejumlah penelitian menyebutkan, Suku Bajo yang ada di kawasan Wakatobi ini adalah suku laut yang masih menjaga tradisinya, seperti Suku Bajo di Kampung Mola, Wangi-Wangi.

“Sebenarnya, Suku Bajo juga disebut Suku Sama. Kenapa disebut Suku Sama, karena yang namanya Suku Bajo pasti memiliki tradisi dan bahasa yang sama,” cerita Udin Konseng, salah satu anggota pengade lima (dewan adat) di tempat itu.

Udin menceritakan asal muasal Suku Bajo menetap di daerah itu, mulai terjadi sekitar tahun 1950-an. Mereka pindah dari komunitas awal di Pulau Kaledupa.

“Dahulu, ada yang sempat dituduh terlibat DI/TII. Ada ulama kita yang tewas, padahal kita tidak tahu apa-apa. Maka, kita pindah ke sini,” kenangnya. Suku Bajo memang memiliki karakter yang unik. Mereka bisa berpindah-pindah lokasi, jika lingkungan di sekitarnya mengganggu mereka.

Saat membangun sebuah komunitas baru, biasanya masyarakat Bajo berlabuh di satu pantai lebih dahulu. Lama kelamaan mereka menimbun pantai dengan batu dan mulai mendirikan pancang-pancang rumah panggung. Yang menarik dari arsitektur kampung Suku Bajo adalah mereka harus menyediakan jalur-jalur perahu sebagai alat transportasi utama. Jadi, jangan heran kalau berkunjung ke lokasi Suku Bajo akan melihat hilir mudik perahu di sekitar perkampungan mereka. Atau anak-anak kecil bermain di laut sambil mencari ikan.

Anak-anak suku Bajo melaut.

Nyanyian

Suku Bajo memang memiliki akar sejarah dan budaya yang sama meskipun kini mereka tersebar di berbagai tempat. Cerita tentang asal usul dan kehidupan mereka di laut dituangkan dalam sebuah tembang yang disebut Iki Ko. Sayangnya, nyanyian itu sudah jarang dinyanyikan dari orangtua kepada anak-anaknya. Hanya ada beberapa orang yang menyanyikannya saat upacara adat.

Iki Ko kalau dinyanyikan seperti deburan ombak dan angin yang saling bersahut-sahutan. Kalau dinyanyikan bersama, suara-suara para penyanyinya saling bertabrakan. Tapi, sebenarnya di dalam Iki Ko tertuang petuah dan cerita tentang mereka yang menjalani hidupnya di laut.

Selain Iki Ko masyarakat Bajo di Mola juga mengenal duata dan pengobatan tuli kaka. Ritual duata dan tuli kaka adalah ritual pengobatan tradisional. Biasanya, ada dua sanro (dukun) yang menyelenggarakan ritual itu. Akan menarik sekali jika saat bertandang ke sana sempat melihat pertunjukan-pertunjukan seni dan ritual itu.

Budaya Suku Bajo sebenarnya berbeda dan terpisah dari budaya masyarakat lainnya yang ada di Wakatobi, karena Bajo secara spesifik adalah suku laut. Masyarakat Kepulauan Wakatobi sendiri memiliki budaya sendiri yang karakternya tidak jauh berbeda.

Namun sayangnya, tidak semua aktivitas budaya itu mampu dikemas dengan baik sebagai sebuah ikon budaya atau pariwisata. Terlebih lagi bagi pendatang yang mengunjungi tempat ini belum tentu bisa menyaksikan pertunjukan seni itu.

Selain itu, bagi mereka yang ingin datang ke lokasi ini juga harus dengan persiapan yang matang, karena alat transportasi, akomodasi, dan infrastruktur pendukung pariwisata di sana masih belum baik. Kecuali Anda mengambil paket wisata yang ditawarkan resor-resor wisata di sana dengan tarif internasional.[suarapembaruan.com]