Gotong Toa Pe Khong tahun ini menjadi pergelaran padupadan budaya suku-suku bangsa di Tanah Air. Lagu “Tak Gendong” pun menyeruak.

Jarum jam menunjukkan pukul 12.00. Suasana di Jalan Kemenangan, kawasan Glodok, Jakarta Barat, sesak di penuhi warga. Diantara orang yang memenuhi sisi kiri dan kanan jalan, nampak beberapa petugas berkaos merah sibuk bahu membahu mengatur agar badan jalan bisa tetap kosong.

Keramaian kawasan tidak seperti biasanya, orang berjejal bukan sekadar datang untuk berbelanja. Mereka ada di sana ingin menyaksikan iring-iringan para pembawa miniatur dewa, sebuah tradisi masyarakat keturunan Tionghoa sebagai tanda terimakasih dan memohon keberkahan kepada para dewa. Acara ini biasa dikenal dengan Gotong Toa Pe Khong, yang biasanya dilaksanakan 10 hari setelah perayaan Cap Gomeh.

Raut wajah penasaran sempat terlihat dari beberapa penonton ketika rombongan yang di tunggu tak kunjung terlihat. Tidak lama berselang, rasa penasaran seketika berubah menjadi senyum saat meluncur dua mobil jenis jip membelah jalan. Tak lama iring-iringan pun mulai nampak.

Barisan itu diawali dengan rombongan pasukan pengibar bendera (Paskibra) yang berseragam putih dan bertopi hitam. Dilanjutkan dengan iring-iringan kelompok drum band, kemudian disambung sekelompok gadis-gadis berpakaian tradisional Bali berjalan melenggak-lenggok. Usai rombongan berbusana Bali, secara berturut-turut barongsai dan liong silih berganti beraksi meliuk-liuk menari atraktif.

Nuansa keberagaman terasa kental mengiringi rombongan itu. Banyak pemain liong dan barongsai bukan warga keturunan Tionghoa. Masyarakat tumpah ruah dalam kemeriahan, tak ada lagi siapa pribumi asli atau keturunan, semuanya menyatu, menjadi bangsa Indonesia dalam keindahan dan paduan keragaman budaya.

Warna merah dan kuning mendominasi arakar-akan Tao Pe Khong yang ada di rombongan terakhir. Terdapat sekitar 42 patung dewa dari berbagai Vihara di Indonesia turut meramaikan acara yang berlangsung 17-18 Oktober 2009 ini.

Para penonton makin riuh menyambut. Tak kalah sibuk para fotografer mengabadikan setiap momen. Iring-iringan yang panjangnya mencapai lima kilometer ini berawal dari Jalan Kemenangan menuju Kawasan Kota Tua berputar menuju arah Mangga besar dan berputar kembali ke tempat semula.

Setiap rombongan patung diiringi juga dengan seperangkat alat musik. Menariknya lagu yang dimainkan beragam dan bahkan ada yang memainkan lagu-lagu tradisional bahkan lagu Tak Gendong-nya mbah Surip yang beraliran Reggae pun dimainkan.

Setiap beberapa meter, patung dewa digoyang-goyangkan. Tak hanya kaum lelaki yang ambil bagian untuk menggotongnya, kaum wanita dan anak-anak pun tak mau kalah. Ketika rombongan melintas di Kawasan Kota Tua, kontan membuat pengunjung di area wisata sejarah itu berlarian. Kamera di tangan mereka pun sibuk mengabadikannya.

Tawa riang dan decak kagum penonton mengiringi liukan para barongsai dan liong. Kawasan Kota Tua semakin terasa meriah. “Saya sangat senang dan mendukung even seperti ini bisa tampil di Kota Tua. Kegiatan seperti ini tentunya juga akan diliput kalangan media. Ini sangat baik bagi Kota tua agar makin banyak orang yang tahu,” kata Jacky Setiono Ketua Paguyuban Kota Tua.

Kegiatan yang melibatkan peserta mencapai 5.000 orang ini dilaksanakan sebagai peringatan ulang tahun Vihara Fat Cu Kung. Rencananya even ini akan masuk dalam agenda nasional tahunan. Selain sebagai acara tahunan, acara ini juga mengenalkan budaya Gotong Tao Pe Khong kepada masyarakat luas, utamanya generasi muda.

Kemeriahan acara ini memang bisa menjadi daya tarik bagi banyak orang. Tinggal bagaimana membuat kemasan acara ini makin menarik dan dengan dukungan promosi agar setiap masyarakat bisa mengetahui. Sebuah khasanah budaya sarat makna telah dipergelarkan.

Sumber: Majalah Travel Club