Perjalanan menuju pantai Nembrala, Rote

Christine Novita Nababan

Suasana pantai Nembrala, Rote, masih jauh dari keramaian. kebanyakan pengunjung justru turis mancanegara yang gemar bermain dengan tingginya arus gelombang laut pantai.

Beruntunglah kita yang hidup di negara kepulauan Indonesia. Posisi geografis negara ini, mengisahkan banyak cerita tentang keindahan pantainya. Menyebut nama pantai di Indonesia yang popular, antara lain Pantai Kuta Bali, Pantai Senggigi, dan Pantai Gili Trawangan Lombok, Pantai Parang Tritis Yogyakarta, pantai-pantai di Wakatobi Sulawesi dan masih banyak lagi pantai indah lainnya yang mungkin hanya dikenal wisatawan tertentu saja. Seperti Pantai Nembrala di Nusa Tenggara Timur yang ternyata sudah lama dikenal sebagai tempat berselancar.

Cerita tentang keindahan Pantai Nembrala ini, SP dapatkan dari Area Development Manager Rote World Vision Indonesia, Sugiarto Atmodjo. Sempat pesimistis ketika menuju ke tempat itu. Sebab, untuk sampai di Desa Nembrala, perjalanan yang harus ditempuh cukup panjang, yakni awalnya, harus menempuh perjalanan udara dari Jakarta ke Kupang. Kemudian di Pelabuhan Tanau Kupang, kita harus naik feri yang menuju pulau Rote. Feri cepat yang memakan waktu dua jam ini, akan membawa kita ke Kecamatan Ba’a terlebih dahulu sebelum sampai di Desa Nembrala.

Sesampainya di Kecamatan Ba’a, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda empat selama hampir 1,5 jam. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang dapat dilihat adalah padang rumput kering dan ranting-ranting pohon tak berdaun akibat musim kemarau. Ada kesan tersendiri melihat pemandangan itu. Indah tapi sendu.

Sayangnya, akses jalan dari Kecamatan Ba’a menuju Desa Nembrala kurang begitu menyenangkan bila kita bukan penjelajah yang terbiasa melakukan off road. Selain, jaraknya yang cukup jauh, kondisi jalannya juga rusak dan belum beraspal.

Namun, ketika sampai di pantai tersebut, keindahan yang diceritakan Sugiarto itu tampak tidak berlebihan. Pantai Nembrala cukup memuaskan mata dengan air lautnya yang biru berdebur menepi ke pasir putih pantainya yang panjang.

Tampak suasana matahari tenggelam dari bibir pantai Nembrala, Rote

Sore itu, di Pantai Nembrala tampak rombongan turis asal Amerika Latin yang menikmati ketenangan pantai dan berusaha mengikuti gerak pelan terbenamnya matahari. Oktober ini, Pantai Nembrala memang tengah tenang. Peselancar menikmati ombak tinggi pantai tersebut, pada bulan Juni hingga September.

Menurut Sugiarto, kebanyakan turis yang datang ke Pantai Nembrala berasal dari Australia. Tak jauh dari situ, juga ada Pantai Boa dengan gelombang air laut yang sama tinggi dan panjang. Namun, sebagian besar turis yang berkunjung rata-rata menginap di Desa Nembrala dan dengan sendirinya, lebih banyak menghabiskan waktu di Pantai Nembrala.

Menurut Sugiarto, rata-rata turis yang berkunjung di Desa Nembrala menghabiskan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan hanya untuk menikmati permainan gelombang air laut.

Desa Nembrala juga mengisahkan keindahan tersendiri. Selain menawarkan pemandangan pantai, rimbunan pohon kelapa yang menjulang tinggi dengan lambaian daun-daunnya yang meneduhkan, benar-benar memanjakan mata. Bikin segar dan damai.

Rumah-rumah tradisional penduduk yang sebagian masih menggunakan bebak (kayu dari pohon lontar) dengan atap alang-alang, semakin menambah keindahan pemandangan.

Desa yang terletak di Kecamatan Barat Daya Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur ini memang bak nirwana wisata yang tersembunyi. Jauh dari hiruk pikuk kota, tenang dan damai dengan kesederhanaan dan keramahan penduduknya.

Di sekitar Pantai Nembrala, ada beberapa pilihan penginapan, mulai dari hotel hingga homestay dengan tarif puluhan ribu rupiah hingga ratusan ribu rupiah per malam. Sayangnya, fasilitas listrik di desa ini kadang kala padam, bahkan terkadang mendapatkannya secara bergiliran.

Tampak belakang salah satu tempat penginapan terbesar di pantai Nembrala, Rote

Anak-anak Desa Nembrala, Rote

Rumput Laut

Sore berambat menjelang petang. Aktivitas di pantai tidak hanya wisatawan yang menanti keindahan langit saat matahari terbenam. Beberapa orang berusia paruh baya tengah sibuk menyisir bibir pantai. Ada yang membawa karung, ada pula yang menggendong keranjang di belakang punggung mereka. Mereka mencari potongan rumput laut yang terbawa ombak hingga ke tepian pantai. Kemudian, pulang untuk menjemur rumput laut tersebut.

Menurut Kepala Desa Adat Ba’a di Pulau Rote, Jhon Ndolu yang petang itu ikut menemani SP dan beberapa rekan menikmati sore di Pantai Nembrala, banyak masyarakat Pulau Rote yang membudidayakan rumput laut. Mereka menanam rumput laut di sepanjang pantai. Pun demikian halnya masyarakat di Desa Nembrala.

Selain pemandangan di atas, di bawah siraman matahari sore, SP juga melihat beberapa sampan nelayan tampak bersandar di tepian pantai. Sesekali, suara riang anak-anak kecil yang sedang asyik berendam di pantai memecah keheningan laut.

Sore itu, sambil menunggu matahari tenggelam, SP dan teman-teman memutuskan untuk mencicipi hidangan khas di sebuah restoran sederhana milik penginapan setempat. Tidak jauh berbeda dengan restoran lain di desa-desa di Pulau Rote, restoran tersebut juga menyediakan ikan kuah asam, yakni ikan kerapu yang dibakar setengah matang kemudian direbus dalam air mendidih dengan air berasa asam yang berasal dari bumbu antara lain, tomat, daun jeruk purut, batang sereh dan kemangi. Karenanya, aroma kuah asam ini berhasil mengundang selera makan kami.

Selain ikan kuah asam, ada pula makanan laut yang segar dengan ukuran yang cukup besar, seperti rajungan, udang, dan cumi-cumi. Saus tomat dengan beragam bumbu yang membalutnya mengalahkan rasa takut akan naiknya kadar kolesterol akibat menyantap hidangan berkolesterol tinggi tersebut.

Akhirnya, matahari perlahan-lahan mulai tenggelam di kaki langit, memendarkan sisa-sisa sinar garangnya menjadi sapuan warna jingga yang terselip di antara gumpalan-gumpalan kecil awan sore yang berwarna abu-abu. Keindahan ini impas dengan perjalanan jauh yang telah ditempuh untuk menuju tempat itu. [Christine Novita Nababan]