Eksistensi Museum Nasional diawali dengan berdirinya suatu himpunan yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 24 April 1778. Pada masa itu di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the Age of Enlightenment) yaitu dimana orang mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1752 di Haarlem, Belanda berdiri De Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Perkumpulan Ilmiah Belanda). Hal ini mendorong orang-orang Belanda di Batavia (Indonesia) untuk mendirikan organisasi sejenis.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) merupakan lembaga independen yang didirikan untuk tujuan memajukan penetitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah, Berta menerbitkan hash penelitian. Lembaga ini mempunyai semboyan “Ten Nutte van het Algemeen” (Untuk Kepentingan Masyarakat Umum).
Salah seorang pendiri lembaga ini, yaitu JCM Radermacher, menyumbangkan sebuah rumah miliknya di Jalan Kalibesar, suatu kawasan perdagangan di Jakarta-Kota. Kecuali itu ia juga menyumbangkan sejumlah koleksi benda budaya dan buku yang amat berguna, sumbangan Radermacher inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya museum dan perpustakaan.
Selama masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816), Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles menjadi Direktur perkumpulan ini. Oleh karena rumah di Kalibesar sudah penuh dengan koleksi, Raffles memerintahkan pembangunan gedung baru untuk digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dulu disebut gedung “Societeit de Harmonie”). Bangunan ini berlokasi di jalan Majapahit nomor 3. Sekarang di tempat ini berdiri kompleks gedung sekretariat Negara, di dekat Istana kepresidenan.
Jumlah koleksi milik BG terus neningkat hingga museum di Jalan Majapahit tidak dapat lagi menampung koleksinya. Pada tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membangun sebuah gedung museum baru di lokasi yang sekarang, yaitu Jalan Medan Merdeka Barat No. 12 (dutu disebut Koningsplein West). Tanahnya meliputi area yang kemudian di atasnya dibangun gedung Rechst Hogeschool atau “Sekolah Tinggi Hukum” (pernah dipakai untuk markas Kenpetai di masa pendudukan Jepang, dan sekarang Departemen Pertahanan dan Keamanan). Gedung museum ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1868.
Museum ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya penduduk Jakarta. Mereka menyebutnya “Gedung Gajah” atau “Museum Gajah” karena di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada tahun 1871. Kadang kala disebut juga “Gedung Arca” karena di dalam gedung memang banyak tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai periode.
Pada tahun 1923 perkumpulan ini memperoleh gelar “koninklijk” karena jasanya dalam bidang ilmiah dan proyek pemerintah sehingga lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Pada tanggal 26 Januari 1950, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi waktu itu, sebagaimana tercermin dalam semboyan barunya: “memajukan ilmu-ilmu kebudayaan yang berfaedah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kepulauan Indonesia dan negeri-negeri sekitarnya”.
Mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia maka pada tanggal 17 September 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi Museum Pusat. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.092/ 0/1979 tertanggal 28 Mei 1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional.
Kini Museum Nasional bernaung di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Museum Nasional mempunyai visi yang mengacu kepada visi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yaitu “Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan national, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antar bangsa”.
Informasi Umum
Hari dan Jam Kunjungan
Museum Nasional dibuka untuk pengunjung dari pukul 08.30 sampai dengan pukul 14.30 pada hari-hari Selasa, Rabu, Kamis dan Minggu, dari pukul 08.30 sampai dengan pukul 11.30 pada hari Jum’at, dan dari pukul 08.30 sampai dengan pukul 13.30 pada hari Sabtu. Museum Nasional ditutup untuk umum setiap hari Senin dan Hari Besar Nasional/Keagamaan. Untuk Ruang Khasanah Emas ditutup satu jam sebelum waktu tutup museum.
Karcis Masuk
Dewasa : Rp 750
Anak-anak di bawah umur 17 tahun dan siswa sekolah : Rp 250
Toko Cinderamata & Makanan/Minuman
Museum Nasional menyediakan toko cinderamata berupa buku, kartupos, kain dan lain-lain sebagai kenang-kenangan sehabis kunjungan ke ruang-ruang pameran, juga makanan kecil dan minuman pelepas dahaga. Toko-toko tersebut dibuka selama hari dan jam kunjungan museum.
Parkir Kendaraan
Museum Nasional menyediakan tempat parkir kendaraan di basement 1 dan 2 di gedung baru (Gedung Arca) yang dapat menampung sekitar 200 kendaraan kecil/sedang, kecuali bus. Untuk bis wisata dapat di parkir di halaman gedung lama, maksimal 5 bus. Di halaman belakang Museum sementara dapat juga digunakan dan dapat menampung sekitar 10 bus wisata.
Sumber: www.museum-nasional.com
gimana cara menjual benda gajah besi seberat 500 gram bisa terapung di air.
yang diperkirakan berumur 1300 tahun. klo ada yg mo beli hub saya via email.
MENGGUGAT HARI KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh Dasman Djamaluddin (http://dasmandj.blogspot.com/)
SAYA diundang oleh rekan saya Kepala Museum Kebangkitan Nasional, Edy Suwardi menghadiri seminar menyambut Hari Kebangitan Nasional, Kamis, 16 Juni 2010, di Jakarta. Seminar yang diselenggarakan sangat menarik karena kehadiran Prof Ahmad Mansur Suryanegara, pakar Sejarah Islam dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Di samping itu ada pula Asvi Warman Adam, Sejarawan dari LIPI.
Berpenampilan bersahaja, pakaian dan rambut rapi, warna rambut sudah memutih, maklumlah sudah berusia 74 tahun, Ahmad Mansur Suryanegara meragukan Hari Kebangkitan Nasional dikaitkan dengan Sejarah Budi Utomo 20 Mei 1908. Menurut Ahmad Mansur Suyanegara, Gerakan Budi Otomo adalah gerakan lokal, hanya diperuntukkan untuk suku Jawa, apakah harus dikatakan sebagai kebangkitan nasional? Bahkan suku lain tidak diizinkan masuk ke dalam gerakan tersebut. “Saya ingin kita mengevaluasi Hari Kebangkitan Nasional tersebut,” tegas Ahmad Mansur
Sebagai pakar Sejarah Islam, Ahmad Mansur Suryanegara juga menyinggung keberadaan suku Minangkabau yang dikatakannya sebagai penggerak aliran komunis di Indonesia. Disebutkannya beberapa nama, seperti Tan Malaka. “Namun demikian,”ujarnya lagi “banyak juga Suku Minangkabau menjadi pemuka Agama Islam, seperti Hamka,” tambahnya.
Saya pribadi menyambut baik gagasan Ahmad Mansur Suryanegara ini sebagaimana pendapat Asvi Warman Adam yang juga mengatakan jika menulis G.30.S tanpa PKI. Menurut saya ini merupakan sumber-sumber yang mengajak bangsa ini lebih kritis melihat suatu permasalahan, sekaligus mengajak untuk menelusuri lebih jauh sejarah bangsa, tidak sekedar meng “Iya” kan atau sebaliknya. Sudah saatnya para sejarawan menggali hal-hal atau penemuan-penemuan baru yang jika keliru bisa diperdebatkan lagi, sehingga kita tidak terpaku kepada pendapat para ahli dari luar negeri semata-mata. Tidaklah mungkin kita percaya seratus persen dengan pendapat para ahli luar negeri yang sedang mengkaji masalah bangsa Indonesia, di bandingkan dengan para ahli dari dalam negeri sendiri yang adalah bangsa Indonesia sendiri.
Ya, pada saatnya pula kita harus berbicara mengenai keterbatasan Saya ingin menggaris bawahi mengenai suku Minangkabau yang juga dikategorikan sebagai pemberontak dan disebut pula oleh Ahmad Mansur Suryanegara, yaitu Ahmad Husein, Pemimpin PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Hal ini saya bantah, karena sebelum meninggalnya, saya dua kali bertemu Ahmad Husein. Dia mengatakan, bahwa PRRI adalah pemberontak, itu tidak benar. “Kami bukan pemberontak,”ujarnya. “Kami hanya melakukan koreksi total kesenjangan antara pemeintah pusat dan daerah, selain mengingatkan Presiden Soekarno tidak terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia,” tegas Ahmad Husein yang waktu itu sudah sakit-sakitan di kursi rodanya.
Kembali mengenai keterbatasan ini, saya ingin mengutip pernyataan Dr.Alfian (alm), salah seorang sejarawan Indonesia yang terkenal pada masanya. Di dalam sebuah pengantar buku:”Meluruskan Sejarah karya B.M.Diah,” Alfian mengatakan bahwa sesuai dengan tuntutan profesi keilmuannya, para ahli sejarah tentu berusajha keras untuk bersikap obyektif dalam menulis karyanya. Sungguh pun begitu, ujarnya, jauh di lubuk hati dan alam pikirannya, mereka mengetahui betul bahwa mustahil bagi siapa saja, betapa pun pintar dan ahlinya, untuk menghasilkan tulisan sejarah yang dapat dikatakan betul-betul obyektif dan sempurna. Sebuah tulisan sejarah memang dapat dikatakan, ditinjau dari segi mutu dan sebagainya, lebih obyektif dan lebih sempurna dari karya-karya lainnya. Tetapi tulisan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang final atau sebuah karya tanpa kelemahan dan kekurangan sama sekali. Di samping banyak tulisan sejarah yang buruk dan tidak bermutu, biasanya ada sejumlah karya yang dinilai baik dan berkualitas tinggi.
Bagaimana pun juga, tegas Alfian, para ahli sejarah sendirilah yang pertama-tama mengakui bahwa tidak ada tulisan sejarah yang betul-betul sempurna, dan juga betul-betul lurus.
“Itulah antara lain sebabnya mengapa sejarah merupakan salah satu bidang studi yang bagaikan sumur penelitian yang tak pernah kering atau lahan pengkajian yang tak pernah habis. Dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, berbagai ahli datang menimba atau menggarapnya, dan dari situ lahir karya-karya sejarah baru memperkaya khasanah yang sudah ada yang terus membesar,” jelas Alfian.