Menjelang hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei, kurang pas rasanya bila tidak berkunjung ke Museum Kebangkitan Nasional. Apa sebab? Karena coretan sejarah mengenai pergolakan dan dinamika pemuda Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah bermula di sini.
Mengawali keberadaannya, gedung museum ini merupakan sekolah kedokteran yang dibangun pemerintah Belanda bagi kaum bumiputera. Mereka menyebutnya STOVIA (School Tot Opleiding Van Indlandsche Arsten), resmi digunakan sejak 1901. Di tempat ini pula Boedi Oetomo mendeklarasikan diri sebagai organisasi kepemudaan dibawah pimpinan R. Soetomo, pada 20 Mei 1908.
Museum yang terletak di Jalan Dr. Abdul Rahman Saleh No.26, Jakarta Pusat ini, menyimpan banyak peninggalan berkaitan dengan kebangkitan nasional. Koleksinya mencapai 2.042 benda, terdiri dari bangunan, mebel, jam dinding, gantungan lonceng, perlengkapan kesehatan, pakaian, senjata, foto, lukisan, patung, diorama, peta, maket, sketsa, dan miniatur.
Sementara, gedung tersebut mempunyai tujuh ruang pamer, diantaranya Ruang Pengenalan. Ruangan ini berisi gambaran tentang masuknya bangsa barat di Indonesia, sampai munculnya perlawanan lokal maupun bersifat kedaerahan. Lalu, Ruang Awal Pergerakan Nasional. Di sini terdapat patung diorama berupa peragaan Klas STOVIA, pembelaan HF. Roll dan patung pelajar STOVIA dari seluruh Indonesia.
Kemudian, Ruang Kesadaran Nasional. Merupakan penggambaran perjuangan R.A. Kartini, Wahidin, Dewi Sartika, dan lainnya. Terdapat juga koleksi meja dan kursi makan pelajar STOVIA, serta peralatan kedokteran.
Ruang Pergerakan Nasional, terdapat cerita perjalanan awal pergerakan nasional di Indonesia, mulai dari berdirinya Boedi Oetomo, Indische Partij, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya. Selain itu, ada diorama pertemuan Wahidin, Sutomo dan Suradji, diorama berdirinya Boedi Oetomo, foto-foto organisasi awal kebangkitan, vandel-vandel dan foto-foto organisasi pemuda.
Ruang Propaganda Studie Fonds. Adalah ruang pertemuan antara Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dengan para pelajar STOVIA. Ruang itu terdapat koleksi lukisan perjalanan dan patung Dr. Wahidin, juga patung pelajar STOVIA.
Ruang Memorial Budi Utomo. Inilah ruang unggulan dari Museum Kebangkitan Nasional. Dulunya, ruangan ini adalah ruang praktek anatomi, kemudian berubah fungsi menjadi tempat lukisan Dr. Wahidin Soediro Hoesodo, koleksi kerangka manusia untuk praktek pelajar STOVIA, kursi Kuliah STOVIA, patung dada pendiri Boedi Oetomo, foto kegiatan pelajar STOVIA, serta situasi perkumpulan Boedi Oetomo dalam bentuk lukisan.
Terakhir, Ruang Pers. Di ruang ini tersimpan koleksi mesin tik, vandel berbagai macam alat cetak, tustel, foto-foto dan tokoh pers. Tercatat pula perjalanan pers Indonesia.
Museum tersebut buka dari Selasa-Jumat, pukul 08.30-15.00. Sabtu-Minggu, pukul 08.30-14.00. Tutup di hari Senin dan hari libur nasional. Karcis masuk dewasa sebesar Rp 750,- dan anak-anak Rp 250,-.
Tatkala para pahlawan berhasil mempersembahkan kemerdekaan untuk negeri ini, sudah sepantasnya kita menghargai jasa mereka walaupun hanya dengan berkunjung ke museum ini.
Sumber: Majalah Travel Club
MENGGUGAT HARI KEBANGKITAN NASIONAL
Oleh Dasman Djamaluddin
SAYA diundang oleh rekan saya Kepala Museum Kebangkitan Nasional, Edy Suwardi menghadiri seminar menyambut Hari Kebangitan Nasional, Kamis, 16 Juni 2010, di Jakarta. Seminar yang diselenggarakan sangat menarik karena kehadiran Prof Ahmad Mansur Suryanegara, pakar Sejarah Islam dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Di samping itu ada pula Asvi Warman Adam, Sejarawan dari LIPI.
Berpenampilan bersahaja, pakaian dan rambut rapi, warna rambut sudah memutih, maklumlah sudah berusia 74 tahun, Ahmad Mansur Suryanegara meragukan Hari Kebangkitan Nasional dikaitkan dengan Sejarah Budi Utomo 20 Mei 1908. Menurut Ahmad Mansur Suyanegara, Gerakan Budi Otomo adalah gerakan lokal, hanya diperuntukkan untuk suku Jawa, apakah harus dikatakan sebagai kebangkitan nasional? Bahkan suku lain tidak diizinkan masuk ke dalam gerakan tersebut. “Saya ingin kita mengevaluasi Hari Kebangkitan Nasional tersebut,” tegas Ahmad Mansur
Sebagai pakar Sejarah Islam, Ahmad Mansur Suryanegara juga menyinggung keberadaan suku Minangkabau yang dikatakannya sebagai penggerak aliran komunis di Indonesia. Disebutkannya beberapa nama, seperti Tan Malaka. “Namun demikian,”ujarnya lagi “banyak juga Suku Minangkabau menjadi pemuka Agama Islam, seperti Hamka,” tambahnya.
Saya pribadi menyambut baik gagasan Ahmad Mansur Suryanegara ini sebagaimana pendapat Asvi Warman Adam yang juga mengatakan jika menulis G.30.S tanpa PKI. Menurut saya ini merupakan sumber-sumber yang mengajak bangsa ini lebih kritis melihat suatu permasalahan, sekaligus mengajak untuk menelusuri lebih jauh sejarah bangsa, tidak sekedar meng “Iya” kan atau sebaliknya. Sudah saatnya para sejarawan menggali hal-hal atau penemuan-penemuan baru yang jika keliru bisa diperdebatkan lagi, sehingga kita tidak terpaku kepada pendapat para ahli dari luar negeri semata-mata. Tidaklah mungkin kita percaya seratus persen dengan pendapat para ahli luar negeri yang sedang mengkaji masalah bangsa Indonesia, di bandingkan dengan para ahli dari dalam negeri sendiri yang adalah bangsa Indonesia sendiri.
Ya, pada saatnya pula kita harus berbicara mengenai keterbatasan Saya ingin menggaris bawahi mengenai suku Minangkabau yang juga dikategorikan sebagai pemberontak dan disebut pula oleh Ahmad Mansur Suryanegara, yaitu Ahmad Husein, Pemimpin PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Hal ini saya bantah, karena sebelum meninggalnya, saya dua kali bertemu Ahmad Husein. Dia mengatakan, bahwa PRRI adalah pemberontak, itu tidak benar. “Kami bukan pemberontak,”ujarnya. “Kami hanya melakukan koreksi total kesenjangan antara pemeintah pusat dan daerah, selain mengingatkan Presiden Soekarno tidak terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia,” tegas Ahmad Husein yang waktu itu sudah sakit-sakitan di kursi rodanya.
Kembali mengenai keterbatasan ini, saya ingin mengutip pernyataan Dr.Alfian (alm), salah seorang sejarawan Indonesia yang terkenal pada masanya. Di dalam sebuah pengantar buku:”Meluruskan Sejarah karya B.M.Diah,” Alfian mengatakan bahwa sesuai dengan tuntutan profesi keilmuannya, para ahli sejarah tentu berusajha keras untuk bersikap obyektif dalam menulis karyanya. Sungguh pun begitu, ujarnya, jauh di lubuk hati dan alam pikirannya, mereka mengetahui betul bahwa mustahil bagi siapa saja, betapa pun pintar dan ahlinya, untuk menghasilkan tulisan sejarah yang dapat dikatakan betul-betul obyektif dan sempurna. Sebuah tulisan sejarah memang dapat dikatakan, ditinjau dari segi mutu dan sebagainya, lebih obyektif dan lebih sempurna dari karya-karya lainnya. Tetapi tulisan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang final atau sebuah karya tanpa kelemahan dan kekurangan sama sekali. Di samping banyak tulisan sejarah yang buruk dan tidak bermutu, biasanya ada sejumlah karya yang dinilai baik dan berkualitas tinggi.
Bagaimana pun juga, tegas Alfian, para ahli sejarah sendirilah yang pertama-tama mengakui bahwa tidak ada tulisan sejarah yang betul-betul sempurna, dan juga betul-betul lurus.
“Itulah antara lain sebabnya mengapa sejarah merupakan salah satu bidang studi yang bagaikan sumur penelitian yang tak pernah kering atau lahan pengkajian yang tak pernah habis. Dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, berbagai ahli datang menimba atau menggarapnya, dan dari situ lahir karya-karya sejarah baru memperkaya khasanah yang sudah ada yang terus membesar,” jelas Alfian.