UDARA dingin dengan suhu 21 derajat Celcius di pagi buta terasa menusuk tulang. Kabut tipis minggu ketiga bulan ini juga terlihat menutupi pegunungan yang menjulang di arah selatan, utara dan barat Kota Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Saat melangkahkan kaki di kota kecil yang berjarak 30 kilometer dari Kota Semarang atau 60 kilomeSter dari Yogyakarta itu, bisa merasakan nuansa yang khas.

Ambarawa juga menawarkan aneka lokasi wisata yang menakjubkan dari wisata sejarah, agrowisata, wisata petualangan pegunungan hingga kuliner terdapat di sana.

Keindahan wilayah Ambarawa sempat menggugah minat penjajah Belanda untuk menjadikannya jadi tempat peristirahatan mereka. Di situ terdapat Benteng Williem I sebagai tangsi bagi tentara Belanda yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Dulu banyak penggede-penggede Belanda yang berlindung di sana saat diusik para pejuang.

Sebagai simbol kolonialisme di Ambarawa, Belanda juga tak segan-segan membangun stasiun kereta terbesar di dunia. Maka jika Anda berkunjung ke sana terasa kurang afdol jika tidak mengunjungi museum kereta api tersebut.

Memasuki Kota Ambarawa dari Semarang Anda akan dibuat takjub karena hamparan pemandangan danau (Rawapening) di sebelah selatan dengan latar belakang pegunungan Telomoyo dan Merbabu yang menjulang. Di utara Gunung Ungaran dan barat berdiri pegunungan Jambu.

Setibanya di daerah perkotaan Anda dapat langsung mengunjungi museum kereta api dengan koleksi puluhan kereta api kuno yang sulit dijumpai di negara manapun, bahkan negara pembuatnya sendiri.

Sekadar menyebut, di situ ada lokomotif seri CC50 buatan Schweizericche Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss dan Werkspoor, Belanda (1927). Lokomotif tercepat di dunia pada masanya yang mampu berjalan 120 km perjam seri C28 buatan Henschel dan F10 buatan Hanomag Jerman juga ada di sana.

Bahkan di Stasiun Willem I (kini Stasiun Ambarawa) yang diresmikan pada 21 Mei 1873 , sebuah lokomotif uap bergerigi B 2502 berbahan bakar kayu jati dengan dua gerbong kayu bercat hijau tua masih dioperasikan dan bisa Anda dinikmati . “Di dunia, lokomotif tua seperti ini tinggal tiga unit. Dua lainnya masing-masing di India dan Swiss,” kata Sumarno, pengamat keret api.

Perjalanan wisata dengan lokomotif tua, yang melewati rute Stasiun Ambarawa – Bedono sepanjang sembilan kilometer membawa keasyikan tersendiri. Dari dalam kereta tua itu Anda bisa menatap takjub alam pegunungan dan hamparan perkebunan di sisi kanan dan kiri yang diikuti semilir sejuk angin yang terhembus dari jendela kereta tua.

Dengan tarif Rp3,25 juta untuk carteran atau Rp50.000 per orang ongkos reguler, Anda sudah dapat menikmati suasana lampau di dalam kereta yang berjalan dengan kecepatan hanya 10 km per jam.

Pada empat kilometer pertama pemandangan perkampungan nan bersahaja akan dijumpai hingga sampai Stasiun Jambu. Setelah itu Anda akan mengakui takjub dengan teknologi lampau. Kereta api akan berhenti dan loko langsir berpindah ke belakang mendorong dua gerbong yang berjalan menanjak.

Dari stasiun Jambu sekitar 200 meter, jalan menanjak memaksa loko mengeluarkan jurus ampuhnya yaitu menggunakan gerigi yang bergerak berputar menapaki lempengan besi khusus yang dipasang di bagian tengah. Sungguh trip yang mengasyikan.

Rawapening

Belum puas menaiki wilayah pegunungan dengan kereta api tua berkapasitas 80 penumpang, wisatawan masih dapat menikmati indahnya danau Rawapening.

Dalam perjalanan ini, kereta api akan berjalan sekitar satu jam menyusuri pesisir Rawapening dan Anda dapat melihat hamparan danau seluas 3.000 hektare yang diramaikan oleh para nelayan yang hilir mudik dengan perahu tradisionalnya. Danau Rawapening dihuni berbagai jenis ikan air tawar.

Bagi wisatawan pecinta olahraga memancing kesempatan itu sangat langka. Hanya dengan menyewa perahu nelayan setempat seharga Rp25.000 perhari, Anda dapat mengarungi danau berair tenang itu sambil melepaskan umpan ikan.

Jika beruntung, ikan air tawar seperti gurame, tawes, kutuk (gabus), wader ukuran besar dan kecil akan menjadi milik Anda. Tidak itu saja, view gunung Merbabu dan Telomoyo yang melatarbelakangi danau sungguh memaksa mata Anda untuk menatapnya takzim.

Sembari menikmati indahnya panorama rawa dan gunung, di sisi yang berlawanan ada areal perkebunan kopi dan cokelat peninggalan Tlogo Maatscappij Amsterdam (1856) yang terhampar menghijau siap disapa mata juga. Sungguh pengalaman wisata yang memanjakan mata dan pikiran wisatawan.(M-1)