Desa di UbudBerwisata ke Bali tidak melulu mendatangi pantai atau hiburan malam. Menikmati Pulau Dewata, selain dengan menikmati pesona pantainya yang indah, bisa juga dengan menapaki suasana pedesaan yang sejuk, sepi, dan nyeni.

Ketika sudah mulai jenuh dengan suasana pesta dan dunia malam yang hip dan ramai, mungkin itu saatnya Anda beralih ke tempat yang jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk. Maka, wisata ke daerah yang tenang dan jauh dari keramaian bisa menjadi pilihan. Dan Ubud bisa dimasukkan ke dalam daftar liburan Anda.

Desa yang baru-baru ini dikunjungi Julia Roberts, karena menjadi salah satu lokasi syuting film terbarunya, Eat, Pray, Love, terletak di Kabupaten Gianyar, dan terkenal dengan sebutan ”Desa Wisata”. Atau, ada juga yang menyebutnya sebagai ”Desa Wisatawan Mancanegara”. Ini karena begitu banyaknya wisatawan asing yang berlibur dan bahkan menetap di Ubud.

Sebagai desa seni, Ubud menawarkan wisata maupun belanja seni dan budaya bagi para wisatawan. Di sana, kehidupan budaya Bali masih terasa sangat kental dan benar-benar dijaga. Di sepanjang jalanan di Ubud, tidak hanya penuh dengan toko, galeri, dan berbagai kafe atau restoran, tapi pura juga banyak dijumpai di jalan. Tidak sekadar sebagai tempat untuk beribadah saja, pura di sini juga terkadang digunakan sebagai tempat pementasan teater atau kesenian daerah Bali.

Pusat kota Ubud terletak pada sebuah persimpangan, tempat pasar tradisional, terminal angkutan umum, pura, dan pusat informasi turis Ubud bertemu di sana. Daerah tersebut tidak pernah sepi dari hilir-mudik wisatawan, baik berkendaraan maupun yang berjalan kaki. Setiap minggu, selalu ada pertunjukan kesenian tradisional Bali seperti tari Kecak, Legong, Barong, Ramayana, Mahabrata, dan musik gamelan.

Wisatawan asing memang banyak yang tinggal dalam waktu lama di Ubud, bahkan ada beberapa yang menetap. Meraka itu belajar melakukan interaksi sehari-hari dengan penduduk lokal, dan mempelajari kegiatan keseharian mereka. Tak jarang, beberapa dari mereka sampai memiliki ‘nama Bali’. Meskipun itu tidak mudah di dapatkan. Jadi, Ubud tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi seniman lokal, tapi juga seniman-seniman asing.

Sejak tahun 1920-an, Ubud sudah mulai dikunjungi oleh orang-orang terpelajar, seniman serta musisi dari luar negeri. Ketika itu, mereka ingin mencari kenikmatan hidup, yang tidak bisa mereka dapatkan di negara asalnya.

Beberapa desa di Ubud, terkenal dengan masing-masing hasil karya seninya. Beberapa di antaranya adalah Desa Mas dan Desa Celuk. Desa Mas terkenal sebagai daerah seni ukiran kayu yang luar biasa. Hampir di setiap jalanan dan rumah penduduk, terdapat galeri yang menjual ukiran kayu khas Bali. Adapun Desa Celuk dikenal orang karena hasil emas dan peraknya sehingga banyak wiatawan lokal maupun asing yang berburu cenderamata ke sana.

Selain hal-hal yang berbau seni dan budaya, Ubud juga memiliki beberapa objek wisata yang memikat seperti Monkey Forest dan Gua Gajah. Di Monkey Forest, terdapat sekitar 200 ekor kera, yang terbagi lagi ke dalam tiga kelompok, masing-masing dari mereka menempati daerah tertentu. Seolah telah memiliki wilayah dan aturannya masing-masing, kera-kera itu menggunakan tempat-tempat dan jam-jam yang tertentu pula. Tetapi, hampir seluruh kelompok dapat menjadikan hutan tersebut sebagai ‘rumah’ mereka. Hanya saja bila dua grup berada pada satu tempat yang sama dan pada jam yang sama, akan terjadi perkelahian.

Ada dua hal yang perlu diingat ketika memasuki Monkey Forest. Pertama, jangan memakai benda-benda seperti topi atau kacamata. Saking lincah dan bandel-bandelnya, monyet-monyet di sana bisa mengambil benda-benda tersebut dari Anda. Yang kedua, sebaiknya tidak mengganggu monyet-monyet itu. Selain daerahnya dianggap keramat, di dalamnya juga terdapat peninggalan purbakala, dan juga pura. Sekali waktu, kita bisa menyaksikan upacara keagamaan (odalan), atau upacara pembakaran mayat (ngaben).

Gua Gajah, di dalamnya terdapat pura, gua, dan air suci. Selain itu, ada juga patung Ganesha sebagai simbol dari ilmu pengetahuan. Pada tembok-tembok gua, terdapat tempat untuk bermeditasi bagi para pertapa. Dan berdasarkan patung-patung Budha yang terdapat di dalamnya, gua gajah merupakan peninggalan Siwa Budha.

Atmosfer Ubud yang sejuk, dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut, serta lingkungan yang masih alami, menjadikan Ubud sebagai tempat yang ideal untuk menyepi, ‘melarikan diri’, dan merelaksasikan badan dan pikiran. Bahkan, pada sebuah media, Donatella Versace pernah mengaku, ia pernah ‘bersembunyi’ di Ubud untuk menyendiri dan melarikan diri dari rutinitas. Sekadar informasi, Bali menempati urutan pertama dunia sebagai destinasi untuk spa paling ideal versi majalah Senses (majalah di Eropa) tahun 2009.

Jarak tempuh dari Denpasar ke Ubud, memakan jarak sekitar 20 kilometer. Atau sekitar satu jam setengah hingga dua jam perjalanan. Selain itu, menghabiskan waktu hanya sekitar 15 hingga 20 menit dari Gianyar. Lalu bagaimana caranya agar bisa langsung ke Ubud begitu sampai di Bali? Jika Anda baru tiba di Bandara Ngurah Rai, dan memutuskan untuk langsung menuju Ubud, ada beberapa cara yang bisa dipilih sesuai anggaran keuangan. Mulai dari naik taksi mobil, taksi motor, shuttle bus, menyewa motor, hingga menyewa mobil.

Karena ongkos taksi lumayan mahal, sekitar Rp 250 ribu, maka Anda bisa memilih untuk naik shuttle bus Perama yang sudah ada mulai dari jam 6 pagi hingga jam 5 sore. Ongkosnya sekitar Rp 50 ribu. Jika rombongan Anda lebih dari tiga orang dan kurang dari tujuh atau delapan orang, maka bisa menyewa mobil, yang harganya variatif, sesuai dengan jenis mobil. Selain itu, jika hanya sendirian atau tidak lebih dari dua orang, bisa menyewa motor yang ta­rifnya juga bervariasi.

Jika Anda berangkat ke Ubud dengan menggunakan jasa taksi ataupun shuttle bus, sesampainya di Ubud tidak perlu khawatir merasa kesulitan ke mana-mana. Di Ubud, banyak tempat yang menyediakan jasa persewaan mobil, motor, dan sepeda. Tarif sewa motor relatif lebih murah dibandingkan menyewa motor di Kuta. Tarifnya sekitar Rp 30-50 ribu per harinya. Sedangkan sekitar Rp 20 ribu per hari untuk sewa sepeda.

Jika sudah sampai di Ubud, lupakan televisi dan surat kabar. Saatnya untuk menjelajahi keindahan alamnya. Menyusuri jalanan Ubud yang berkelok-kelok, naik-turun, dan lebar jalan raya yang cenderung kecil, akan lebih nyaman jika menggunakan sepeda motor ketimbang mobil. Selain karena jalanannya yang sempit, minimnya lahan parkir, hanya akan membuat kita tidak bisa maksimal menikmati liburan, karena kesusahan mencari tempat parkir. Jika tidak bisa mengendarai motor, dan siap untuk mengeluarkan energi ekstra, bisa dengan menyewa sepeda.

Namun yang paling ideal adalah dengan berjalan kaki. Karena sepanjang jalan di hampir setiap sudut Ubud, adalah deretan toko-toko seni/ galeri, toko-toko pakaian, aksesori, dan kafe-kafe. Jadi, tidak perlu khawatir kelaparan atau kehausan karena sudah berjalan cukup jauh. Suasana Ubud yang adem dan tidak terlalu dipadati kendaraan, membuat berjalan kaki terasa begitu menyenangkan.
Selain banyak dan beragamnya transportasi yang tersedia, berbagai jenis hotel banyak di jumpai di Ubud. Mulai dari hotel, villa atau resort kelas atas seperti Four Seasons dan Alila, hotel kelas menengah, hingga hotel-hotel ekonomis seperti guest house, home stay dan bungalow. Tarifnya mulai Rp 150 ribu per malam.

Jadi, Anda bisa menikmati keindahan dan keeksotisan Ubud dengan bujet yang minim. Dan karena keeksotisannya, Ubud tidak hanya menarik hati para turis yang ingin berlibur, tapi juga telah menjadi tempat diselenggarakannya sebuah ajang sastra/ literasi berskala internasional, Ubud Writers and Readers Festifal setiap tahunnya, yang telah berlangsung pada pekan pertama bulan Oktober ini.

Belanja Seni dan Budaya

Berbelanja merek-merek terkenal, ataupun barang-barang fesyen, bisa kita lakukan di daerah Kuta dan Legian. Tetapi jika ingin mencari barang-barang seni, mulai dari seni kerajinan tangan, ukiran kayu, seni tabuh, patung, hingga lukisan, bisa dengan mudah ditemui di hampir di setiap sudut Ubud. Mulai dari galeri-galeri kecil di pinggir jalan, hingga galeri-galeri seni besar seperti Neka Art Museum ataupun museum Antonio Blanco.

Galeri-galeri ini bisa dijumpai pada hampir setiap jalanan di Ubud, bercampur bersama butik-butik yang kebanyakan menjual busana maupun aksesori etnik dan berciri khas sangat Bali maupun sangat Indonesia. Lihatlah pada sepanjang Jalan Wanara Wana, Jalan Monkey Forest, Sri Wedari, Hanoman, Dewi Sita, hingga Jalan Raya Ubud. Sejauh mata memandang, hanya ada deretan pertokoan dan galeri. Meskipun harga-harga barangnya cenderung mahal -terutama jika dibandingkan dengan di Pasar Sukawati-, namun pada beberapa toko, berlaku tawar-menawar harga. Inilah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi turis lokal, ketika bisa mendapatkan barang-barang bagus dengan harga yang miring.

Galeri-galeri itu tidak hanya menjual karya seni dan budaya yang bersifat tradisional (Bali), ada juga beberapa galeri yang menjual hasil karya yang bersifat urban/kontemporer. Misalnya lukisan abstrak, perabotan minimalis, hingga aksesori ‘ramah lingkungan’ seperti sepatu, topi dan tas dari bahan daur ulang.

Jika Anda memang berniat berbelanja di Ubud, sebaiknya menyiapkan sandal yang nyaman plus energi yang cukup agar tahan berjalan kaki dalam jarak yang lumayan jauh. Karena, yang paling ideal adalah menyusuri pertokoan dengan berjalan kaki. Rasanya rugi apabila tidak memasuki hampir semua toko yang ada. Karena, meskipun sekilas terlihat sama saja, namun sebagian besar toko memiliki keunikannya tersendiri. Dan terutama sekali, kegiatan tawar-menawarnya yang bisa dilakukan di sini.

Satu hal yang menguntungkan bagi wisatawan lokal adalah, adanya ‘diskriminasi’ harga antara turis lokal dan mancanegara. Bagi turis asing, harga yang berlaku adalah dua kali lipatnya. Misalnya, seuntai kain yang harganya Rp 50 ribu, dijual Rp 100 ribu kepada turis asing.

Ubud juga ideal jika diaktakan sebagai ”Desa Wisata Kuliner”. Pa­sal­nya, hampir pada setiap jalanan terdapat kafe-kafe yang kebanyakan menghidangkan menu Eropa, sea­food, dan Asia. Dan bagi penyuka minuman koktil jenis Martini, ada sebuah tempat yang bernama Naug­hty Nuri’s. Tempat ini tidak pernah sepi dari turis, terutama turis mancanegara. Karena tempat ini terkenal dengan Martini-nya yang strong.

Ubud sebagai “Desa Budaya”, merupakan daerah kelahiran para seniman, terutama pelukis. Pelukis asli Bali, Tjokordo Gde Agung Suka­wati bekerja sama dengan Rudolf Bonnet, pelukis asal Belanda, untuk membentuk sebuah perkum­pulan seniman dengan nama Pita Maha. Pita Maha merupakan sebuah per­kumpulan dan wadah untuk men­dis­kusikan masalah dan perkem­bang­an seni lukis, serta untuk saling bertukar pikiran dan memperkenalkan hasil seni yang mereka miliki.

Sumber: Suara Merdeka