ujung-kulonJAKARTA – Kawasan ekowisata kita, seperti Ujung Kulon, kerap dikonotasikan dengan back-packers atau para peneliti. Bukan seperti di Amazon, Brazil, dimana ekowisata untuk kalangan berada bisa dipilih, kendaraan nyaman menuju objek wisata, tinggal di kamar privat dan leyeh-leyeh, kipas-kipas santai, atau sembunyi ke ruang aircon yang tentunya tidak ramah lingkungan itu.
Ternyata pilihan seperti ini ada di Ujung Kulon.
Javaseacharter adalah perusahaan yang mengelola skuner berjulukan Cecilia Ann. Nama asing yang memang cocok, karena kapal layar bertiang dua dan bermesin ini dicat putih dengan garis biru cemerlang. Terlihat anggun dan cantik, jika membentang di laut biru perairan Ujung Kulon. Pada pelayaran ke sana dibutuhkan tiga hari dan biaya per harinya bukan murah, US$ 1.100. Namun Cecilia Ann bisa memuat 10 penumpang, dan dalam layanannya mencakup makan tiga kali sehari, tidur di kabin ber-AC, dan minuman ringan dalam jumlah tak terbatas. “Alkohol bawa sendiri,” begitu penjelasan petugas booking, dari kantornya di Hotel Krystal, Jalan Terogong, Jakarta Selatan.

Sarana ini memang bukan kelas penyandang ransel yang bisa berkunjung ke Ujung Kulon cukup dengan berpatungan kurang dari Rp 1 juta jika terkumpul 20 orang. Namun sarana ini bisa digunakan baik dari anak-anak usia balita,sampai ke Bang Buyung, sapaan lazim bagi Adnan Buyung Nasution, yang sudah menjelang 75 tahun.
Pelayaran diawali taklimat dari Reza Picauly, ia pemandu sekaligus master diver, maklum skuner ini kerap digunakan para peselam untuk sarana transportasi mereka. Kebanyakan pesewa berasal dari mancanegara, hingga Reza, pemuda asal Sulawesi Utara ini, juga dipanggil Richard. “Maklum, Reza kan sulit buat lidah asing,” ujar pemuda yang tinggi tegap dengan senyum menawan. Reza selalu mengakhiri ucapannya dengan menyungging senyum.
Sebetulnya, taklimat pertama ini sungguh membosankan, karena berbagai prosedur keselamatan diuraikan panjang lebar. Sampai-sampai Bang Buyung, pengacara kondang yang tentunya fasih dalam berbantah, sempat menyelak untuk minta pelayaran segera dimulai. Untungnya, senyum Reza masih lebih menawan, hingga ia pun melanjutkan “pidatonya” agar kami semua bisa selamat menjalankan pelayaran.
Cecilia Ann dinakhodai oleh Barkhat dan dibantu kru Amung dan Bisri yang usianya baru 19 tahun. Kapten Barkhat, perbawanya tenang. Perjalanan semalam suntuk, dilaluinya tanpa jeda. Kami semua pulas tertidur diguncang gelombang arus selatan, sementara Barkhat duduk bersila, macam semedi, menatap ke arah sekitar 210 ke selatan. Kami menuju Pulau Peucang di ujung barat Ujung Kulon.
Bagi yang baru naik kapal, guncangan itu tentu memabukkan. Motion sickness merupakan hal yang lazim bagi mereka yang kakinya biasa menjejak bumi yang tegar. Namun, kabin yang sejuk dan tertutup sangat membantu pulasnya tidur para penumpang. Tidak satu pun dari penumpang Cecilia Ann yang harus muntah. Pusing tentu, tapi lemas dan malas makan, serta enggan beraktifitas tidak terjadi.

Peucang, Cidaun dan “Snorkeling”
Setelah melampaui Tanjung Alang-alang, gelombang mereda. Pasalnya, Pulau Peucang, Pulau Panaitan, jazirah yang ditegarkan oleh Gunung Payung, menghambat arus selatan dan angin dari Samudera Hindia.
Penumpang satu per satu keluar dari kabin. Makan pagi pun disiapkan Amung dan Bisri. Nama boleh asli Indonesia, tetapi sajian kedua kru yang dinakhodai Reza adalah makanan ala Barat, sereal dengan madu dan susu low fat, dan salada buah. Roti bakar dilampiri berbagai pilihan, selai kacang, selai buah, bahkan ada mestase, selai rasa asam pahit yang tidak lazim bagi lidah Melayu yang akrab dengan mie instan pedas gurih itu. Jadilah sebagian penumpang yang berjarak dengan menu Barat menuntut mie goreng instan dari Amung dan Bisri. “Yaa, sebentar lagi yaa,” jawab keduanya serentak.
Perkara makan memang Cecilia Ann ini bisa dibilang istimewa. Mereka menyajikan juga pilihan makanan Nusantara, dan penumpang pun diijinkan membawa bekalnya sendiri. Kombinasi menu Barat, yang akrab buat Bang Buyung yang lama tinggal di Belanda itu, dan menu Nusantara yang juga digemari Bang Buyung menjadikan pelayaran ke Ujung Kulon sekaligus wisata kuliner yang mengutip Bondan Winarno “mak nyusss”.
Pelayaran tiga hari ini diisi dengan berbagai kegiatan trekking ke Karang Pocong yang ditempuh dari pagi hingga makan siang. Mengunjungi sisa peninggalan upaya Daendels membuat jalan ke Ujung Kulon yang dilengkapi kamar tahanan untuk para pekerja paksa yang mangkir. Tempat itu sekarang digunakan sebagai pos penjagaan petugas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Mengingat jabatan Adnan Buyung Nasution sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, wisata petualangan ke Ujung Kulon pun dibalut dengan sambutan dari pihak Pemda, tidak kurang dari Wakapolres Pandeglang, Agus Rasyid, menyambut rombongan di Pulau Peucang. Ia datang bersama rombongan intel polisi, padahal Bang Buyung sendiri sesuai prosedur tetap (protap) sudah dikawal tiga polisi Polda Metro karena jabatan setara menteri itu.
Diantara rombongan penyambut TNUK terdapat Endjat Sudrajat, yang sudah akrab dengan kawasan kawasan ini. Endjat pun memfasilitasi rombongan agar bisa meninjau padang penggembalaan di Cidaun, kemudian berkano di Cigenter, dimana rombongan sempat melihat ular piton beristirahat di atas dahan.
Perjalanan ini digunakan petugas TNUK untuk menjelaskan kondisi kawasan yang mereka jaga ini. Berbagai perkara dimana petugas yang menjalankan kewajibannya harus berbenturan dengan penduduk yang memiliki kepentingan berbeda. Mereka mengeluhkan ketika dalam menjalankan tugasnya mereka harus berhadapan dengan hukum dan bahkan “dititipkan” di penjara.
Pelayaran di Ujung Kulon tidak tuntas jika hanya menyaksikan sisa hutan dataran rendah Jawa yang masih asri dan perawan. Jika berharap melihat badak, ini kemungkinannya sekecil mendapatkan jarum di tumpukan jerami, meminjam peribahasa Belanda. Dan kami pun tidak melihat rhinoceros javanic, kecuali jejak kaki di lumpur tepian Cigenter. Jadi hal terbaik kedua di Ujung Kulon adalah selulup permukaan laut alias snorkeling. Ini kami lakukan di Cinogar. Dan Bang Buyung pun melampaui niatnya untuk hanya satu jam berselulup ria. Kemudian ia pun menerima usulan Agus Rasyid untuk menghabiskan malam terakhir di resot Pulau Umang. Kami pun meninggalkan dunia ekowisata dan merasuk ke wisata arus utama.

Sumber: Sinar Harapan