Seorang peserta treking dengan dibantu dua orang pecinta alam berusaha melewati jalur yang curam.

foto-foto : SP/Ignatius Liliek

Perjalanan menuju hutan Bodogol dengan menggunakan kendaraan off road.

Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sukabumi, Jawa Barat, memang menawarkan wisata alam yang pas bagi pencinta alam. Mulai dari off road seru menuju pusat konservasi, hingga membuka jalur baru di arena trekking di dalam hutan lindung.

Setelah menempuh sekitar 75 kilometer dari pusat Jakarta atau 2,5 jam berkendara, kami tiba di Lido, Sukabumi, Jawa Barat. Sesungguhnya ada gerbang masuk lainnya untuk memasuki kawasan TN Gunung Gede Pangrango. Bagi para pendaki berpengalaman tentu akrab dengan gerbang utama di Cibodas, dan Gunung Putri. Selain itu juga ada gerbang Selabintana, dan Situ Gunung. Tetapi, rombongan kami memang bertujuan untuk melewati jalur dari Lido, tepatnya di samping Lido Lakes Hotel. Di sana sudah menanti lima mobil Lendi, alias Land Rover. Rupanya mobil yang belakangan juga dijuluki si “bloon” ini yang akan mengan- tarkan kami menuju ke PPKAB.

Rupanya tidak banyak dari anggota rombongan yang pernah ke lokasi tersebut. Minimnya informasi membuat para peserta langsung dikejutkan dengan medan yang dilalui. Rupanya, jalur ini adalah jalur off road. Tubuh terguncang hebat, ketika Lendi melintasi jalan tanah yang licin akibat diguyur hujan semalam. Sensasinya seheboh naik roller coaster. Hati sempat jeri melihat Lendi yang perkasa itu meliuk-liuk di antara jalur sempit yang diapit perkebunan terong, pepaya, cabai, jagung serta ngarai yang dalam. Apalagi perjalanan terus menanjak, bahkan kami sempat melihat atap-atap rumah yang mengecil di bawah sana. Maklum, kami sedang menuju ketinggian 1.200 meter.

Belum setengah perjalanan salah satu mobil Lendi terperosok ke dalam lubang berlumpur. Namun dalam waktu singkat, Lendi bisa keluar dari jebakan tersebut.

Di tengah adrenaline yang terpacu, kami menyaksikan pemandangan alam yang menyajikan bibir tebing, lereng bukit, sisi lembah yang tanah pertanian tradisional yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ada rasa syukur dalam hati menyaksikan karya cipta yang Sang Maha Kuasa.

Perjalanan off road itu memakan waktu hampir setengah jam, untuk jarak sekitar tujuh kilometer dari gerbang Lido hingga ke gerbang PPKAB. PPKAB adalah sebuah konsorsium usaha kerja sama tiga lembaga, yaitu TN Gunung Gede Pangrango, Conservation International Indonesia Programe dan Yayasan Alam Mitra Indonesia. PPKAB ini dibangun pada tahun 1997 sebagai bagian dari TN Gunung Gede Pangrango dengan luas arealnya 56 hektare. Tujuan PPKAB ini adalah sebagai konservasi alam untuk masyarakat umum supaya lebih mengenal dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Selain itu ada program riset, monitoring, pelatihan, lokakarya, menerima kunjungan siswa sekolah dan sebagainya. Karena itu tempat ini dilengkapi dengan ruang baca, diskusi, kelas dan pondok inap dengan ruang makan. Selain itu seperti lazimnya taman nasional dijaga oleh para jagawana, alias polisi hutan atau rangers.

Lokasi PPKAB ini terbilang unik karena tepat berada di perbatasan kabupaten Bogor dan Sukabumi. Di dalamnya terdapat 300 jenis tanaman obat, 700 jenis bunga dan sejumlah fauna langka seperti elang jawa, owa jawa, lutung, kucing hutan, anjing hutan, suruli dan macan tutul.

Gerimis yang turun ketika kami tiba menghadirkan bau tanah basah. Angin pegunungan membuat musik baru di telinga lewat gesekan pepohonan cemara. Memang curah hujan di kawasan ini mencapai 3.000 hingga 4.000 milimeter. Suasana hutan hujan yang lembab membuat hati bertanya-tanya petualangan apalagi yang menanti kami di sini. Rupanya aksi off road tadi baru pemanasan. Setelah dijamu makan siang dan bertemu dengan para petugas TN dan pemandu, petualangan kembali dimulai. Rombongan yang dibagi empat kelompok dengan masing-masing dua pemandu akan melakukan perjalanan memasuki hutan. Sebelumnya, Jamrud (42) pemandu rombongan SP menunjukkan papan peringatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di hutan hujan ini. Seperti tidak membuang sampah, termasuk biji-bijian buah. Bahkan jika merokok, puntungnya dibawa kembali untuk dibuang ditempat sampah yang ada di pusat PPAKB. Sebab semua itu akan mengganggu ekosistem asli daerah tersebut.

Perjalanan dimulai dengan menelusuri jalan setapak berbatu con block. Hujan yang turun membuat jalanan terasa sangat licin dan berbahaya licin sehingga kami harus ekstra hati-hati saat melangkah. Berlokasi pada sebuah bibir tebing ada sebuah anjungan pandang, sumbangan World Wildlife Fund. Dari sana kami dapat memandang lembah di bawah yang menampilkan wajah hutan yang mempesona sekaligus misterius. Hujan yang mulai reda menghadirkan kabut, seperti tirai tipis yang ingin melindungi apapun yang ada di bawahnya.

Sayang, kami kurang beruntung karena dalam perjalanan tidak menemui binatang langka yang menjadi ciri khas TN tersebut. Hanya sekali kami menemukan jejak babi hutan. Kami juga sempat menyaksikan aksi seekor burung berwarna biru yang sedang makan cacing dan sepasang kupu-kupu saputangan yang besarnya seukuran sapu tangan. Meski tidak bertemu penghuni hutan yang lain namun kehadiran mereka dapat terdengar dari suara-suara yang bergema dari berbagai penjuru.

Sejumlah wisatawan melintasi jalur treking di kawasan hutan Bodogol, Sukabumi, Jawa Barat.

Hutan Hujan Tropis

Oleh pemandu, kami diperkenalkan akan rahasia hutan hujan tropis itu. Di dalamnya ternyata terdapat banyak persediaan air, makanan, tanaman obat serta bahan mentah untuk kehidupan. Seperti tanaman harendong kingel yang menurut Jamrud daunnya berguna untuk menambah stamina. Rasanya daun, seperti mengunyah peppermint, pedas segar. Ada juga tanaman liana yang akarnya dapat untuk menghilangkan rasa sakit. Ada juga tanaman fulus yang bisa menimbulkan rasa gatal yang luar biasa jika kita tergores daunnya. Selain itu kami juga harus tetap berhati-hati karena tidak semua yang terlihat menarik bisa dimakan. Contohnya ada tanaman yang memiliki buah dengan rupa seperti buah anggur, tetapi ternyata bisa mengakibatkan gatal-gatal di sekujur tubuh.

Setelah berjalan menurun sejauh 750 meter, kami menemui hambatan. Pasalnya jembatan kanopi, berupa jembatan gantung dengan empat bentangan ternyata terputus. Hantaman kilat telah menumbangkan sebuah pohon besar tempat jembatan itu terikat. Akibatnya, kami harus merintis jalan baru untuk dapat sampai di seberang. Ini bukan hal yang mudah. Tanah yang basah oleh hujan terasa goyah ketika dipijak. Tergelincir, bercampur lumpur bahkan rasa gamang melihat jauhnya dasar ngarai di bawah menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Kerjasama tim dengan para pemandu menjadi kunci melewati tantangan ini.

Setelah melewati rute tersebut, kami masih harus melalui jalan setapak yang terus mendaki. Jarak yang hanya sekitar 650 meter dari titik awal terasa begitu lama karena setengah perjalanan adalah jalan mendaki. Ini benar-benar berat dan melelahkan bagi mereka yang tidak terbiasa melakukan kegiatan semacam itu. Namun semua kekelahan itu terbayar dengan pemandangan hutan belukar. Kami bahkan sempat melihat bunga api, bunga pohon tepus berwarna merah menarik yang tumbuh mekar di permukaan tanah. Di samping itu ada pohon rotan, serta akar-akar pohon yang bergantungan di udara.

Rupanya hutan punya kejutan bagi kami. Ketika kami sudah kembali ke pondok inap, tiba-tiba terlihat seekor owa jawa (hylobates moloch) di dekat ruang makan. Para juru foto tentu tidak melepaskan kesempatan ini. Apalagi owa itu dengan terlihat santai menikmati makanan bahkan sesekali beratraksi melompat dari satu pohon ke pohon lain, seperti tarzan. Primata yang satu ini termasuk endemik tanah Jawa. “Owa ini juga bisa kita lihat di Gunung Gede, Ujung Kulon, Halimun, Leuweung Sancang dan Gunung Simpang,” kata Dani Darmawan petugas TN tersebut. Untuk membedakan owa dari surili, katanya, caranya gampang saja. Lihat baik-baik, owa tak punya ekor, dan seluruh mukanya hitam.

Meski lelah, namun menjelajah di Bodogol sangat menggairahkan. Perjalanan balik dengan rute dan kendaraan yang sama terasa begitu singkat. Bahkan kami mulai ketagihan aksi terjerumus ke dalam lumpur bersama lendi. Ini benar-benar pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Bahkan mengundang rasa penasaran untuk kembali. Sebab masih banyak tempat menarik di TN tersebut yang belum sempat dijelajahi. Seperti telaga biru Cibodas, air terjun Cibereum dan air terjun Selabintana, dan sungai air panas. Apalagi ada janji untuk melihat macan, elang jawa, lutung dan berbagai aneka burung. [SP/Stevy Widia]