Musi Kuto Besak PalembangSore itu, setelah lelah mengikuti sebuah seminar, bersamaan dengan matahari yang bergegas pulang, penulis melangkahkan kaki ini menyusuri jalan utama yang membelah kota Palembang menuju Plaza Benteng Kuto Besak.

Tak terasa, pantulan cahaya kuning keemasan di atas hamparan Sungai Musi mulai memudar ditelan kegelapan. Namun puluhan orang itu belum juga beranjak pergi. Anak-anak masih berlarian. Orang tua mereka menunggu sambil mengudap makanan kecil. Kaki-kaki mereka menggantung di tepian sungai.

Di sudut lain, beberapa anak muda asyik berselancar di dunia maya secara gratis sambil makan pempek dan menikmati secangkir kopi di warung kopi dari perahu yang bergoyang-goyang mengikuti ombak. Ada juga beberapa pasangan muda mudi yang duduk bersimpuh di atas beton tepian plaza menikmati indahnya Sungai Musi dan semilir angin sambil merajut indahnya cinta.

Di senja itu, banyak warga kota yang masih menghabiskan waktu di lahan tepian sungai seluas sekitar tiga lapangan bola itu. Tempat ini tak ubahnya seperti alun-alun di Pulau Jawa, yang berfungsi sebagai taman terbuka. Bahkan keramaiannya dapat menandingi ingar bingar suasana Malam Minggu di Simpanglima Semarang.

Namun pemandangan di Plaza Benteng Kuto Besak lebih mengasyikkan. Bukan rumput, melainkan air yang menghampar di sepanjang Sungai Musi, yang lebarnya sekitar setengah kilometer, dengan perahu-perahu hilir mudik. Sesekali melintas kapal besar yang membawa kontainer dan juga perahu gethek yang mengangkut penumpang.

Menengok ke belakang sebentar, Kuta Besak merupakan keraton pusat Kesultanan Palembang Darussalam, sebagai pusat kekuasaan tradisional. Pengertian Kuto di sini berasal dari kata Sanskerta, yang berarti: Kota, puri, benteng, kubu. Bahasa Melayu Palembang tampaknya lebih menekankan pada arti puri, benteng, kubu bahkan arti kuto lebih diartikan pada pengertian pagar tinggi yang berbentuk dinding. Sedangkan pengertian kota lebih diterjemahkan kepada negeri.

Benteng ini didirikan pada tahun 1780 oleh Sultan Muhammad Bahauddin (ayah Sultan Mahmud Badaruddin II). Gagasan benteng ini datangnya dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) atau dikenal dengan Jayo Wikramo, yang mendirikan Keraton Kuta Lama tahun 1737. Benteng Kuto Besak Palembang mempunyai ukuran panjang 188,75 meter, lebar 183,75 meter dan tinggi 9,99 meter serta tebal 1,99 meter.

Di setiap sudutnya terdapat bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lainnya. Tiga bastion yang sama tersebut merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak, di sisi timur, selatan dan barat terdapat pintu masuk lainnya disebut lawang buritan.

Selain keindahan dan kekokoh­annya, Kuto Besak memang terletak di tempat strategis, yaitu di atas la­han yang bagaikan terapung di atas air. Bentuk dan keadaan tanah di kota Palembang seolah-olah berpulau-pulau, dan oleh orang Belanda diberinya gelar sebagai de Stad der Twintig Eilanden (Kota Dua Puluh Pulau).

Selanjutnya menurut G Bruining, pulau yang paling berharga (dier eilanden) adalah tempat Kuto Besak ini berdiri. Sehingga wajar jika Palembang disebut Kota Seratus Sungai. Sedangkan di zaman awal kolonial, Palembang dijuluki oleh mereka sebagai het Indische Venetie. Julukan lainnya adalah de Stad des Vredes, yaitu tempat yang tenteram (maksudnya Darus-Salam). Dan memang nama ini adalah nama resmi dari Kesultanan Palembang Darussalam.

Suatu kebanggaan bagi wong Palembang bahwa Benteng Kuto Besak merupakan satu-satunya benteng yang berdinding batu dan memenuhi syarat perbentengan/pertahanan yang dibangun atas biaya sendiri untuk keperluan pertahanan dari serangan musuh bangsa Eropa dan tidak diberi nama pahlawan Eropa.

Namun, nasib Benteng Kuto Besak, yang lokasinya berdekatan dengan Kantor Walikota, tepatnya di pinggiran Sungai Musi, tak ubahnya seperti Benteng terlarang seperti Forbidden City di Cina. Tapi Forbidden City tak lagi menjadi kota terlarang. Tempat para raja yang mendiami areal puluhan hektar itu sudah dibuka untuk umum. Pengunjungnya tak hanya masyarakat setempat, melainkan para turis mancanegara.

Nah bagaimana dengan Benteng Kuto Besak ini? Areal bangunan bersejarah itu tetap menjadi wilayah terlarang untuk dimasuki masyarakat umum karena di dalamnya merupakan markas tentara. Hanya saya Plaza yang luas di depan Benteng dapat dinikmati publik untuk aktivitas apa pun mulai dari jalan-jalan, bermain bola, nongkrong sampai pacaran.

Menurut Bambang Wicaksono, seorang pejabat Dinas Tata Kota di sana, sebelum dilakukan revitalisasi pada Benteng kuto Besak, kawasan ini bukanlah tempat favorit Wong Kito. Maklumlah, banyak waria berkeliaran di sana pada malam hari. Pada siang hari, suasananya juga tak terlalu menarik. Di sini terdapat pasar buah tapi kumuhnya bukan main. Gubuk bertebaran, sampah menumpuk, dan baunya menonjok hidung. Gerombolan pencoleng ikut meramaikan kawasan tersebut.

Upaya revitalisasi Benteng Kuto Besak ini, tampaknya tak beda dengan revitalisasi bangunan bersejarah lainnya di kota-kota besar di Indonesia. Bangunan bersejarah di pusat kota seringkali menjadi permasalahan apabila kawasan revitalisasi tersebut memiliki bangunan cagar budaya. Namun revitasisasi ini berhasil mengubah citra Benteng Kuto Besak menjadi lebih menarik untuk dikunjungi.

Secara historis, Benteng Kuto Besak memang memiliki kepentingan umum, yaitu pengaturan benda cagar budaya yang dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata, dan lain-lain. Salah satu strategi pengembangan terbaik dalam merevitalisasi kawasan kota bersejarah adalah dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat wisata dengan bangunan bersejarah sebagai objek wisata utamanya. Pembangunan dan penataan kawasan di sekitar Plaza Benteng Kuto Besak diproyeksikan akan menjadi tempat hiburan terbuka yang menjual pesona Musi dan bangunan-bangunan bersejarah.

Jika dilihat dari daerah Seberang Ulu atau Jembatan Ampera, pemandangan yang tampak adalah pelataran luas dengan latar belakang deretan pohon palem di halaman Benteng Kuto Besak, serta menara air di Kantor Walikota Palembang.

Di kala malam hari, suasana akan terasa lebih dramatis. Cahaya dari deretan lampu-lampu taman menciptakan refleksi warna kuning pada permukaan sungai. Pemkot Palembang memiliki sejumlah rencana pengembangan untuk mendukung Plaza Benteng Kuto Besak sebagai objek wisata.

Upaya itu tak lantas membawa hasil. Menurut Bambang Wicaksono, pada 2005, Palembang masuk daftar kota terkotor di Indonesia. Untungnya, ”penghargaan” ini malah memacu aparat kota untuk membalikkan keadaan. Tiga tahun terakhir, Palembang menjadi peraih Piala Adipura sebagai kota metropolitan paling bersih. Bahkan, tahun lalu, kota ini juga mendapat penghargaan Environmental Sustainable City (ESC) ASEAN, anugerah sebagai kota paling bersih di kawasan Asia Tenggara.

Palembang telah berhasil mengembalikan harkat Sungai Musi dengan membenahi Benteng Kuto Besak dan Plaza sebagai ruang publik yang menjadi tempat rekreasi wajib bagi warganya. Hal ini mencerminkan sebuah tekat agar Palembang layak disebut Kota Sungai.

Waterfront ala Palembang

Ada pemandangan baru di tepi Sungai Musi. Setiap sore puluhan bahkan ratusan orang terlihat nongkrong dengan santai di sebuah dermaga beton. Ada yang sakedar me­nik­mati indahnya sungai, berpacaran bahkan ada juga yang memegang tangkai pancing, yang kailnya berulang kali terombang-ambing gelombang setiap kali ada gethek (perahu kayu berme­sin tempel) melintas. Tidak ketinggalan anak-anak kecil dengan riang bermain air di undak-undakan yang ada di bawah dermaga. Meskipun air sungai itu berwarna coklat dengan beberapa tumpukan enceng gondok yang menari kian kemari, mereka tampak sangat menikmatinya.

Suasana akan semakin ramai pada akhir pekan. Jika angin sedang kencang, tak sedikit anak muda yang datang ke dermaga itu untuk menaikkan layang-layang. Memancing, bermain air, bermain layangan, atau sekadar melewatkan senja dengan menikmati pemandangan di sekitar Sungai Musi. Itulah aktivitas baru yang bisa dilakukan oleh warga Palembang di plaza depan Benteng Kuto Besak.

Sebagai sebuah kota, Palembang kenyang de­ngan begitu banyak julukan. Venesia dari Ti­mur, Kota Seratus Sungai, Bumi Sriwijaya, serta Kota Songket dan Jumputan. Kota tua yang usia­nya lebih dari tiga abad ini memiliki eksotisme di setiap sudutnya.

Perkampungan warga asli Palembang di tepian Sungai Musi sampai Jembatan Ampera ada­lah beberapa contoh bagian kota yang menjadi land­mark, penanda ciri khas Palembang. Bagi pen­datang atau pelancong dari luar Palembang, tem­pat-tempat itu berpotensi menjadi tujuan wisata kota yang menarik. Penataan kawasan di sekitar Plaza Benteng Kuto Besak diproyeksikan akan menjadi tempat hiburan terbuka yang menjual pesona Musi dan bangunan- bangunan bersejarah.

Secara teknis, plaza itu dibangun di atas dermaga yang letaknya agak menjorok ke tepi Sungai Musi. Bentuknya seperti dermaga, luasnya 900 meter persegi. Meskipun belum selesai seluruhnya, wujud dermaga yang proses pembangunannya dimulai sejak tahun 2002 itu sudah menuai hasilnya. Lantainya disusun dari bata conblock warna merah.

Untuk melengkapi fungsi dan tampilan plaza tersebut, Pemkot Palembang juga membenahi ruas jalan di depan Benteng Kuto Besak. Jalan aspal yang bolong-bolong dibongkar, diganti dengan jalan conblock. Jika dilihat dari daerah Seberang Ulu atau Jembatan Ampera, pemandangan yang tampak adalah pelataran luas dengan latar belakang deretan pohon palem di halaman Benteng Kuto Besak, dan menara air di Kantor Wali Kota Palembang.

Kawasan Kuto Besak kini diakui sebagai tetenger keberhasilan Palembang menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Bolehlah disebut waterfront ala Palembang. Publik bisa mendapat akses gratis ke pinggiran sungai. Kawasan yang berlantai paving block ini ditata menjadi ruang terbuka yang nyaman. Berbagai perhelatan digelar. Mulai dari Festifal Musik sampai dengan Festival Perahu Naga. Masyarakat benar-benar dimanjakan oleh keterbukaan kawasan Kuto Besak.

Warga Palembang memang kekurangan ruang publik sebagai tempat rekreasi terbuka. Keberadaan tempat terbuka, seperti taman, semakin terancam derap pembangunan kota. Taman dan ruang terbuka ini senantiasa menjadi ajang rekreasi murah meriah bagi masyarakat yang digusur untuk pembangunan, simbol rekreasi masyarakat urban.

Sumber: Suara Merdeka