yogyatravel.comMalioboro di waktu malam.

Mbah Prapto Widarso meracik gudeg.

Yogyakarta, siapa yang tak suka menyusuri jalan-jalan kotanya? Menyebut Jalan Malioboro, siapa tak suka pelan-pelan menapakinya sepanjang jalan, dari pagi hingga malam sembari membeli aneka kerajinan unik di situ? Juga menelusuri kawasan Kota Gede tempat para perajin perak menghasilkan aneka kerajinan. Belum lagi bila Anda mengekplorasi kawasan Kasongan tempat aneka kerajinan gerabah dibuat.

Sayangnya, semua itu tak bisa dinikmati hingga larut malam. Sementara layaknya wisatawan, Anda pastinya maunya menghabiskan seluruh waktu dengan menjelajah penjuru kota. Bagaimana dengan Yogya di larut malam?

Tidak ada pilihan lain memang bila energi Anda masih bugar hingga larut malam, selain menikmati hiburan malam berupa karaoke, diskotik, dan wisata kuliner. Pilihannya memang antara menghabiskan energi hingga letih, dan menambah energi dengan mengenyangkan perut.

Menyebut tempat-tempat hiburan malam di Yogya, lumayan beragam bila Anda terbiasa dengan hiburan malam di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Bila Anda terbiasa menikmati musik-musik tekno dengan tuntunan musik oleh para DJ, maka Anda bisa menyambangi beberapa klub yang juga berdiri di Jakarta, Surabaya dan Semarang. Anda ingin musik hidup dengan opsi minta lagu serta bermain bola sodok tapi dengan atmosfer menengah ke atas dan usia dewasa, maka Anda bisa menghabiskan waktu di sebuah klub di Hotel Grand Hyatt Residence Yogya. Bila Anda berlibur bersama putra putri berusia remaja, jangan ragu-ragu, ajak mereka ke diskotek yang terletak di Hotel Ambarukmo atau berka- raoke ria.

Sayangnya, tempat-tempat hiburan itu bila Anda mengeksplorasi Yogya bukan di akhir pekan, jelang pukul 02.00 WIB, sudah ringkes-ringkes untuk segera mengakhiri pertunjukan dan menyudahi fasilitas hiburan. Hal ini pernah SP alami beberapa waktu lalu, ketika semua pengunjung sudah beringsut pergi dan kami berempat masih senyum-senyum berpenampilan segar dan dengan antusias meminta beberapa lagu kepada band di panggung untuk dinyanyikan, sang vokalis dengan senyum-senyum dengan nada setengah menasihati berkata, “Besok lagi saja ya….Ini kan sudah jam dua lebih. Anda sebaiknya istirahat. Tidur saja biar besok pagi bisa bangun lebih segar dan siap beraktivitas.”

Kalimat itu kami terima sebagai indikasi bahwa kontrak manggung band itu memang hanya sampai jam 02.00. Kami pun beralih menuju tempat karaoke. Ternyata lebih parah. Tidak ada tanda ringkes-ringkes, karena pintu tempat karaoke sudah rapi tertutup rapat.

Bagaimana bila mata Anda masih melek dan tubuh pun masih bugar seperti yang SP alami? Tidak ada pilihan lain memang selain berwisata kuliner. Menu-menu apa yang bisa dinikmati hingga jelang pagi? Tentunya ini merupakan pilihan sulit. Apalagi bila Anda tidak hapal jalanan di Yogya. Bila Anda menyewa mobil, belum tentu juga supir mobil sewaan ini bisa memberi rekomendasi tempat-tempat yang lumayan untuk menghabiskan waktu di kota pelajar itu hingga pagi. Bakmi Kadin, Bakmi Mbah Mo, warung Cak Koting, semuanya sudah bersih-bersih pada pukul 02.00 WIB. Berdasarkan pengalaman tersebut membuat kami akhirnya pasrah, selepas jam 02.00 ya balik ke kamar hotel.

Karenanya ketika SP berkesempatan ke Yogya lagi, dengan pengalaman yang ada, jelang tengah malam sebaiknya balik ke kamar hotel, meringkuk manis di balik selimut.

Tungku pemasak berbahan kayu bakar.

Foto-foto: SP/S Nuke ErnawatiPintu gudeg pawon tertutup rapat sebelum jam buka.

Gudeg Pawon

Beruntung, Senin (3/12) saat ke Yogyakarta, SP berkenalan dengan Bani Saksono. Pria asal Yogya ini, tentu saja sangat menguasai penjuru kota. Dia pun memandu kami ke beberapa tempat yang masih bisa dieksplorasi hingga jelang pagi. Semula kami hendak menuju alun-alun selatan tempat dua pohon beringin yang dikeramatkan berada. Entah berapa puluh kali saya menghabiskan malam di alun-alun itu, jagung dan roti bakar dengan segelas wedang ronde hangat plus nyanyian pengamen, menjadi menu biasa selama bertahun-tahun. Tempat publik itu memang masih ramai hingga jelang pagi. Hujan yang mengguyur deras, tentu saja mengurungkan niat kami bersembang bincang di alun-alun. Bani pun menyarankan kami menyantap Gudeg Pawon yang terletak di Jalan Janturan.

Jarum jam masih menunjukkan pukul 23.00 WIB ketika itu, butir-butir besar air hujan terus berjatuhan. Kami pun sampai di Jalan Janturan. Cuma ada tulisan tipis dari bolpoin berwarna hitam di atas karton kecil lusuh seukuran sekitar 20 cm x 10 cm dengan potongan yang tidak rata, bertanda panah dan bertuliskan, “Gudeg Pawon Buka 23.30” , yang tertempel di kayu tepi gang kecil. Tanda panah tipis di karton, menunjuk gang kecil sebagai lokasi Gudeg Pawon.

Merasa tanggung meninggalkan lokasi, kami pun memilih memasuki gang dan langsung ngeh bahwa itulah tempat penjual gudeg yang kami tuju, ketika di depan sebuah rumah sederhana dengan pintu kayu model rumah kuno dan tembok lusuh, terdapat beberapa bangku panjang layaknya warung. Pintu kayu masih tertutup rapat dan pada tembok tertulis “Buka 23.30” dengan huruf agak besar dan ditulis dalam cat minyak warna hitam.

Makin yakinlah kami, bahwa itulah tempat yang kami tuju, tepat ketika Bani mulai meragukan daya ingatnya. Maklum, selama bertahun-tahun pria itu bermukim di Jakarta. Tak berapa lama belum ada 30 menit, kursi panjang di gang itupun mulai dipenuhi pengunjung. Satu-satu berdatangan di tengah hujan yang makin lebat. Namun pintu kayu masih tertutup, sepintas terdengar adanya kegiatan memasak di balik pintu. Jelang pukul 23.30 WIB, pintu kayu itupun terbuka. Kami pun heran ketika beberapa pengunjung yang tadinya duduk di bangku, langsung bergegas memasuki ruangan dan antre.

Sikap gegas ini seperti layaknya sikap ketika seseorang tak ingin keduluan. Kami pun masuk ke ruangan berlantai tanah dan di dalamnya terdapat beberapa wajan berukuran besar yang diletakkan di atas tungku kayu yang menyala. Bau kayu yang terbakar menggiring wajan berisi gudeg dan tempat menanak nasi yang terbuat dari bambu itu mendidih, mengeluarkan uap, menguar memberikan aroma khas kayu bakar dan masakan. Aroma dapur desa. Inilah Gudeg Pawon. Pawon dalam bahasa Jawa berarti dapur. Jadi tepat bila dinamai Gudeg Pawon, karena penyajian dan penyantapannya dilakukan di dapur.

Seorang perempuan berkebaya dengan rambut berwarna putih, mengambil piring, menyendok nasi dengan sendok terbuat dari potongan batok kelapa. Kemudian ‘mencubit’ sejumput gudeg, menyiram dengan sambal goreng krecek dan mengambil opor ayam dan telur sesuai pesanan. Seporsi gudeg berharga rata-rata Rp 10.000 (tergantung lauk) itu pun siap di tangan. Hanya dengan alat makan sendok, saya pun menyantap gudeg itu. Terbiasa dengan gudeg yang manis, saya pun agak heran dengan Gudeg Pawon racikan Mbah Prapto Widarso (72) yang diracik tidak semanis gudeg Wijilan dan Kranggan langganan saya. Namun yang paling pas di lidah adalah sambal goreng kreceknya yang pedasnya terasa.

Bila di Wijilan dan Kranggan, gudeg komplet itu disajikan kering dan semuanya rasanya manis, bahkan untuk menu bernama sambal goreng, maka di Mbah Prapto, semuanya agak basah dengan rasa yang tersegmentasi. Gudeg manis sedang, sambal goreng krecek yang pedas terasa dam opor ayam yang gurih.

Dengan bahasa Jawa krama inggil yang terbata-bata, saya pun berbincang dengan Mbah Prapto Widarso yang berjualan Gudeg Pawon sejak tahun 1957. “Tadinya saya baru buka jam 03.00 WIB pagi. Tapi karena yang beli lama-lama datang sebelum jam 03.00, akhirnya saya buka jam 23.30 WIB,” katanya yang semula mengkhususkan menyediakan menu gudeg pagi-pagi untuk para pekerja malam yang pulang pagi atau mereka yang berdagang di pasar pagi. Tuntutan pelanggan yang ternyata sebelum jam 03.00 sudah menunggui dapur-nya, membuat Mbah Prapto yang dari tahun 1957 meracik sendiri masakannya itu, buka makin awal.

Ditanya apa keunggulan yang dia tawarkan dari menu gudeg kompletnya, Mbah Prapto mengatakan,” Kalau ingin makan gudeg panas-panas, ya di sini (Gudeg Pawon),” ucapnya. Soal gudegnya yang tidak berasa manis dia menambahkan, semua masalah selera. “Saya sukanya tidak terlalu manis dan ternyata banyak juga yang suka.”

Hal lain yang membedakan Gudeg Pawon, Anda tidak mendapatkan blondo (sari santan kelapa kental yang berasa gurih). Ini karena kata Mbah Prapto, gudegnya sudah gurih, jadi tidak perlu blondo. “Kalau yang gudegnya manis, memang harus ada blondo biar tidak enek,” katanya.

Tak heran Yogyakarta dijuluki Kota Gudeg, karena memang ada banyak ragam racikan dan rasa gudeg. Akhirnya kami pun menghabiskan larut malam jelang pagi, dengan bersembang di Gudeg Pawon. Jelang dini hari, silih berganti pengunjung terus memenuhi dapur gudeg itu. Hujan juga masih mengguyur. Pas benar, gudeg panas-panas disantap di kelam hujan bersama teman.[SP/S Nuke Ernawati]