Cirebon merupakan salah satu tujuan wisata di Jawa Barat yang kaya akan destinasi sejarah tentang kejayaan kerajaan Islam. Kisah para wali terpartri di kota ini. Mulai dari komplek Makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung sekitar 15 km ke arah barat pusat kota, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid At Tagwa, dan keistimewaan Keraton Cirebon yang menjadi simbol kejayaan kerajaan Islam.

Cirebon mempunyai empat keraton sekaligus di dalam kota, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. Semuanya memiliki arsitektur gabungan dari elemen kebudayaan Islam, Cina, dan Belanda. Ciri khas bangunan keraton selalu menghadap ke utara dan terdapat sebuah masjid didekatnya.

Dan wisata religi yang paling fenomenal di Cirebon adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau disebut Masjid Merah, karena sebagian besar dindingnya berwarna merah dan masih asli. Peninggalan berharga Sunan Gunung Jati. Arsitektur bangunannya amat khas, dindingnya yang merah mencirikan corak kebudayaan Hindu masih tetap dipertahankan.

Masjid Sang Cipta Rasa memiliki keunikan tersendiri dengan adanya tradisi “Azan Pitu”. Setiap hendak salat Jumat, 7 orang muazin akan mengumandangkan azan secara bersamaan. Tradisi ini telah dilakukan sejak lima ratus tahun lalu. Dahulu, azan pitu disuarakan setiap waktu shalat, namun kini hanya dilakukan saat shalat Jumat saja, pada azan pertama.

Tidak ada riwayat tertulis yang bisa menjadi acuan sejarah dan alasan Sunan Kalijaga memulai tradisi azan pitu. Satu-satunya sumber, hanyalah cerita lisan turun temurun dari pengurus masjid.

Konon katanya, tradisi azan oleh 7 muazin berawal dari adanya wabah penyakit yang melanda jemaah masjid di awal pendiriannya. Tradisi 7 azan ini diwariskan oleh Sunan Kalijaga saat mengusir wabah tersebut.

Menurut cerita selanjutnya, masjid ini berkaitan erat dengan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati memohon izin untuk membuat pasangannya di Cirebon. Maka Masjid Agung Demak mempunyai watak maskulin, sedangkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini sebagai feminim.

Perbedaan mendasar masjid ini dengan masjid-masjid yang dibangun para wali lainnya adalah bentuk atapnya limasan dan di atasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Selain azan pitu, tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan yakni khotbah yang menggunakan bahasa Arab.

Kegiatan di masjid selalu ramai oleh peziarah ketika malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Biasanya mereka datang untuk berzikir dan tirakat malam. Sebagian percaya akan berkah yang lebih jika melaksanakan ibadah di masjid wali ini.

Sumber: Majalah Travel Club