[Foto-foto: Pembaruan/ Aa Sudirman]Permainan  Baramasuen atau Bambu Gila di pantai

“Ah yang benar. Coba aku lihat. Lho iya ya. Kok saya baru tahu, ” kata seorang jurnalis Ibu Kota sambil melihat lembaran uang Rp 1.000. Kepalanya kemudian bergerak ke arah gunung yang menjulang di hadapannya.

Siang yang agak panas saat itu. Di sebuah restoran di Kota Ternate, Maluku Utara (Malut) beberapa waktu lalu. Tangan jurnalis itu memegang uang Rp 1.000. Kemudian ia berulangkali mengarahkan pandangannya ke arah pulau kecil di seberangnya. Pulau Maitara dan Tidore. Itu yang tertera di uang Rp 1.000 dan pemandangan nyata, terhampar di depan. Pemandangan di tempat itu memang indah. Awan tipis terlihat melintas di atas danau yang terdapat di pulau itu.

Tapi Ternate dan daerah lainnya di Malut bukan hanya memiliki pulau itu. Begitu banyak pemandangan indah di provinsi itu. Tidak salah jika Gubernur Malut, Thaib Armayn berani mengatakan, “Kami punya banyak potensi wisata menarik. Bukan hanya benteng-benteng kuno peninggalan Portugal dan Belanda. Lihat laut dan pulau-pulau kami yang indah.”

Bukan basa-basi. Itu kesan sejumlah jurnalis dalam dan luar negeri yang belum lama ini mengunjungi provinsi muda itu dalam program kerjasama Pemprov Malut dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Programnya diberi nama Fam Trip.

Fam Trip, istilah yang belum begitu popular itu kepanjangan dari Familization Trip. Terjemahan bebasnya, perjalanan untuk memperkenalkan dan mengakrabkan suatu tujuan wisata baru.

Malut bukan hanya Ternate yang kaya dengan peninggalan-peninggalan kuno. Bukan hanya benteng dan istana Kesultanan Ternate yang unik. Bukan hanya kemegahan Gunung Gamalama yang bisa dilihat dari hampir semua wilayah Kota Ternate.

Data yang ada di Pemerintah Provinsi Malut menerangkan kekayaan wilayah itu. Malut punya 395 pulau besar dan kecil. Sebanyak 64 pulau lainnya belum dihuni. Luas keseluruhan provinsi itu 140.255,36 km persegi. Data yang harus mendapat perhatian ialah, 72,27 persen luas wilayahnya ternyata merupakan daerah perairan laut. Artinya, wilayah yang ada kaitannya dengan laut, jauh lebih luas dan lebih banyak daripada daratan.

Selain Pulau Halmahera yang merupakan pulau terbesar di provinsi itu, terdapat pula Pulau Obi, Taliabu, Bacan dan Morotai. Salah satu unggulan Pemprov Maluku ialah Pulau Guraici dan Lelei.

Peta posisi Pulau Guraici yang berada di Selatan Ternate.

Kebun Kecil

Guraici berarti kebun kecil yang hanya seluas tujuh hektare. Menurut beberapa penduduk yang ditemui di Pulau Lelei, di masa lalu di kawasan itu banyak sekali kebun cengkih, pala dan rempah-rempah lainnya. Rempah itu yang mengundang para pedagang dari Portugal, Spanyol dan Belanda, bertarung memperebutkan penguasaan wilayah tersebut sejak abad ke-13.

Jangan lupakan, cengkih dan lada adalah barang sangat berharga dan mewah bagi penduduk Eropa. Maka berlayar dan berperanglah para pedagang itu, masuk ke wilayah yang sekarang merupakan bagian dari Malut dan Maluku.

Pulau Guraici dan Lelei terletak di Kecamatan Kayoa, Kabupaten Halmahera Selatan, Malut. Keberadaan pulau itu belum banyak dikenal orang luar Malut. Di peta yang terdapat di beberapa tempat di Malut pun kedua pulau itu tidak terlihat. Baru di peta yang terdapat di kediaman Gubernur Malut dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Malut, kedua pulau terlihat. Kecil saja. Jika melihat peta itu, letak kedua pulau terdapat di Selatan Kota Ternate.

Kedua pulau itu seolah berhadapan. Namun berbeda dengan Pulau Lelei yang berpenghuni, Pulau Guraici sama sekali tidak berpenghuni. Mungkin hanya binatang saja yang terdapat di pulau itu.

Tapi daya pikatnya jelas kuat. Tidak salah jika Gubernur Malut menyebutkan bahwa kepulauan tersebut akan menjadi salah satu unggulan wisata daerahnya. Pasir putih bersih. Terumbu karang, beragam jenis ikan karang, rumput laut dan hutan mangrove. Wisata bahari sangat mungkin berlangsung di tempat itu. Baik untuk yang mau snorkling maupun punya kemampuan dan keinginan melakukan diving. Memancing juga sangat mungkin. “Saya pikir pulau-pulau ini lebih indah daripada kawasan Bunaken. Sayang fasilitas pendukungnya belum tersedia,” kata Isabela Farenholc, editor majalah Glamour dari Polandia yang beberapa hari sebelumnya mengunjungi kawasan wisata bahari Bunaken di Sulawesi Utara

Tapi pulau itu memang belum mempunyai sarana pendukung. Dari rencana pembangunan Malut, turis tampaknya akan diarahkan untuk menikmati Pulau Guraici. Untuk kepentingan penginapan, restoran dan lainnya bisa didapat di Pulau Lelei. Tenang saja, hanya butuh waktu 10 menit menuju Pulau Guraici dari Pulau Lelei.

Pasir putih, birunya laut dan hutan kecil di Pulau Guraici yang tak berpenghuni

 Wisatawan berlayar dari Pelabuhan Ahmad Yani, Ternate, menuju Pulau Guraici.

Persoalannya, justru terletak dari jarak tempuh dari Ternate menuju Pulau Lelei. Perlu waktu sekitar tiga jam menembus lautan sekitar 88 km dari Pelabuhan Ahmad Yani, Ternate menuju dermaga di Lelei.

Jarak dan rentang waktu mungkin bukan persoalan besar bagi penikmat wisata bahari. Masalahnya mungkin akan menimpa wisatawan yang jarang berlayar apalagi menembus lautan. Mabuk laut bukan hal yang mustahil dialami.

Soal fasilitas, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Malut, Arief Armain, pasti sudah siap Juli tahun ini. Cottage-cottage sudah dibangun di Pulau Lelei. Prasarana lainnya sudah memasuki tahap akhir.

Lalu bagaimana dengan perjalanan dari luar Malut menuju Ternate? Itu masalah yang juga harus segera diselesaikan. Selama ini, wisatawan asing yang mendarat di Bandara Cengkareng harus menempuh perjalanan panjang sebelum mendarat di Bandara Sultan Babullah di Ternate. Jakarta-Makassar-Ternate. Belum lagi jenis sebagian pesawat dari Makassar ke Ternate yang biasanya adalah pesawat kecil dengan tempat duduk rapat. Bagi wisatawan asing yang berkaki panjang, itu jelas siksaan.

Persoalan lainnya tentu saja, kondisi bandara yang jauh dari memadai. Perbaikan memang tengah dilaksanakan. “Tidak akan lama lagi semuanya akan selesai. Landasannya juga tengah diperbaiki dan diperpanjang sehingga pesawat besar dari Denpasar atau Jakarta bisa langsung mendarat di Ternate,” jelas Arief.

Apapun, yang harus mendapat catatan penting ialah, Malut memang sudah tenang. Sama sekali tidak ada bekas konflik yang beberapa tahun lalu sempat menyentuh sebagian kawasan Malut. Jika keamanan sudah tidak ada masalah, dan fasilitas sudah tersedia, maka tidak ada alasan bagi wisatawan untuk segera berlibur ke Malut. Dalam bahasa setempat, Mari Baronda ke Malut. Mari berkunjung ke Malut. [Pembaruan/Aa Sudirman]