Andai Ku Gayus Tambunan/ Yang bisa pergi ke Bali/ Semua keinginannya/ Pasti bisa terpenuhi/ Lucunya di negeri ini/ Hukuman bisa dibeli/ Kita orang yang lemah/ Pasrah akan keadaan.

Tentu masih terngiang dalam benak kita lirik lagu “Andai Ku Jadi Gayus Tambunan” yang diciptakan dan dinyanyikan sendiri oleh Bona Paputungan, musisi asal Gorontalo. Tentu kita juga akan setuju, menyimpulkan bahwa karya tersebut merupakan wujud perlawanan seorang tahanan terhadap ketidakadilan dalam konteks kekinian.

Jauh sebelum ini, Bung Karno beberapa dekade lalu ketika menjadi tahanan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung pun menyuarakan ketidakadilan untuk bangsa ini.

Sang Proklamator itu terus melawan dari balik tembok penjara melalui penanya menuliskan pledoi (pembelaan) demi mendapatkan keadilan dalam persidangan. Di kamar TA (Blok Timur Atas) 01 Soekarno ditahan atas tuduhan yang sengaja dicari-cari dan kelak dibenarkan Landraad Belanda di Bandung pada 22 Desember 1930. Di kamar itu mantan presiden pertama Indonesia menulis pledoi yang sangat terkenal; “Indonesia Menggugat”.

Bung Karno secara tajam membahas kejahatan imperialisme dan kolonialisme di dunia, khusunya di Hindia-Belanda. Rakyat Indonesia diperlakukan secara kejam dengan wajib tanam, dan jikapun diberikan upah, sangatlah kecil, yakni “segobang” (2,5 sen) sehari. Padahal, pendapatan Hindia-Belanda dari perusahaan swasta sangat besar. Inilah sepenggal kisah perjuangan bapak pendiri bangsa sehingga Sukamiskin layak menjadi salah satu destinasi wisata sejarah.

Lapas di Jalan A.H Nasution Bandung, Jawa Barat ini memang bukan rumah tahanan (rutan) sembarangan, dan barangkali satu-satunya yang terbilang layak bagi para penghuninya. Setiap tahanan berhak atas ruangan 2 x 1 meter tanpa harus berbagi dengan tahanan lain. Penjara dengan sejarah cukup panjang ini dibangun 1817 oleh Pemerintahan Belanda dengan luas lebih dari 2 hektar.

Bangunan dengan bentuk trapesium dua lantai menjadi tempat tahanan politik semasa Belanda berkuasa. Sejak ditangani pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan, secara fisik bentuk bangunan LP Sukamiskin tidak banyak mengalami perubahan, kecuali bangunan tambahan kantor sipir dan kepala LP, serta patung seorang ibu sedang menggendong anaknya, di halaman depan gedung.

Awalnya wisatawan yang bertandang hanyalah komunitas pemerhati sejarah karena harus melalui prosedur sangat rumit dan jadwal yang ketat. Setelah resmi sebagai salah satu tujuan wisata sejarah pada Juni 2010 oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, masyarakat umum bisa berkunjung ke penjara tersebut setiap saat. Program ini merupakan pertama kali di Indonesia.

Pengunjung bisa merasakan langsung atmosfer sejarah kamar Bung Karno yang sengaja dibiarkan kosong oleh pengelola penjara. Di dalam, sejumlah buku-buku koleksi Soekarno maupun buku yang bercerita tentang pemikiran brilian Bung Karno terpajang rapi, meski jumlahnya tidak banyak. Selain itu, ruang ini juga berisi sebuah kursi dari rotan, ranjang lipat dengan toilet duduk di bawahnya, serta tempat makan alumunium yang pernah dipakai oleh tahanan zaman itu.

Selain sejarah perjuangan yang dapat dipetik, wisata sejarah di Sukamiskin akan memberikan pendidikan luar biasa bagi setiap individu yang berkesempatan masuk ke dalam gedung yang dijaga ketat ini. Mengetahui betapa tersiksanya menjadi seorang tahanan menjalani malam-malam kelam sendirian. Melepas lelah setelah seharian bekerja secara paksa tanpa sanak keluarga dan kolega.

Paling tidak kita akan berpikir seribu kali untuk melakukan segala tindak kejahatan yang bisa menghantarkan kita ke penjara. Tentu kita tidak mau status sebagai tahanan melekat pada diri kita bukan? Namun, lain halnya dengan Bung Karno. Menjadi tahanan justru karena perjuangan membela kebenaran. Seperti itulah pengorbanan pendiri bangsa kita yang bisa diketahui dari surat yang ditulis untuk saudara sebangsa di luar tembok penjara.

Sejak masa Bung Karno, rutan ini memiliki sebuah percetakan yang mempekerjakan para terhukum. Sampai detik ini percetakan itu masih beroperasi sebagai pembinaan para tahanan. Wisatawan akan diarahkan juga meninjau percetakan penjara. Begitu memasuki ruangan yang memanjang ini seolah berada pada sebuah museum percetakan. Puluhan koleksi mesin cetak kuno dengan berbagai merek dari Eropa berjajar rapi.

Sukamiskin ternyata hanya sebuah nama, tanpa merujuk kepada kemiskinan dengan makna sebenarnya. Bahkan mungkin penjara peninggalan Belanda ini merupakan satu-satunya yang memiliki fasilitas di atas rata-rata. Wisatawan bisa melihat pula bagaimana gereja dalam penjara lengkap dengan sebuah piano untuk mengiringi setiap kebaktian. Masjid di seberang blok pun tampak begitu megah.

Belum lagi sebuah perpustakaan yang begitu rapih dan peralatan audio visual yang dapat dinikmati oleh setiap napi yang ingin memperdalam pengetahuan. Semua ini menjadi bagian dari tur penjara di Sukamiskin. Dan sebelum menghirup udara bebas ke luar pintu penjara, para wisatawan akan menjadi bagian dari sejarah dengan suguhan film dokumenter tentang keberadaan Penjara Sukamiskin dari semula hingga kini.

Maka pelajaran yang bisa diambil hikmahnya dari wisata sejarah ini, bahwa senyaman-nyamannya hidup dalam tembok penjara, jauh lebih nyaman menikmati hari-hari bebas di tengah keluarga.

Surat Bung Karno dari Sukamiskin
Sukamiskin, 17 Mel 1931

Saudaraku!
Baru sekarang saya menulis dari Sukamiskin, karena orang tangkapan hanya boleh berkirim surat sekali dalam dua minggu. Sesudah masuk ke dalam rumah kurungan, hampir semua yang saya bawa dari rumah tahanan di Bandung, diambil. Setiap hari saya mesti bekerja keras. Malam hari, badan sudah letih sehingga belajar pun tak ada hasilnya. Sukamiskin tak lebih daripada rumah kurungan, dan saya ini adalah orang hukuman, yang mesti menyembah larangan dan suruhan, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya. Orang hukuman tiada lain daripada seekor binatang ternak; orang hukuman menurut Nietzche, ialah orang yang dijadikan manusia yang tidak mempunyai kemauan sendiri, seperti binatang ternak. Namun demikian, hatiku tinggal tetap; tak pernah saya melupakan suara hatiku. Bukankah Sir Oliver Lodge telah mengajarkan “No sacrifice is wasted,” atau dalam bahasa Jawa “Jer basuki mawa beya.”

Sumber: Majalah Travel Club