Taman Nasional Gunung Leuser, termasuk taman yang terbesar di Asia Tenggara. Luasnya sekitar 800.000 hektar, membentang dari Propinsi Sumatera Utara sampai Aceh. Begitu luasnya, hingga letaknya terpencar jauh. Seperti Pusat Rehabilitasi Orang Utan, terdapat di Bahorok, Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumut. Sedangkan Pusat Rehabilitasi Satwa Langka, berlokasi di Sikundur, Besitang, Sumut. Terakhir, Pusat Penelitian Alam, di Katambe, Aceh Tenggara.

Dari ketiga obyek wisata alam Leuser ini, yang paling menawan adalah Gurah, Katambe. Obyek wisata yang terletak 25 km dari Kutacane, ibukota Kabupaten Aceh Tenggara ini adalah belantara perawan. Hutan ini telah dilestarikan sejak era kolonial tahun 1930. Lalu diumumkan sebagai hutan penelitian pada tahun 1974. Baru pada tahun 1980, Lawe Gurah ini dibuka sebagai hutan wisata.

Lokasi Katambe sekitar 450 km dari Medan. Lokasi ini bisa dicapai dengan mobil kurang lebih tujuh jam. Rute lain yang bisa dilalui adalah Takengon – Blangkejeren, Aceh Tengah. Dua rute jalan menuju ke Katambe ini, hampir seluruhnya lereng gunung terjal, penuh tikungan tajam, dan berliku-liku. Bahkan, rute Takengon dan Blangkejeren, untuk truk dan bus besar sama sekali tak bisa lewat, karena badan jalan yang kecil.

Pemandangan sepanjang jalan menuju Lawe Gurah, Katambe bukan main eloknya. Karena pertimbangan praktis, saya memilih rute Medan – Brastagi – Katambe. Begitu 45 km lepas dari hiruk pikuk kota Medan, panorama perkebunan menghampar sepanjang jalan Brastagi dan Kabanjahe. Di mana-mana tampak kebun bunga, kentang, kol, jagung yang tumbuh dengan suburnya. Dan di kejauhan, samar-samar terlihat puncak Gunung Sinabung dan Sibayak putih tertutup kabut.

Lepas dari kota Sidikalang, panorama berganti dengan lereng bukit terjal di kiri kanan jalan jurang menganga, memperlihatkan lembah landai yang menghijau di bawahnya. Makin dekat ke Kutacane, pemandangan kampung yang tenang dengan sawah dan kebun kelapa di sekelilingnya begitu enak dipandang. Sesekali, juga dipapasi rumah penduduk yang dibangun dari kayu dan batu.

Dan ternak yang dipelihara penduduk setempat, seperti kerbau dan sapi, bergerombol merumput di pinggir jalan. Ada juga babi-babi berkeliaran. Kabupaten Aceh Tenggara ini adalah wilayah heterogen. Di sini beragam etnis ada, Alas, Karo, Gayo, Kluet dan orang Aceh sendiri merupakan minoritas. Makanya beberapa kedai tuak juga terdapat di pinggir jalan.

Memasuki Lawe Gurah, Katambe, serasa menemui sebuah alam surga. Katambe merupakan hutan penelitian. Selama tiga puluh tahun lebih, silih berganti para ahli dunia menimba pengetahuan di hutan tropis ini. Para pelancong dilarang masuk ke Katambe, yang lokasinya berseberangan dengan Lawe Gurah, hanya dipisahkan oleh Sungai Alas.

Alam Lawe Gurah, Katambe memang perawan. Udaranya sejuk dan segar. Sungai Alas yang membelah kawasan itu cukup lebar, dengan airnya yang mengalir deras. Sungai ini dijadikan sebagai tempat rafting atau arung jerang terbaik di Indonesia. Bahkan kelompok pecinta alam Mapala UI pernah melakukan ekspedisi ke daerah ini di akhir 1990-an.

Nuansa keperawanan Lawe Gurah mulai terasa manakala memasuki hutan lindungnya. Banyak jalan setapak terbuka di dalam hutan, antara di sekitar jalan negara Balai Lutu dan Gurah. Sejak Gurah dibuka buat pecinta alam yang merindukan petualangan, jaringan jalan setapak di sana sudah lebih dulu dirintis.

Jalan setapak paling vital dimulai dari Lawe Gurah . Berjalan lambat di jalan tikus ini, setelah sekitar dua jam akan bertemu dengan air panas bumi berbelerang. Saking panasnya hot springs ini, membuat pohon-pohon di sekitarnya layu, dan asap putih tebal mengepul di atas dedaunan. Para pelancong yang membawa beras dan telur, dapat langsung memasaknya di atas air panas yang mengalir lancar ke hulu Sungai Alas. Landskap di sini amat indah. Hulu Sungai Alas tampak molek, dengan batu-batu cadas merah berhimpitan sebesar rumah dan ditumbuhi lalang.

Kekayaan Gunung Leuser
Beraneka flora tumbuh subur di Gunung Leuser. Hal ini disebabkan oleh letak Leuser yang berada 3.000 kaki di atas permukaan laut. Kegemburan tanahnya pun tinggi. Tak kurang dari 8.500 spesies tumbuh-tumbuhan hidup di sini. Banyak flora unik dan spesifik mekar di Leuser. Termasuk bunga raksasa Rafflesia (Rhizanthes), dan pohon Tualang (Kompassia Excelsa), serta pohon Semantuk (Hopea Sp) dan Meranti (Dipterocarp). Dalam satu hektar hutan Leuser Tersimpan 150 spesies tumbuhan.

Bunga Rafflesia yang tumbuh di permukaan tanah di Leuser, bisa mencapai 104 cm dengan berat sekitar 3 kg. Selain Rafflesia, juga terdapat aneka spesies anggrek, melati, dan mawar. Sebagian hutan Leuser juga menghasilkan tumbuhan yang dapat dimakan seperti umbi-umbian, biji-bijian, dan buah-buahan. Dari 100 spesies tumbuhan rambat di Sumatera, 70 di antaranya tumbuh di Leuser.

Ciri khas hutan dataran rendah Leuser ditandai pula dengan tumbuhan duri. Rumpun duri ini bergelantungan di pohon lain, jumlahnya mencapai 8 persen dari keseluruhan spesies tumbuhan di Leuser. Tumbuhan rambat lain di Leuser adalah rotan (Spiny Palms). Banyak rotan kuat dan tebal di sini, terkadang mencapai 100 m.

Di samping flora, belantara Leuser kaya pula dengan fauna. Sedikitnya terdapat 130 spesies mammalia menghuni hutan ini. Dan kebanyakan mammalia di Leuser adalah jenis kalong 15 spesies, kampret 13 spesies, dan tupai 17 spesies. Mammalia lainnya adalah Orang Utan (Pongo Pygmaeus). Orang Utan ini merupakan binatang paling populer di Leuser dan dikenal sebagai mammalia terbesar di dunia, beratnya bisa mencapai 80 kg.

Kini diperkirakan ada sekitar 5.000 Orang Utan yang hidup di Taman Nasional Gunung Leuser. Di samping itu, ada dua spesies kera Leuser yakni Beruk Ekor Panjang (Presbytis Thomasi), dan Lutung (Presbytis Cristata). Juga terdapat Cucang (Nycticebus Coucang), yang hidupnya di malam hari seperti Musang.

Sedangkan spesies binatang buas di Leuser juga terbilang kaya. Seperti Harimau Sumatera (Panthera Tigris), dan Macan (Neofelis Nebulosa), serta Srigala (Felis Bengalensis). Binatang-binatang itu bisa dijumpai pada ketinggian 1.800 m di atas permukaan laut.

Di Gunung Leuser ini juga terdapat 325 spesies burung. Di antaranya Merak (Buceros Rhinoceros), Manyar, Kakak Tua (Psittinus Cyanurus) Elang (Spilornis Cheela), Balam (Treron Vernans), Merbuk (Merops Leschenaulti), dan lain-lain. Dan yang tak kalah banyaknya di belantara Leuser adalah spesies kupu-kupu, belalang, dan kalajengking. Ini semua merupakan kekayaan alam yang mesti kita lestarikan bersama.

Hutan Lindung Gunung Leuser
Hujan lebat baru saja reda, ketika saya menjejakkan kaki di terminal kecil Bahorok, Bukit Lawang sore itu. Udara dingin sekonyong-konyong menggigilkan sekujur tubuhku. Mulanya, saya mengira dinginnya suhu di sini lantaran saya capek setelah menempuh perjalanan selama 3,5 jam atau sekitar 85 km dari Medan ke Bahorok, dengan sebuah VW tua.

Rupanya, makin jauh petang merambat, hawa kian dingin. Barulah saya teringat cerita rekan seorang staf di Dinas Pariwisata Sumut, kalau habis hujan begini, betapa membekunya udara di sini. Tapi saya sempat tercengang, saat dua teman bule saya, Ruud Milder dan istrinya Petra, sesekali mengeluh kegerahan. Rupanya bagi orang Barat yang terbiasa dengan iklim salju, sejuknya Bukit Lawang, yang tersohor dengan julukan ”Angin Bahorok” malah terasa panas.

Menjelajahi Bahorok, Bukit Lawang, ternyata melenceng dari hayalan saya sebelumnya. Saya berilusi, tengah memasuki bagian hutan lindung yang sunyi dan jauh dari keramaian. Rupanya, saya sedang berkunjung ke tempat pelesiran yang penuh sesak dengan pelancong lokal dan wisatawan asing. Bahkan jauh lebih ramai dari Danau Toba dan Brastagi, obyek wisata yang lebih dulu dikenal di Sumatera Utara.

Kebanyakan pelancong lokal yang tumpah ruah ke Bahorok, Bukit Lawang, datang berombongan, terutama para pelajar dan mahasiswa yang berlibur dengan berkemah di sana. Sedangkan wisatawan asing, sebagian datang mengikuti rombongan tour lewat travel agent. Selebihnya adalah rombongan turis hyppies yang datang sambil memanggul tas-tas besar.

Pada akhir pekan, Sabtu dan Ahad, Bahorok, Bukit Lawang, sangat ramai dikunjungi pelancong beserta keluarganya, hingga semua tepian sungai Bahorok habis dikavling untuk berjemur dan berenang, santai sambil makan-makan. Pengunjung yang masuk ke Bahorok, Bukit Lawang mencapai ribuan orang tiar hari. Sedangkan di musim liburan, arus pelancong yang datang jumlahnya berlipat-lipat.

Kebanyaka turis hyppies tinggal lama di Bukit Lawang. Meskipun di sana tak ada hotel berbintang, namun vila kayu dan batu yang dibangun berjejer di sepanjang Sungai Bahorok, Bukit Lawang, cukup lumayan untuk menginap. Apalagi seluruh penginapan ditata apik dan asri disertai taman yang indah.

Semua penginapan di sana didesain alami, sehingga amat unik dan khas, terasa menyatu dengan hutan lindung Gunung Leuser. Kesan alami tadi diperkuat oleh lokasi setiap penginapan dan restoran langsung menghadap Sungai Bahorok yang jernih dan berbatu. Dan para pelancong yang mau mandi langsung bisa terjun ke sungai.

Fasilitas lain yang disediakan untuk turis, di pintu masuk Bukit Lawang terdapat pasar kecil. Para penduduk setempat membangun kios-kios dan menjual barang-barang keperluan sehari-hari serta souvenir. Sebagai obyek wisata alam, bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Bahorok, Bukit Lawang memiliki aneka obyek indah dan bervariasi.

Terutama hutan lindungnya yang amat kaya pelbagai flora dan fauna, serta sejumlah satwa langka seperti Orang Utan, Burung Hantu, Burung Elang, dan Ular Cobra. Ada pula damar, rotan, dan pelbagai jenis anggrek liar dengan aneka warna yang lagi mekar.

Posisi hutan ini persis berada di kaki bukit, dan dikitari oleh lembah, sebagai kaki Gunung Leuser. Di Bahorok, Bukit Lawang terdapat tiga gua besar dan panjang. Yang paling sering dikunjungi pelancong adalah Bat Cave atau Gua Kampret. Panjang gua ini sekitar satu kilometer.

Di Bahorok, Bukit Lawang terdapat banyak Orang Utan seperti di hutan Kalimantan. Di sinilah pusat rehabilitasi Orang Utan didirikan, yakni di Taman Nasional Gunung Leuser. Bahkan di sini, Orang Utan dijadikan sebagai atraksi turis. Atraksi tersebut berlangsung dua kali sehari. Sesuai jadual makan Orang Utan, pukul 7 pagi dan pukul 5 sore.

Atraksi pemberian makan Orang Utan rupanya sangat digandrungi pelancong. Dan setiap hari, wisatawan berbondong-bondong mengunjungi Pusat Rehabilitasi Orang Utan. Untuk menuju ke sana, para pengunjung mesti menyeberang Sungai Bahorok dengan sampan kayu.

Lalu mendaki tanjakan bukit sepanjang setengah kilometer. Di atas bukit itulah gardu tempat Orang Utan. Menikmati pesona panorama lereng Bukit Lawang, Bahorok ini, ada rasa damai dan tentram mengaliri kalbu. Setelah melakukan sightseeing ini, serasa enggan saya pulang ke kota. Alam indah yang terhampar ini, sebuah landskap tak bercacat.(syamsul b. indrapatra/DokRep)