Foto-foto: Pembaruan/Aditya L Djono - Kompleks Ke'te' Kesu' dari kejauhan

MISTIS. Mungkin itu kesan yang seketika mencuat saat kaki menapaki anak tangga terakhir dan kepala melongok ke dalam tongkonan tua yang gelap dan berdebu. Gambaran jenazah yang disemayamkan di dalam tongkonan selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, menyergap benak, manakala mata tertuju di salah satu bilik kecil dengan balai-balai setinggi pinggang di sudut ruang dalam tongkonan.

“Di ruang situ biasanya jenazah disemayamkan,” tutur Gibson (32), yang memandu perjalanan menengok Ke’te’ Kesu’, sebuah desa tradisional kecil di Kabupaten Tana Toraja (Tator), Sulawesi Tengah. Kawasan yang terdiri dari delapan tongkonan induk, lengkap dengan lumbung beras di depan setiap tongkonan, memang menjadi salah satu tujuan wisata di Tator.

Lokasinya cukup memadai, hanya sekitar tiga kilometer dari jalan raya, atau 20 menit perjalanan dari Kecamatan Rantepao, salah satu pusat keramaian di Tator. Untuk menjangkaunya pun tak sulit. Pengunjung dapat menggunakan jasa mobil angkutan umum dari Rantepao atau menggunakan ojek.

Mendekati lokasi, kita disuguhi pemandangan tongkonan yang berjejer, di sela rimbunnya pepopohonan dengan latar depan hamparan sawah menghijau. Kita pun seakan dipaksa berhenti sejenak menikmati pemandangan nan asri tersebut, sebelum berjalan kaki memasuki kawasan Ke’te’ Kesu’.

Tiket masuknya pun tak terlampau mahal, Rp 5.000 untuk wisatawan domestik dan Rp 10.000 untuk turis asing. Sayang, tak banyak yang mengunjungi tempat itu. Dari buku tamu yang disediakan penjaga, tercatat tak lebih 20 orang pengunjung tiap hari.

Menurut Gibson, saat ini jumlah wisatawan yang berkunjung ke Tator menurun drastis, terutama sejak tragedi pengeboman di Pulau Bali pada 2002. Alhasil, suasana sepi sangat terasa. Siang itu hanya terlihat dua turis Jerman didampingi seorang pemandu. Sementara warga sekitar tak tampak.

Gibson menuturkan, saat wisatawan masih ramai, beberapa turis asing bahkan sempat tinggal di salah satu tongkonan. Tentu setelah terlebih dulu meminta izin kepada warga sekitar.

Saat mata menyapu ke semua penjuru, barulah tampak warga bersantai di rumah-rumah mereka yang letaknya di belakang barisan tongkonan. Sementara di belakang dan samping tongkonan paling ujung, tampak dua kios kerajinan dengan dua perajin menyelesaikan lukisan ukir di dalam kios masing-masing.

Deretan tongkonan (kiri) dan lumbung padi

Di Ke’te’ Kesu’, wisatawan dapat merasakan aroma kehidupan tradisional masyarakat Toraja. Tentu saja andalan wisatanya adalah deretan tongkonan, yang salah satunya konon sudah berusia sekitar 150 tahun. Salah satu penandanya, atap yang terbuat dari susunan bambu, sudah ditumbuhi tumbuhan liar. Tongkonan itulah yang sempat kami jenguk.

Suasana pengap memang terasa di dalamnya. Cahaya matahari hanya samar-samar masuk dari jendela kecil dari bilik di seberang sebelah depan, yang berseberangan dengan bilik untuk meletakkan jenazah.

Mencermati deretan tongkonan yang berjajar di Ke’te’ Kesu’, tampak puluhan tanduk kerbau disusun bergantung di depan setiap tongkonan. Sementara di dinding samping sebelah luar, tampak pula tulang rahang yang tersisa dari kepala kerbau. Semuanya itu menjadi penanda berapa banyak kerbau yang telah dikorbankan saat upacara kematian dilangsungkan.

Memang kerbau menjadi hewan korban saat kematian, di samping babi. Menurut kepercayaan setempat, arwah kerbau menjadi sarana transportasi bagi arwah orang yang meninggal saat menuju puya (surga) yang letaknya di sebelah selatan.

Tak mengherankan bila harga kerbau di Tator sangat mahal. Paling murah yang biasa digunakan untuk upacara kematian seharga tak kurang dari Rp 10 juta per ekor. Bahkan ada jenis kerbau yang harganya mencapai Rp 50 juta per ekor, yakni tedong bonga atau kerbau bule. “Kami menyebutnya kerbau mercedes, karena harganya yang mahal,” ujar Gibson.

Selain menikmati suasana tongkonan tua, pengunjung pun dapat melihat dari dekat para perajin yang membuat lukisan ukir kayu. Tober, perajin asal Kecamatan Makale menuturkan, turis umumnya menyukai proses pewarnaan kerajinan khas setempat, yang menggunakan pewarna dari alam.

Ada empat warna khas Toraja yang selalu menghiasi baik lukisan ukir kayu maupun kerajinan lainnya. Warna-warna itu adalah hitam sebagai lambang kematian yang menggunakan abu, merah sebagai lambang darah yang menggunakan bahan tanah, lantas kuning yang bermakna kesenangan dengan bahan dari tanah, serta warna putih sebagai simbol kesucian dengan bahan pewarna dari batu kapur.

Pembuat kubur batu memecah gunung batu dengan alat sederhana

Makam dan patung Sarungalo, bangsawan yang menghibahkan Ke'te' Kesu' menjadi desa wisata

Patung-patung jenazah yang dikubur di kubur batu di Ke'te' Kesu'

Kubur Batu Tertua

Di kompleks Ke’te Kesu’, pengunjung juga sekaligus dapat menengok kubur batu, yang letaknya sekitar 50 meter di belakang tongkonan.

Di ujung jalan setapak nan teduh menuju kubur batu, terdapat makam Sarungalo. Gibson menjelaskan, Sarungalo adalah seorang bangsawan yang disegani di Tator. Keluarga besar Sarungalo tinggal di Ke’te’ Kesu’, dan menghibahkannya untuk dijadikan desa wisata.

Karena tempat tinggalnya dijadikan desa wisata, ahli waris Sarungalo menerima 50 persen dari pendapatan tiket masuk, sementara sisanya diambil pemda setempat.

Sarungalo yang meninggal 15 tahun lalu, dikubur bersama istrinya dalam satu makam modern yang disebut patane. Makam itu tidak sama dengan kubur batu masyarakat Toraja pada umumnya, karena berbentuk rumah. Di atas pintu masuk, pengunjung dengan jelas dapat melihat patung Sarungalo berdiri dengan memakai jas warna kuning dan berpeci. Sebelum meninggal, Sarungalo pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja.

Seusai melihat-lihat makam Sarungalo, perjalanan berlanjut dengan menaiki bukit kecil, yang tingginya tak lebih dari 10 meter. Di sisi kiri jalanan berundak, terdapat bukit batu, yang dipenuhi dengan lubang-lubang. Di dalam lubang-lubang itu dengan mudah dijumpai tulang belulang dan tengkorak manusia terserak.

Saat kepala mendongak ke atas, tampak peti-peti kayu yang telah lapuk tergantung di langit-langit celah batu, dengan penyangga kayu. Dari dalam peti itu pun tulang belulang dan tengkorak tampak berserakan.

Menurut Gibson, kubur batu di Ke’te’ Kesu’ termasuk yang tertua di Tator. Usia kubur batu itu diperkirakan lebih dari 700 tahun.

Saat melangkah ke tempat yang lebih tinggi lagi di dalam bukit batu, dapat dilihat patung-patung kayu sebagai gambaran dari mereka yang telah dikuburkan di situ. Ada belasan patung yang ditempatkan di dalam sebuah celah kecil menjorok ke dalam, dengan pintu besi berteralis. Adanya pintu besi itu, jelas Gibson, untuk mencegah pencurian patung-patung kayu.

Kubur batu ini pembuatannya cukup rumit dan mahal. Martan Kararoh, seorang pembuat kubur batu di Kompleks Megalit Kalimbuang Bori’ menuturkan, untuk membuat satu kubur batu berukuran lebar dua meter, tinggi dua meter, dan kedalaman dua meter, butuh tempo 300 hari. Biaya untuk ukuran standar itu mencapai Rp 14 juta.

Tak mengherankan bila biaya terbesar bagi masyarakat Toraja adalah saat kematian. Bisa dibayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyiapkan kubur batu, puluhan ekor kerbau dan babi untuk kurban.

Pembaruan/Aditya L Djono