Pesta Rakyat masyarakat peladang di Tanah Parahyangan ini menjadi simbol ungkapan syukur kepada Sang Pencipta terhadap panen yang diperoleh. Tuntunan dan tontonan budaya berpadu serasi dalam gelaran Seren Taun.
Hari masih pagi ketika orang berbondong-bondong antusias datang ke Desa Pasir Eurih. Sinar matahari memancar lembut seolah menyambut perayaan puncak Seren Taun di Kampung Budaya Sindang Barang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Seren Taun berasal dari dua kata bahasa Sunda, Seren atau nyerenkeun yang artinya menyertakan, dan kata Taun artinya tahun. Seren Taun bermakna serah terima dari tahun yang dilalui ke tahun yang akan datang.
Seren Taun merupakan ritual adat masyarakat agraris, khususnya masyarakat peladang di Jawa Barat dan Banten. Terdapat beberapa daerah yang masyarakatnya masih melestarikan kekayaan budaya ini dengan rutin menggelar upacara serah tahun sekali dalam setahun. Seperti Desa Kenekes Baduy, Desa Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga di Kabupaten Garut, Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan di kampung Budaya Sindang Barang, Kabupaten Bogor. Seren Taun biasanya dilaksanakan pada 1 Muharam atau tahun baru Islam.
Pelaksanaan ritual adat Seren Taun lebih dari sekadar sebuah upacara menyambut tahun baru, ritual ini mengandung banyak arti bagi masyarakat yang melakasanakannya. Seren Taun merupakan sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki berupa hasil panen yang didapat. Selain itu, dalam ritual ini pun terangkai ucapan doa agar hasil panen dan kehidupan mendatang bisa lebih baik serta dijauhkan dari hal-hal yang menyulitkan.
Berdasarkan untaian sejarah, ritual ini merupakan tradisi turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda Pajajaran. Upacara Seren Taun dilaksanakan berawal dari pemuliaan terhadap Dewi Padi, dalam kepercayaan Sunda kuno bernama Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Setiap daerah memiliki keunikan masing-masing prosesi upacara ini, namun pada intinya sama yakni penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian dimasukkan ke dalam lumbung utama yang dalam bahasa Sunda disebut leuit indung dan lumbung-lumbung pendamping atau leuit pangiring atau leuit leutik.
Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk padi/bibit padi) yang suddh diberkati dan dianggap bertuah kepada para Pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Sejarah Seren Taun
Menurut hikayat, pada masa Kerajaan Pajajaran, Desa Sindang Barang memiliki peran yang cukup strategis dalam kehidupan masyarakat maupun pemerintahan kerajaan. Wilayah ini diyakini menjadi pusat atau tempat kegiatan yang bersifat keagamaan.
Sindang Barang sebagai pusat keagamaan didukung dengan bukti-bukti ditemukannya sekitar 60 titik sebaran situs purbakala, dari jumlah tersebut, sebanyak 33 diantaranya berupa bukit berundak yang digunakan sebagai sarana beribadah agama sunda yang berkembang pada jaman tersebut.
Pelaksanaan ritual Seren Taun pun tak lepas dari keberadaan Desa Sindang Barang. Diyakini upacara tersebut merupakan tradisi lokal yang lahir dari masyarakat desa ini, tak heran jika setiap kegiatan ini kental dengan nuansa keagamaan.
Seren Taun menjadi kegiatan rutin tahunan Desa yang terletak di sebelah Timur kaki Gunung Salak ini. Namun seiring perkembangan jaman kebiasaan ini makin dilupakan. Entong Sumawijaya seorang tokoh masyarakat yang peduli dan berperan dalam mengaktifkan kembali Seren Taun di Sindang Barang. Namun setelah beliau meninggal tahun 1971 upacara ini tidak pernah lagi dilaksanakan.
Baru kemudian, sekitar tahun 2006 Seren Taun kembali dilaksanakan. Dihidupkannya kembali tradisi lokal di Desa Sindang Barang tak lepas dari kepedulian besar Achmad Mikami Sumawijaya yang kini menjabat sebagai sang rama (tetua adat) di desa tanah kelahirannya ini.
Kegelisahan kang Maki, begitu pria ini biasa di panggil berawal dari tayangan sebuah televisi nasional tentang pergelaran gamelan sunda di Kota New York dengan seluruh pemain bukan orang Indonesia.
“Dari tayangan tersebut saya jadi berpikir. Kok malah orang lain yang peduli dan mau melestarikan budaya Sunda. Saya sebagai orang Sunda jadi tergugah. Saya pun memanfaatkan tanah seluas 2 hektar untuk dibangun sebagai perkampungan adat sunda,” kata Maki, berkisah.
Kerja keras pun dilakukan Mika untuk membangun sebuah kampung yang mencerminkan kehidupan masyarakat Sunda, Maki berkordinasi dengan budayawan-budayawan Sunda khususnya yang mengerti betul tentang budaya masyarakat Sunda Bogor.
“Saya juga meminta bantuan para budayawan sunda seperti Anis Djatisunda untuk menggali lebih dalam mengenai budaya masyarakat Sunda Bogor, karena mereka kan mengerti dan tahu tentang budaya Sunda termasuk menggali dari buku-buku kuno peninggalan Pajajaran,” kata Maki, menerangkan.
Selain mendirikan bangunan-bangunan tradisional Sunda, Maki juga perlahan menghidupkan kembali nilai-nilai dan tradisi masyarakat Sunda khususnya Sunda Bogor. Penyelenggaraan Seren Taun adalah salah satu dari sekian banyak adat dan tradisi yang kembali di hidupkan di sini.
Selain menghidupkan dan melestarikan nilai-nilai kehidupan yang mengandung kebajikan, tradisi Seren Taun juga menjadi even bagi pelestarian kesenian tradisional. Pada hari terakhir, setelah pelaksanaan acara puncak, ritual ini ditutup dengan pertunjukan kesenian tradisional.
Runutan Acara Seren Taun Sindang Barang
Satu yang menarik dan menonjol peserta ritual tradisi ini adalah pakaian adat sunda yang berwarna hitam dan putih. Bagi masyarakat Sunda Bogor, warna ini memiliki makna, hitam melambangkan aliran Kali Ciliwung yang berhulu di kawasan Puncak. Dan warna putih melambangkan Sungai Cisadane. Kedua aliran sungai inilah yang mengelilingi kehidupan masyarakat Sunda Bogor.
Dalam pelaksanaannya seren taun diselenggarakan selama tujuh hari berturut. Hari pertama dibuka dengan ritual Neutepkeun, sebuah ritual memanjatkan niat dan meminta agar acara Seren Taun berjalan lancar. Dipimpin Sang Rama dan Kokolot Panggiwa dilaksanakan di pabeasan (tempat menyimpan beras) Imah Gede.
Pada hari kedua dilaksanakan upacara Ngembang atau ziarah ke makam leluhur warga Sindangbarang yakni Sang Prabu Langlangbuana dan Prabu Prenggong Jayadikusumah yang berada di Gunung Salak. Ritual ini dipimpin Kokolot Panggiwa dan Panengen.
Menginjak hari selanjutnya dilaksanakan Sawer Sudat (sunatan) dan Ngalage bagi anak-anak di kampung Sindang Barang, dengan berpakaian adat lengkap serta duduk di atas jampana (tandu) yang dilaksanakan di alun-alun.
Pada Hari ke empat, Sebret Kasep pelaksanaan sudat (sunat) di Bale Pangriungan. Memasuki hari kelima digelar upacara Ngukuluan, yakni mengambil air dari tujuh sumber mata air, dimualai dari Imah Kolot. Perjalanan mengambil air dari sumber mata air ini diiringi dengan kesenian tradisional Angklung Gubrag.
Hari ke enam, Sedekah kue, Helaran, Nugel Munding, Sedekah daging, ada juga pertunjukan seni. Dilaksanakan pagi hari di alun-alun, sebanyak 40 tampah berisi aneka kue tradisional disiapkan, upacara dipimpin oleh kokolot, diawali dengan meriwayatkan sejarah leluhur Sindangbarang. Serta membacakan doa buat para leluhur.
Hari ketujuh atau hari terakhir diisi dengan Helaran Dongdang, Majiekeun Pare, Pintonan kesenian masyarakat berkumpul di kampung Sindangbarang dengan membawa dongdang (hasil bumi) dengan dihias aneka bentuk. Pawai Dongdang ini dilengkapi barisan pembawa Rengkong (padi) hasil panen, para kokolot, rombongan kesenian, dan sebagainya.
Rombongan bergerak menuju kampung budaya Sindangbarang untuk melaksanakan upacara puncak majiekeun pare ayah dan ambu ke dalam lumbung Ratna Inten. Beragam kesenian tradisional Sunda menjadi penutup pergelaran ini. Sampai jumpa pada Seren Taun selanjutnya.
Sumber: Majalah Travel Club
Recent Comments