loksadoJika ingin merasakan segala kebaikan alam, datanglah ke Loksado, pemukiman masyarakat Dayak-Meratus di hulu Sungai Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan. Selain alamnya yang asri, di sana juga terdapat rumah panjang suku Dayak (Balai Malaris), air terjun Haratai, Danau Bangkau, Bukit Kantawan dan pemandian air panas Tanuhi.

Masih banyak lagi objek wisata yang dapat Anda kunjungi. Tapi aktivitas paling menantang adalah bamboo rafting atau orang setempat menyebutnya balanting paring. Yakinlah, adrenalin Anda akan terpacu di tengah Sungai Amandit yang deras dan berbatu-batu.

Pengalaman itulah yang saya rasakan pertengahan Juni 2009 ini saat ”mencicipi” keelokan Loksado. Bersama seorang sahabat bernama Hajriansyah, kami bermobil menuju Loksado. Sebelum sampai ke sana, malamnya kami sudah sampai di Kandangan, ibukota Kabupaten HSS setelah menempuh perjalanan 133 km dari Banjarmasin.

Dari Kandangan, Loksado sudah dekat. Kami menginap di rumah Pak Burhanuddin Soebly, sastrawan Kalsel yang juga menjabat Kepala Seksi Pariwisata dan Budaya HSS. Dia telah mengontak joki lanting serta mencarikan kami seorang pemandu yang sekaligus berfungsi sebagai sopir cadangan.

Sekitar pukul 8.00 WITA, setelah menyantap ketupat Kandangan yang terkenal itu, kami mulai melaju menempuh jalur Kandangan-Batulicin. Kami melewati Desa Karang Jawa, yang pada masa gerilya merupakan basis ALRI pimpinan pejuang Hasan Basri. Markasnya yang tua masih berdiri di tepi jalan.

Selepas desa bersejarah ini, jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok, pertanda kami memasuki kawasan Pegunungan Meratus. Jalannya yang mulus, dengan hutan di kiri-kanan, membuat perjalanan 38 km itu sungguh tak membosankan. Kami sengaja membuka kaca mobil menikmati kesejukan alam Meratus.

Tak lebih dua jam, kami sampai di kawasan Loksado dengan berbelok ke kiri di sebuah simpang. (Jika lurus, itu arah ke Batulicin, pelabuhan laut terbesar di Kalsel). Loksado sebenarnya juga dipakai sebagai nama kecamatan yang terdiri atas beberapa desa seperti Malino, Tanuhi, Haratai dan Loksado sendiri yang terletak di jalan raya yang dibangun tahun 1990-an itu. Seturut Khadafi, sang pemandu, kami langsung menuju Loksado.

DI depan pasar Loksado yang terletak di tepi Sungai Amandit, perjalanan bermobil harus diakhiri. Di sana sudah menunggu Acun, sang joki lanting yang sudah dikontak Pak Burhanuddin sebelumnya. Kami berkenalan dan memanggilnya Julak (paman). Dia meminta kami segera bersiap. Saya mengganti celana panjang dengan celana pendek, membungkus ponsel, dompet, dan kamera dengan kantong kresek. Hajriansyah tetap bercelana panjang. Persiapannya memang tak seketat arung jeram berperahu karet, yang dilengkapi baju renang dan helm itu.

Sebagian barang kami biarkan di dalam mobil, yang kemudian diambil-alih Khadafi. Ternyata inilah fungsi penting sang pemandu: begitu kami start dari Desa Loksado mobil harus menunggu di Desa Tanuhi, tempat finish. Jarak kedua desa 12 km. Lewat darat cukup ditempuh setengah jam kurang, tapi lewat sungai 2,5 jam lebih! Jangan khawatir jika Anda tidak membawa kendaraan. Sebab dari Tanuhi, desa terdekat di gerbang kawasan, ada banyak ojek motor yang siap mengantar Anda ke tempat start di dermaga Loksado.

Apa yang disebut lanting paring tak lain rakit bambu; terbuat dari susunan batang bambu, diikat kuat, di tengahnya diberi tempat duduk. Biasanya, bagian ujung diikat meruncing menyerupai kepala kapal. Tapi lanting yang kami naiki sederhana saja, dan hanya terdiri atas 16 batang bambu. Julak Acun mengaku membuatnya agak tergesa sebab kabar dari Pak Burhanuddin baru diterimanya sore sebelumnya. Untuk diketahui, lanting yang dipakai dari Loksado, tak bisa lagi digunakan sebab tak mungkin membawanya balik menyongsong arus.

Arus Sungai Amandit memang tak alang-kepalang! Deras, liar, berbatu dan penuh jeram. Meski debit air mulai menyusut seiring datangnya musim kemarau, toh suasananya tetap menantang. Begitu melewati depan pasar Loksado, arus yang deras segera menyambut. Lanting yang tadi tenang segera bergermeretak seiring gemuruh air, membuat tubuh kami terbanting, susah-payah mencari keseimbangan. Sang Joki cekatan mengendalikan arah dengan sebatang galah bambu. Ia harus menghindari kepala lanting bertubrukan dengan batu jika tak ingin tersekat atau dipelintir arus. Untunglah Julak Acun sudah berpengalaman.

Perjalanan tak selamanya diseret arus, selalu ada bagian sungai yang tenang. Saking tenangnya, sang Joki harus mendorong lanting dengan galah panjangnya. Geraknya jadi lambat. Tapi saat tenang begitulah kami bisa menikmati alam. Saya mengeluarkan kamera dari bungkusnya. Kesempatan memotret alam yang sangat indah. Bukit-bukit berderet biru di kejauhan.

Di bukit terdekat terlihat ladang penduduk ditanami hortikultura seperti karet, kayu manis, kemiri, durian dan nangka. Juga palawija semacam jagung dan terong. Tak ketinggalan hutan bambu yang jarang ada di tempat lain. Bukit batu Kantawan yang seperti ditata secara manual, tegak elegan dengan latar pegunungan biru-kelabu.

Kepalang basah, saya terjun dari lanting. Gedebur! Bak pepatah, air yang tenang itu dalam, jadi kesempatan terjun bebas dan berenang-renang di sisi rakit yang pelan.

”Awas, ada buaya!” seru teman saya. Saya kaget. Julak Acun tertawa,”Sungai sini tak ada buayalah, kecuali di kuala dekat rawa.”
Teman saya itu hanya tersenyum kalem. Dia sengaja menggoda saya rupanya. Kami lalu berhenti di tepi sungai, beristirahat menikmati suasana lebih akrab, setidaknya suara burung terdengar lebih jelas. Pohon-pohon besar seperti bengkirai, tarab dan binjai, masih terlihat kokoh di tepi sungai, meski tak banyak. Saya ingin melihat pohon ulin alias kayu besi, tapi Julak Acun menggelengkan kepala. ”Sudah tak ada di sini,” katanya.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Tak jarang kami bertemu peladang dan penangkap ikan. Ada juga sejumlah kampung yang sepi di tepi sungai, seperti Mandahin dan Ntarlagi. Yang disebut kampung ini tak lebih tiga atau lima rumah saja, dihubungkan jembatan gantung atau cukup pakai lanting. Sebelum finish, kami melewati tugu Proklamasi, tempat Hasan Basri mengumumkan kemerdekaan RI.

Setelah itu, kami mendarat dengan selamat di tepian Desa Tanuhi, tak jauh dari pemandian air panas. Di sana Khadafi telah menanti. Kami lalu masuk ke kompleks air panas, memesan makan-minum di kafetaria, untuk akhirnya berendam berlama-lama. O, eloknya Loksado yang penuh berkah!

Dari Tradisi Petani Bambu

Aktivitas wisata balanting paring atau bamboo rafting, bermula dari tradisi petani bambu di Loksado. Mereka biasa menjual bambu ke kota Kandangan dengan cara mengikatnya dalam bentuk rakit lalu dihanyutkan di Sungai Amandit. Satu rakit biasanya terdiri atas 50-70 batang bambu yang disusun bertumpuk. Tak jarang mereka membawa hasil bumi lainnya seperti kulit kayu manis, karet, atau durian. Mereka berangkat berkelompok dan memilih saat air tidak surut.

Tentu saja waktu tempuh Loksado-Kandangan lebih lama. Kalau lewat darat, perjalanan hanya memakan waktu sekitar dua jam, perjalanan mengarungi sungai membutuhkan waktu dua hari dua malam. Tak heran mereka pun menginap di jalan, di kampung-kampung terdekat di tepi sungai.

Seiring pertumbuhan fasilitas wisata seperti hotel, cottage, restoran, dan lapangan tenis di Loksado, jumlah wisatawan kian meningkat. Balanting paring pun lantas diminati sebagai salah satu atraksi wisata. Para petani atau pedagang bambu yang terlatih itu pun memiliki ”tambahan” profesi. Mereka ramai-ramai menjadi joki, dan bahkan menghimpun diri dalam sebuah organisasi resmi: Persatuan Joki Lanting.

Hasil menjadi joki pewisata yang melakukan balanting paring itu lumayan juga. Dalam sebulan, seorang joki bisa mengantar tiga atau lima trip wisatawan. Tarifnya Rp. 200.000 untuk rute pendek (Loksado-Tanuhi), waktu tempuh 2,5 jam; rute sedang Rp. 300.000 (Loksado-Muara Hatip), 3 jam waktu tempuh; dan sistem borongan untuk rute panjang Loksado-Kandangan, dua hari dua malam.
Namun rute panjang secara resmi hanya ada sekali setahun, yakni bulan Desember saat debit Sungai Amandit meningkat drastis. Secara kebetulan, Desember juga peringatan hari jadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Maka jadilah Dinas Pariwisata dan Budaya daerah ini menyelenggarakan event Festival Lanting. Lebih 50 lanting hias akan bertolak dari Loksado ke Kandangan, sambil mengarak pengantin balanting yang diiringi musik tradisional sepanjang sungai.

Acara utama festival tersebut adalah lomba balanting paring. Biasanya, ada tiga hal yang menjadi penilaian dalam lomba yang sangat menantang naluri petualangan seseorang. Yakni, bagaimana kemampuan peserta dalam menaklukkan derasnya jeram dari Loksado sampai ke Kota Kandangan, bagaimana kekompakan peserta dalam mengarungi jeram, dan bagaimana cara peserta menjaga lanting alias rakit mereka yang dihias hingga sampai garis finish yang ditentukan. Seru sekali.

Selain itu, mungkin karena kekhasannya, masyarakat Dayak di Loksado memiliki sebuah tarian bernama Balanting Paring yang terinspirasi dari aktivitas menghela bambu di sungai. Tarian itu biasanya dibawakan pada perayaan-perayaan masyarakat setempat. Yang pasti, tak keliru jika keelokan Loksado masuk daftar kunjungan Anda.

Sumber: Suara Merdeka