Foto-foto: Agus Dermawan TSeni kaca patri karya seniman Singapura.

Dalam rangka menjadikan wilayah Jakarta Kota sebagai Kawasan Wisata Kota Tua, gedung De Javasche Bank di Jalan Pintu Besar Utara semakin diutuhkan sebagai Mu- seum BI (Bank Indonesia). Pengarah proyek ini, Deputi Gubernur BI Bun Bunan EJ Hutapea lantas menginstruksikan perbaikan dan konservasi panil-panil kaca patri yang ada di situ. Konservasi diserahkan kepada Eztu Glass Art pimpinan Brian Yaputra.

Kecantikan kaca patri Museum Bank Indonesia itu lalu bersanding dengan pesona kaca patri yang ada di berbagai bangunan kuno di dekatnya. Kilau pesona seni kaca patri pun bakal menjadi bagian utama dari eksotisitas Kawasan Wisata Kota Tua.

Namun sesungguhnya seni kaca patri tak hanya tampak di gedung-gedung tua di Kawasan Wisata Kota Tua saja, karena kaca patri telah telanjur tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Seperti di banyak gedung antik peninggalan Belanda di kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya. Di rumah-rumah kampung di daerah Mojokerto sampai Banyuwangi. Sampai aneka bangunan di Jawa Tengah, dari rumah gaya limasan di pelosok Yogyakarta dan Magelang, sampai rumah gaya joglo di pojok-pojok daerah Jepara.

Bisa diduga apresiasi masyarakat atas seni kaca patri ini, terutama untuk daerah Jawa Tengah, dipengaruhi oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Di dua keraton ini, selain di daun jendela, seni kaca patri acapkali nampak pada lemari-lemari klasik yang biasa dipakai untuk menyimpan benda-benda berharga. Lemari umumnya ditaruh di tengah pendopo yang bisa dipandang oleh banyak orang.

Panil-panil

Seni kaca patri adalah seni rupa yang sejak awal dikonsep untuk bersekutu dengan arsitektur. Umumnya berbentuk panil-panil, yang di dalamnya merangkai kepingan kaca tembus pandang dan transparan berwarna-warna. Kepingan-kepingan yang tertata seperti mozaik tersebut disatukan oleh logam timah tipis. Timah-timah saling terhubung lewat teknik patri. Logam ini menjepit kaca-kaca itu sehingga setiap keping kaca terikat kuat pada susunannya.

Komposisi ini, dengan pengolahan ukuran dan sifat serta gradasi warna, bisa membentuk benda, hewan atau figur manusia. Seperti yang ditunjukkan oleh kaca patri di gereja-gereja yang melukiskan Yesus atau Bunda Maria. Atau yang hanya menghadirkan komposisi dekoratif, dengan ornamen-ornamen klasik dengan stilisasi bunga dan sulur tetumbuhan. Motif terakhir ini biasanya hadir di bangunan-bangunan Islamik seperti mushala dan masjid, atau rumah tinggal orang Muslim.

Pada sejarah mula, panil kaca patri dibuat dalam ukuran sejengkalan dan sejinjingan tangan belaka. Dengan bingkai kuat yang menjepit bagian paling luar sisi- kiri kanan dan atas-bawah, kaca patri ini nyaris menyerupai lukisan. Pada tahap kemudian panil ini diterapkan pada daun jendela, bilah pintu, atau pada kisi-kisi ventilasi udara dan cahaya, yang terletak di atas kusen pintu (bouvenlicht). Namun pada perkembangan kemudian ukuran itu melebar setara dengan dinding.

Seni ini dalam literatur Barat disebut sebagai stained glass. Kata stained adalah bentuk lampau dari stain, yang artinya cacat. Jadi stained glass adalah seni rupa yang menggunakan kaca-kaca cacat, atau yang sengaja dibuat cacat. Kecacatan kaca ini dipandang mampu mendatangkan bias-bias cahaya matahari sangat menarik. Karena cahaya itu tidak sekadar menembus lurus, namun berbelok-belok serta berpendaran setelah membentur lekuk, liku, takik, relung dari kristal cacat kaca yang ada. Benturan itu menghasilkan bias- bias cahaya tak terduga. Walaupun diketahui bahwa dalam seni kaca patri bahan yang dipakai tidak harus yang cacat.

Namun ada pula yang menyebut seni ini dengan tint glass, atau hiasan kaca warna-warni. Lantaran karakter khas seni kaca patri tampil dalam susunan warna (tint). Ada juga yang menamakannya dengan tin glass atau kaca timah. Sebutan ini mengacu kepada bahan, lantaran rangkaian kepingan-kepingan kaca itu memang diikat oleh bahan timah (tin).

Sementara di Indonesia disebut kaca patri. Begitu juga di Jawa yang menyebut koco pateri. Sebuah penamaan yang berkait dengan teknik, karena potongan-potongan kaca itu disatukan oleh batang-batang timah yang dipatri atau disolder. Orang Belanda menyebut glas in lood, kaca yang dikurung oleh timbel, atau timah (lood). Atau glas in loodraam, untuk mengatakan jendela yang menggunakan hiasan kaca patri.

Apa pun sebutannya, selembar seni kaca patri akan menunjukkan kegemilangan yang sama. Pada siang yang panas ia akan menunjukkan kecantikannya yang prima kepada manusia yang tinggal di dalam bangunan. Sinar matahari yang menyorot dari langit akan menembus komposisi kaca patri itu. Dan warna-warna kaca patri akan memancar ke dalam ruang. Setiap warna pada kepingan kaca akan memainkan perannya sendiri-sendiri, seraya beramai-ramai menghantar bentuk yang tergubah dari rangkaian.

Pada malam hari kaca patri akan menerima cahaya lampu dari dalam bangunan. Cahaya ini ditarik keluar oleh kepingan-kepingan kaca itu, dan dihaturkan kepada penglihatan orang-orang yang berada di jalanan. Di gelap malam sehampar kaca patri akan memancar sebagai jiwa dari sebuah arsitektur.

Seni kaca patri karya seniman Jerman.

Seni kaca patri karya Eztu Glass Art, Indonesia.

Byzantium

Seni ini diduga telah dibikin pada era Byzantium abad ke 3, dan memperlihatkan kemajuan apresiasi pada abad 7, seperti ditampakkan lewat seni kaca patri yang dibuat untuk gereja-gereja di Prancis dan Itali tahun 600-an.

Meski kala itu seni mozaik tampak lebih dominan. Sementara diyakini kemampuan orang zaman itu dalam mengeksploitasi kaca merupakan pengembangan dari skill orang-orang Mesir. Beratus tahun sebelum Masehi orang-orang Mesir memang sudah mampu menciptakan botol-botol kaca untuk tempat parfum, wadah kosmetik, perabot makan, wadah air, hiasan interior dan sejenisnya.

Perkembangan penting dari seni kaca patri tampak pada abad 12 sampai 13, masa pertumbuhan arsitektur gaya Gothic. Temuan jendela-jendela kaca patri di katedral Amiens dan katedral Reims di Prancis, di gereja St. Martin di Jerman serta di katedral Toledo di Spanyol menjelaskan itu. Pada era ini gereja-gereja di kawasan Eropa mulai menggagas arsitektur yang menggunakan dan mengandalkan kubah.

Di sini peran seni kaca patri semakin bertambah. Ia tak hanya hadir dalam bilah-bilah pintu atau jendela, namun juga dalam bentuk kusen pintu dan kusen jendela yang bentuknya meruncing ke atas, menghantar pandangan ke arah kubah.

Julangan seni kaca patri memungkinkan cahaya masuk dan keluar dari ketinggian, menciptakan kilau-kilau estetik yang menembus mata dan hati. Kecenderungan ini disebut sebagai “western Christian dome” atau “kubah Kristen Barat”. Eksistensi seni kaca patri terus bertahan sampai surutnya era Gothic pada abad 15. Dan muncul lagi setelah gaya arsitektur Gothic diaktualisasi pada abad 19 dan awal abad 20.

Pada mulanya kaca-kaca berwarna yang dipakai untuk seni kaca patri hanyalah jenis kaca datar. Namun sejalan dengan kemauan artistik para seniman, kaca yang dipergunakan adalah yang memiliki texture dan warna. Atas kehadiran kaca jenis ini sejarah diingatkan kepada “jasa” kaca lunak, yang disebut enamel.

Dari enamel ini lalu dihasilkan kaca berwarna-warna, yang daya tariknya menjadi bahan hiasan favorit pada abad 14 di Cina, abad 18 di Persia, dan pada abad 19 di India. Temuan enamel menjadikan dunia seni kaca patri memiliki rona warna yang tidak dimiliki oleh jenis seni rupa lain.

Selama ini seni kaca patri di Indonesia tampil dengan eksistensi “ada dan tiada”. Ada wujudnya, lantaran ia diaplikasikan di berbagai bangunan sejak akhir abad 19 sampai milenium ketiga. Namun sangat kurang junjungannya, karena kaca patri dianggap hanya sebagai pelengkap arsitektur.

Ia sungguh kalah populer dengan patung taman, patung monumen, mural, lukisan dan sebagainya. Adakah Kawasan Wisata Kota Tua Jakarta yang dimaskoti Museum BI itu akan mengapresiasikan seni kaca patri sebagai pemandangan utama? Kita lalu ingat bagaimana Inggris, Italia, Belanda, Jerman mengagulkan seni kaca patri di berbagai bangunan tua serta katedralnya. Dan dunia segera jadi terpana. [Agus Dermawan T]