TASIKMALAYA – Berwisata di kampung ini layaknya orang –maaf— kebelet kencing saja. Datang, lihat, buang, rasakan, dan sesudahnya pergi pulang. Tak ada kesan mendalam yang biasanya berbekas. Semua berlalu, serba cepat. Berbagai daya tarik yang ditampilkan seperti sudah disediakan dan diatur. Kita harus melangkah ke mana, melihat siapa, dan merasakan apa. Apakah ini sebuah pertanda bahwa kampung tersebut hanya sekadar komoditas bagi turis.
Tak ada yang bisa disalahkan memang bila Risman, salah seorang ketua RT di Kampung Naga, mau berepot-repot mengantarkan turis domestik berkeliling kampung. Di antara kesibukan ia sebagai ketua RT yang pada Minggu (28/3) lalu harus turut serta dalam tahap renovasi atap rumah, pria setengah baya ini bersedia menemani kami menyusuri desa di pinggir Sungai Ciwulan tersebut.
Perjalanan wisata yang terasa instan ini dimulai saat kami turun, melewati ratusan undak tangga. Tiba di batas undakan jalan, seluas mata memandang adalah hamparan hijau padi. Di sebelah kanan, aliran Sungai Ciwulan berwarna coklat. Matahari menyengat ditingkahi asap sisa pembakaran sampah. Merupakan kebiasaan penduduk setempat membakar sampah di pinggir sungai, agar sisa arang turut terbawa air.
Risman yang sudah menanti kami mulai terlihat meninggikan tangan, menandakan di mana kami akan memulai mengenal desa ini. Kolam-kolam desa harus dilewati dahulu sebelum tiba di batas pondasi rumah pertama.
Jajaran rumah di sini mengingatkan kami pada daerah sempit Jakarta. Antara satu rumah dengan rumah lainnya terlihat sangat berdekatan, hanya sekitar tiga langkah kaki. Batu-batu sungai besar menghiasi batas depan antarrumah. Atap hitam mengkilat terkena panas hingga menyilaukan mata. Tapi mata langsung terasa nyaman saat melihat dinding-dinding anyaman bambu depan masing-masing rumah.
Salah satu rumah deret pertama yang kami lalui, ternyata sedang direnovasi. Meski hanya renovasi atap, hampir semua lelaki desa terlibat. Renovasi atap memang bukan hal enteng di Kampung Naga. Tiap atap dilapisi dengan dua macam bahan. Paling bawah adalah atap nipah yang dianyam kering. Lapisan berikutnya ijuk hitam, yang menurut informasi Risman, pernah sampai 7 tahun ia mengumpulkan agar bisa menutupi keseluruhan satu petak rumah miliknya.
Menemui Kuncen Desa
Sebelum mengitari desa, ritual pertama yang wajib kami lakukan adalah menemui Henhen, seorang kuncen desa atau tetua adat. Umurnya yang masih muda tergambar jelas pada perawakannya. Ini mengingatkan lagi pada perawakan abah Anom, pemimpin spiritual kampung Ciptagelar di Pelabuhan Ratu. Dan makin menambah bukti mengenai mudanya umur seorang tetua di Jawa Barat.
”Ada urusan apa Anda datang ke desa ini?” tanyanya kalem. ”Apabila hanya untuk pribadi silahkan melanjutkan perjalanan,”tambahnya.
Perihal izin untuk memasuki kampung ini memang bisa menjadi kompleks masalahnya. Apalagi buat turis yang tidak tahu atau sok tahu. Disarankan buat Anda jangan sok penting seperti ilmuwan atau wartawan layaknya. Karena alasan itu justru akan mengantar kita pada jurang kerumitan birokrasi. Bertele-telenya sistem birokrasi di Kampung Naga membuat seorang rekan akhirnya punya kesimpulan. ”Kalau ngeliat sulitnya birokrasi, sepertinya desa ini mau tak mau menjual wisatanya.”
Meski begitu, kami puas menyusuri Kampung Naga. Melewati pusat desa yang berisi masjid dan sebuah balai pertemuan. Melihat orang-orang tetap dengan keasyikan sendiri, menenun, menisik bambu, menganyam dan membuat berbagai perkakas tenunan.
Namun rasa lapar di perut ini rasanya mulai memanggil. Ajakan Risman untuk makan di rumahnya memang terdengar menggiurkan. Sempat juga terlantun nada tak enak hati, tapi segera terhapus saat diketahui seorang rekan belum pernah merasakan makan bersama orang-orang ini.
Maka kaki pun langsung saja melangkah masuk dalam rumah. Bersih memang keadaan dalam rumah di sini. Kamar-kamar yang ada di dalamnya tidak terlalu besar. Mungkin karena kesepakatan mereka untuk tidak menambah luas desa. Sementara jumlah penduduknya terus bertambah, menimbulkan dampak seperti keadaan rumah yang kecil-kecil seperti sekarang yang kami lihat ini. Namun, yang namanya makan tetap saja menarik. Makan siang dengan ikan mas goreng, sayur urap lalapan, dan tempe goreng tak terasa amblas begitu saja.
Menjelang siang, kami memutuskan meninggalkan desa, meninggalkan rasa tak enak di hati. Seperti ada perasaan dijauhkan di sini. Tiba-tiba kami mendapati Kampung Naga tak beda dengan Ancol. Wisata budaya menjadi tak jauh berbeda dari wisata kota. Atau ini hanya ekses dari kebutuhan ekonomi semata yang memang lebih mudah terasa dari sisi wisata.
(str-sulung prasetyo – Sinar Harapan)
Recent Comments