batu-cibedugKampung Cibedug merupakan bagian dari Desa Citorek, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Jaraknya lebih kurang 50 km dari Rangkasbitung atau delapan km dari Desa Citorek yang merupakan pintu gerbang menuju Cibedug. Kampung Cibedug kini masuk Taman Nasional Gunung Halimun. Disana sudah dibangun sektor Cibedug, sebagai salah satu pintu masuk menuju kawasan konservasi tersebut.

Konon nama Cibedug berasal dari sebuah batu di tengah hutan yang mengeluarkan bunyi seperti bedug yang bertalu-talu saban malam Jumat. Masyarakat menyebutnya batu bedug dan akhirnya oleh masyarakat yang pertama kali menetap di wilayah itu menamakan kampung dan sungai yang mengalir di dekat batu bedug itu dengan sebutan Cibedug. Ada juga yang mengatakan sampai sekarang, batu bedug itu kadang masih mengeluarkan suara bedug, terutama menjelang bulan puasa Ramadhan.

Hingga kini, masyarakat di Kampung Cibedug masih hidup terpencil, tepatnya di barat daya Gunung Bapang (1045 mdpl). Daerahnya masih sulit dijangkau oleh kendaraan. Mobil hanya bisa sampai di Desa Citorek. Satu-satunya cara, ‘ngetrek’ berjalan kaki melewati jalan berbatu, menyebrangi jembatan bergoyang, areal persawahan dan naik-turun perbukitan selama lebih kurang tiga jam.

Kampung ini menjadi terkenal setelah ditemukan adanya peninggalan purbakala zaman prasejarah, tepatnya peninggalan dari tradisi megalitik. Berupa batu berundak sembilan tingkat, beberapa menhir atau batu berbentuk lonjong dan berdiri tegak serta sumur kuno yang berada di satu kompleks.

Masyarakat yang memegang kebudayan megalitik, percaya bahwa orang yang sudah mati masih berhubungan dengan keturunannya, terlebih kalau almarhum adalah tokoh masyarakat atau orang yang dihormati karena kedudukan atau kedigjayaannya. Agar bisa terus menjalin hubungan dengan para leluhur, para penurusnya membuat bangunan-bangunan dari batu besar (megalitik). Tak ketinggalan mengadakan upacara penghormatan supaya para leluluhnya itu tetap bermurah hati.

“Saya tidak tahu siapa saja yang membuat bangunan dari susunan batu itu dan kapan dibuatnya. Tapi yang jelas itu peningalan dan titipan dari luluhur kami,” kata Nurja, kepala adat Cibedug menggantikan Ahmad Astara yang bertugas menjaga sekaligus memperjuangkan keberadaan peninggalan nenek moyang yang mereka anggap keramat itu.

Meski kini dihuni oleh lebih kurang 300 jiwa, dan terdapat 70 rumah, namun Kampung Cibedug nampak sepi. Hanya terlihat beberapa orangtua yang sudah sepuh dan anak-anak kecil di kampung itu. Sementara orang tua dan remajanya pergi ke sawah dan kebun. Mata pencaharian meraka memang mayoritas bertani dan berkebun. Panen padi hanya setahun sekali dan hasilnya tidak untuk dijual melainkan untuk makan dan disimpan di lumbung.

Penduduk Kampung Cibedug beragama Islam, namun pada saat-saat tertentu mereka masih mengadakan upacara yang berkaitan dengan kulutus leluhur yang dipimpin kepala adat. Pusat upacara di saung batu bedug yang kini kerap didatangi orang sebagai tempat ziarah (penzarahan). Kedudukan dan peran kepala adat, terasa lebih menonjol meskipun ada ketua rukun kampung.

Tamu yang memasuki wilayah Cibedug harus mematuhi aturan tak tertulis yang berlaku di sana, antara lain pengunjung dilarang makan sambil jalan, dilarang kencing sambil berdiri meskipun laki-laki, tidak boleh membawa atau mengambil bebatuan yang ada di situs. Bahkan perkampungan ini dikelilingi pagar tabu setinggi tiga meter untuk mencegah pengaruh dari luar.

Pengunjung dapat memasukinya lewat arah barat dan utara. Pantangan lainnya, pengunjung yang bermaksud berziarah, dilarang datang pada hari Jum’at dan Sabtu. Konon menurut mereka, makhluk halus yang berada di kawasan kompleks megalitik sedang bersembahyang Jum’at di Makkah. Sedangkan hari Sabtu dianggap hari yang angker, siapa yang membandel akan terkena malapetaka.

Larangan atau tabu itu bisa jadi sebagai langkah warga Cibedug untuk menjaga peninggalan nenek moyangnya. Bayangkan saja, jika ada pengunjung yang datang mengambil bebatuan menhir atau merusak punden berundak, pasti tak ada lagi kebanggan yang dimiliki warga Cibedug. Kini saja, kondisi kompleks situs ini sangat menyedihkan.

Bagi orang awam bisa jadi kurang menarik, karana hanya melihat susunan batu dan beberapa menhir. Namun bagi masyarakat Cibedug, kebaradaannya sangat penting. Komplek situs tersebut bisa jadi menjadi gambaran karakter dari masyarkat itu sendiri. Hidup tenang, damai dan tidak mengganggu orang lain.

Meski ada pantangan dan lokasinya terpencil, namun tak mengurangi minat orang untuk bertandang ke Kampung Cibedug. Berdasarkan tamu buku di rumah kepala adat, kebanyakan yang datang selain para pegiat alam bebas, juga para peminat di bidang arkeologi. Bahkan beberapa tamu asing juga kerap berkunjung terutama turis asal Jepang.

Tips Perjalanan

jalan-cibedugKalau Anda ingin ke Cibedug, sebaiknya datang saat musim panas. Agar medan trek yang dilalui lebih nyaman. Kondisi treknya mirip dengan jalur trek ke Baduy Dalam lewat Ciboleger. Treknya naik turun bukit. Bedanya rute ke Situs Cibedug lebih variatif, ada jembatan, anak sungai, persawahan, hutan dan setapak. Bagi yang gemar fotografi, cukup banyak obyek yang dapat diabadikan.

Transportasi menuju Citorek cukup mudah. Jika berangkat dari stasiun Beos-Kota, naik kereta ekpress menuju Rangkasbitung. Lalu naik angkot jurusan Citorek sekitar 2,5 jam bila berjalan mulus, ongkosnya 15.000 perorang. Mungkin karena BBM naik bisa jadi sekarang sudah naik menjadi Rp 20.000 orang.

Perhatikan jadwal angkot dari Rangkasbitung ke Citorek atau sebaliknya. Ada enam mobil yang berangkat dari Citorek ke Rangkasbitung mulai dari pukul 6.00 s/d 8.00 pagi. Sedangkan dari Citorek ke Rangkasbitung ada dug mobil yang berangkat mulai pukul 5.00 s/d 6.00 sore. Jika pergi rombongan, misalnya 10 orang sebaiknya mencarter.

Bila pulangnya menggunakan rute yang sama, harus tahu jadwal kereta terakhir yang berangkat dari Rangkasbitung sampai Stasiun Beos-Kota agar tidak ketinggalan kereta. Bisanya kereta terakhir dari Rangkasbitung hanya sampai pukul 5.00 sore. Cara lain bisa naik angkot ke pertigaan Cipanas, lalu ganti mobil angkot ke Jasinga. Atau kalau rombongan dengan mencarter angkot semula ke Jasinga dan kalau bisa sampai Terminal Barangsiang, Bogor lalu ke Jakarta via tol.

Kalau ingin menginap beberapa hari, Anda tak perlu susah membawa tenda. Inap saja di rumah kepala adat atau penduduk lain yang biasa menerima tamu. Kendati begitu tamu yang menginap di kampung ini, tidak boleh tidur menghadap ke timur. Jangan lupa membawa bekal makanan untuk dimasak. Atau membawa kopi, gula dan garam untuk tuan rumah, pasti mereka akan senang menerimanya. Sebaiknya pergi saat musim panas. Kalau musim curah hujan tinggi, treknya licin dan kadang terhadang banjir maupun longsor.

Obyek wisata lain yang bisa Anda kunjungi adalah Baduy Dalam. Dari Citorek terus ke Cilebak, Nyalindung dan menembus Cikeusik (salah satu wilayah Baduy Dalam) memakan waktu lebih kurang delapan jam dengan berjalan kaki. Jika belum puas, Anda bisa mendaki Gunung Nyuncung (3100 m dpl) yang terletak di Citorek dari Kampung Lebaktugu, lebih kurang 3 jam.

Sumber: Majalah Travel Club