Apa yang terlintas dibenakmu ketika ditanya tentang Kerajaan Majapahit? Wati (35 tahun) menjawab lantang. “Mahapatih Gajah Mada dengan sumpah palapanya”. Ketika ditanya lagi, benarkah kerajaan itu ada atau rekaan semata? Pegawai Negeri Sipil itu cuma menggelengkan kepala.
Begitulah jawaban Wati, ibu satu anak ketika ditanya seputar Kerajaan Majapahit oleh pemadu wisata, saat berada di Situs Trowulan, Jawa Timur, siang itu. Sosok Gajah Mada dengan sumpah palapanya begitu kuat melekat dan ternyata itu benar. Tapi anehnya jawaban kedua dia justru meragukan keberadaan Kerajaan Majapahit yang telah membesarkan nama Gajah Mada.
Keraguan Wati tentang kebenaran keberadaan Kerajaan Majapahit itu, bisa jadi karena dia cuma mendapatkan informasi dari mata pelajaran sejarah sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar. Itupun belasan tahun lalu. “Waktu di SD kan cuma menghapal doang, nggak pernah sama sekali melihat langsung sisa-sisa peninggalan kerajaan itu. Jadi antara yakin dan tidak yakin,” ujarnya.
Menurut Wati, ketidakyakinan akan keberadaan benda bersejarah juga pernah dialaminya sewaktu mempelajari Candi Borobudur di SD. Karena cuma membaca dari buku ditambah penjelasan guru sejarah, dia mengku belum yakin seratus persen akan keberadaan candi tersebut. Tapi setelah lulus SMA berkunjung langsung ke Candi Borobudur, dia baru benar-benar percaya.
Sejak itulah dia berusaha mengunjungi peninggalan bersejarah, terutama di Jawa yang pernah diketahuinya dari bangku sekolah dan kuliah untuk meyakinkan dirinya. Menurutnya melihat langsung benda bersejarah, baik yang masih utuh maupun puing-puingnya saja, itu lebih menarik dibanding cuma menghapal teks buku. “Dengan melihat obyeknya langsung, saya jadi dapat gambaran nyata kondisinya sekarang, bukan cuma khayalan. Harusnya cara seperti inilah yang diterapkan sekolah agar para siswa lebih mengenal dan mencintai benda-benda bersejarah hingga memupuk kesadaran untuk menjaganya,” terangnya.
Setelah melihat langsung Situs Trowulan dan mendengar penjelasan dari pemandu wisata bahwa situs tersebut merupakan kota klasik bekas Kerajaan Majapahit, perempuan yang nampak selalu ceria itu baru yakin bahwa Kerajaan Majapahit itu, benar-benar pernah ada dan berjaya di Pulau Jawa dan pengaruhnya sampai Asia Tenggara.
Bukan cuma Wati, beberapa peserta press tour yang diselengarakan Direktorat Jenderal Sejarah & Purbakala (Sepur), Depbudpar awal November lalu juga ada yang ‘surprise’ setelah melihat dengan mata kepala sendiri bermacam benda temuan arkeolog berupa tembikar, wadah logam, miniatur bangunan, kolam air, beragam arca dan candi peninggalan kerajaan tersebut.
Kegiatan press tour yang diikuti sejumlah media cetak dan elektronik nasional maupun lokal itu sekaligus meliput acara peletakan batu pertama pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang diresmikan oleh Menbudpar Jero Wacik, didampingi Dirjen Sepur Hari Untoro Drajat (3/11).
Menurut Jero Wacik tujuan pembangunan PIM ini bukan sekadar membangun nostalgia berupa citra kebesaran banga kita di masa lampau. “Pembangunan PIM ini adalah salah satu bentuk upaya pelesatrian peninggalan Kerajaan Majapahit yang dulu penah ada, agar dapat dinikmati masyarakat sebagai wahana pendidikan dan wisata,” jelas Jero.
Sementara Hari Untoro Dradjat mengatakan pengembangan PIM dilakukan secara bertahap sejak 2007 s/d 2010. “Kegiatan jangka pendek dan menengahnya antara lain penyusunan master plan pelestarian dan pemanfaatan Majapahit Park, pembangunan PIM, penataan dan pengembangan kawasan pengrajin, dan pelatihan tenaga pemandu kawasan Majapahit Park,” jelas Hari.
Di Situs Trowulan, Wati bersama rombongan press tour mengunjungi PIM yang menurut pemandu wisatanya merupakan pengembangan dari Museum Trowulan. Di PIM, Wati dengan serius menikmati sejumlah koleksi museum yang dikelompokkan menjadi koleksi tanah liat (alat-alat rumah tangga), keramik (guci, teko, piring, mangkung, sendok, dan vas bunga) asal Cina, Thailand, dan Vietnam, logam (bokor, lampu, cermin, guci, dan alat musik), dan koleksi batu (miniatur dan komponen candi, arca, relief, dan prasasti).
Majapahit Park
Sehari sebelumnya, Wati juga bersama rombongan Press Tour mengunjungi sejumlah candi dan miniatur bangunan kota klasik Kerajaan Majapahit lainnya dalam sebuah kawasan yang disebut Majapahit Park.
Jelang siang, dia bersama rombongan tiba di Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Di desa tersebut, dia mengunjungi Candi Tikus yang berbentuk pertitaan. Disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan menjadi sarang tikus. Selanjutnya ke Gapura Bajangratu yakni pintu gerbang berbentuk paduraksa setinggi 16,5 meter.
Lalu ke Desa Bejijong masih di Kecamatan Trowulan melihat Candi Brahu, sebuah candi Budha setinggi 25,7 meter yang dianggap sebagai candi tertua di Situs Trowulan. Sewaktu di desa tersebut, dia mengunjungi sentra pengrajin perunggu. “Aku beli hiasan perunggu berbentuk penyu Rp 100 ribu per item, buat hiasan di meja kantor dan ruang tamu di rumah,” jelasnya. Setelah itu dia menuju Desa Nglinguk, melihat Situs Kedaton dan ke Desa Jati Pasar melihat Gapura Wringin Lawang setinggi 15,5 meter.
Selepas makan siang kemudian Wati melanjutkan perjalanan ke Kolam Segaran yang berada di Desa Trowulan. Kolam (balong) kuno seluas 6,5 Ha yang ditemukan pertama kali oleh Maclain Pont pada 1926 ini, konon semasa Kerajaan Majapahit juga difungsikan sebagai tempat rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri. Fungsi utamanya sebagai waduk dan penambah kesejukan udara kota.
Dugaan sebagai waduk itu diperkuat dengan ditemukannya saluran pembuangan air yang berhubungan dengan Kolam Bulat (Balong Bunder) di Selatan serta Kolam Panjang (Balong Dowo) di depan Museum Trowulan. Sayangnya kedua balong itu sudah tak berfungsi karena pendangkalan.
Berdasarkan sketsa rekonstruksi Kota Majapahit yang dibuat oleh Bakosurtanal berdasarkan foto udara yang dibuat LAPAN tahun 1970-an, memang terlihat kota lama ini memilih sistem kanal pengairan (drainase dan pasokan air) yang dibuat dalam garis lurus memanjang Baratlaut-Tenggara dan Timurlaut-Baratdaya.
Kota klasik itu dibagi menurut beberapa segmen yang mungkin memperlihatkan perannya dimasa lalu. Pola pembagian ruang dengan kanal ini mungkin ada hubungannya dengan konsep mandala yang digunakan sebagai acuan dan dasar pembagian kosmologis kota.
Tips Perjalanan
Kerajaan Majapahit berdiri 1293 M setelah runtuhnya Kerajaan Singosari sebagai akibat serbuan Prabu Dandanggendis dibantu tentara Mongol atas perintah Kubhilai Khan. Kerajaan yang dibangun Raden Wijaya, awalnya berpusat di daerah Hutan Tarik yang banyak ditemui Pohon Maja yang buahnya pahit, oleh karena itu dinamakan Majapahit. Raden Wijaya adalah menantu Raja Kertanegara dari garis keturunan Ken Arok, pendiri Kerajaan Singosari. Dia menjadi raja pertama Majapahit hingga 1309 M.
Kedigdayaan Majapahit mencapai puncak keemasan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk usai Mahapatih Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Palapa sehingga kerajaan ini berhasil mempersatukan nusantara. Majapahit mengalami pasang surut akibat perebutan tahta di kalangan keluarga raja hingga akhirnya meninggalkan panggung sejarah nusantara pada abad XV M.
Trowulan pertama kali muncul dalam literatur berjudul History of Java I karya Sir Stamford Raffles tahun 1817. Raffles mengatakan bahwa nama Trowulan berasal dari Trang Wulan atau Terang Bulan. Ketika itu seluruh situs masih tertutup hutan jati yang cukup lebat, sehingga dia tidak melihat sisa-sisa dari sebuah kota klasik yang kini bernama Situs Trowulan.
Situs Trowulan satu-satunya situs perkotaan masa klasik di Indonesia. Luasnya 11 Km x 9 Km, berada di wilayah Kecamatan Trowulan dan Sooko di Kabupaten Mojokerto serta Kecamatan Mojoagung dan Mojowarno di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lokasinya berada di sebuah dataran yang merupakan ujung dari kaki tiga gunung yakni Gunung Penanggungan, Welirang, dan Anjasmoro. Tepatnya di sekitar delta Sungai Berantas, sekitar 10 Km Baratdaya Kota Mojokerto. Atau sekitar 60 km Baratdaya Surabaya. Situs ini dapat dicapai dengan kendaraan pribadi maupun kendaaran umum dengan waktu tempuh sekitar 1 jam dari Kota Mojokerto.
Sumber: Majalah Travel Club
Recent Comments