Konon, Dieng berasal dari kata “Dih Yang”, dalam bahasa Sansekerta berarti kahyangan. Ada juga yang bilang Dieng itu berasal dari kata Edi dan Eng, artinya cantik tidak ada yang menandingi.
Rambut Gimbal – Sri Rahayu, putri asli Dieng, yang berambut gimbal sejak usia setahun.
Meski keramas tiap hari, rambutnya selalu gimbal.
Dieng sendiri terletak di ketinggian 2.090 m dpl, berupa dataran luas di ketinggian dengan paduan kawah aktif dan telaga-telaga yang beraneka rupa, menjadikan Dieng sebagai objek wisata yang sangat menarik.
Setelah masa otonomi daerah, secara administratif, Dieng masuk wilayah Kabupaten Pekalongan, Banjarnegara, dan Wonosobo.
Berdasarkan penuturan Supono Hadi Supriyono, seorang pemandu yang memandu penulis, mengungkapkan dalam sejarahnya pada abad ke-7 Masehi ada seorang perempuan cantik bernama Dewi Sima.
Dia adalah seorang putri bangsawan keturunan Dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Kalingga. Sebuah kerajaan yang bernapaskan agama Hindu.
Ratu Sima tampaknya sangat menyukai dongeng Ramayana sehingga ia membuat kompleks Candi yang merupakan jelmaan dari kisah Ramayana di sekitar istananya.
Kini, candi-candi dan istana yang dibuat Ratu Sima tinggal beberapa saja yang masih bertahan, sisanya habis digerus zaman. Antara lain yang masih tersisa terdiri dari Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Punta dewa, Candi Sembadra
Dalam kisah pewayangan, Puntadewa atau Samiaji adalah anak tertua dari Resi/Begawan Pandu. Puntadewa merupakan kakak tertua dari Pandawa Lima, yaitu Bima, Arjuna, bungsu kembar Nakula dan Sadewa.
Dalam kisah Ramayana, Samiaji atau Puntadewa digambarkan berwatak lemah lembut dan memimpin. Arjuna digambarkan rupawan, lemah lembut, sakti, punya senjata ampuh berupa seperangkat panah dan busur serta disenangi banyak perempuan.
Sementara Nakula dan Sadewa merupakan pasangan yang sopan santun dan tentu saja sakti . Ratu Sima tampaknya sangat menyukai para tokoh Pandawa Lima ini sehingga membuat candi secara khusus.
Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Punta Dewa, Candi Sembadra terletak dalam satu kompleks, semenara Candi Bima terpisah agak jauh di bukit.
Di dalam Candi Arjuna ada sebuah bak batu yang selalu berisi air. Airnya berasal dari tetesan embun yang terkumpul dari atap candi. Sejak 1300 tahun lalu selalu menetes di tengah-tengah bak dan airnya tidak pernah kering. Dipercaya sebagai air suci dan diberi nama Parwito Sari atau air kehidupan, airnya sangat dingin karena suhu di Dieng mencapai 5 derajat Celcius bahkan seringkali hujan turun dalam bentuk serpihan es pada musim kemarau.
Selain Candi Bima, masih ada Candi Gatot kaca ia adalah anak dari Dewi Arimbi dan Bima. Dalam cerita pewayangan, Gatot kaca ditempa oleh Batara Narada di kawah Candradimuka dan membuat dia menjadi kestaria yang berotot kawat dan bertulang besi.
Di Dieng juga ada sebuah kawah yang dinamai Kawah Candradimuka dan sebuah sumur yang dinamai sumur Jalatunda yang dipercaya sebagai tempat memandikan jabang bayi Gatot kaca.
Selain situs Candi Gatot kaca, juga terdapat Candi Daraswati yang merupakan penjelmaan dari Kresna. Kresna adalah sahabat Pandawa Lima yang sering kali berperan sebagai konsultan dan penasehat bagi Pandawa Lima.
FOTO-FOTO: PEMBARUAN/RIESKA WULANDARI
Candi Dieng – Dikenal sebagai Candi Dieng, merupakan situs purbakala penjelmaan cerita Ramayana yang pembangunannya diprakarsai oleh Ratu Sima.
Penuh Danau
Dataran Tinggi Dieng tampak semakin apik karena dihiasi oleh setidaknya lima danau yang masing-masing punya ceritanya sendiri. Danau Telaga Warna dan Telaga Pengilon misalnya, merupakan danau yang menjadi primadona selain karena letaknya yang dekat, terdapat nilai historis yang menarik.
Danau atau Telaga Warna dan Telaga Pengilon terletak bersebelahan tapi tidak saling berhubungan. Dalam kisahnya, Ratu Sima yang sakti dan punya kemampuan untuk terbang itu melintas di atas Dieng.
Dia kemudian melihat telaga warna dan mandi di sana. Telaga ini sangat unik karena memantulkan berbagai warna, kandungan sulfur yang ada di dalamnya membuat telaga warna berwarna kehijauan, sementara ganggang merah membuatnya berwarna merah dan airnya yang jernih memantulkan warna langit yang biru sehingga telaga ini tampak sangat menawan.
Seperti dituturkan oleh Supono, setelah mandi, Ratu Sima melanjutkan terbang lagi dan kaget melihat bayangan dirinya di Telaga Pengilon yang memang tampak sangat jernih namun bisa memantulkan bayangan. Pengilon sendiri artinya cermin. Sejak itu telaga yang berada di dekat telaga warna disebut Telaga Pengilon.
Selain Danau Pengilon ada juga Telaga Bale Kambang. Di telaga ini tampak sebuah pulau kecil yang selalu mengambang dan bergerak tertiup angin atau terbawa ombak air telaga, teksturnya yang empuk membuatnya dijuluki sebagai bale (kasur/tempat tidur) sementara kondisinya yang mengambang dan selalu bergerak membuatnya dijuluki sebagai Bale Kambang.
Saat malam satu Suro (satu Muharam dalam penanggalan Arab), biasanya banyak orang yang bersemedi di Bale Kambang. Selain Bale Kambang ada Telaga Merdada, ukurannya jauh lebih besar dan wisatawan bisa berperahu di sana. Selain itu, terdapat Telaga Sembungan, sebuah telaga yang dipercaya pernah digunakan kestaria Jaka Sembung untuk bertapa. Nama Sembungan sendiri diambil dari nama Jaka Sembung.
Selain telaga, ada sebuah situs mata air yang juga dihiasi oleh saluran kuno dari batu pada zaman Ratu Sima dan masih bertahan sampai sekarang. Mata Air tersebut dinamakan mata Air Bima Lukar atau Mata Air Serayu.
Dalam ceritanya, mata air ini berasal dari air kencing Bima yang sedang berlomba dengan Bangsa Kurawa untuk mencoba kesaktian dengan membuat sungai. Saat itu Bima melihat seorang perempuan cantik dan sambil melepas pakaiannya dan buang air kecil, Bima berkata “Sira Ayu”( bisa diartikan “Kamu Cantik”- Red) pada perempuan cantik yang mengganggu Bima tersebut. Saat itulah air kencing Bima menjadi mata air dan menjadi induk sungai Serayu.
Lingga – Perlambang keagamaan dan dianggap sakral.
Rambut Gimbal
Selain keunikan situsnya, di Dieng juga terdapat cerita unik tentang keturunan rambut Gembel. Saat ini di Dieng terdapat dua anak yang berambut gimbal atau lebih sering disebut sebagai anak gembel, salah satu yang sempat ditemui Pembaruan bernama Sri Rahayu.
Ia adalah anak keturunan Dieng asli, kini sudah berumur 4 tahun. Ayahnya petugas Musium Purbakala di kawasan Dieng bernama Achmad Sajidin. Menurut penuturan sang ayah, Sri memiliki rambut gimbal saat menginjak usia satu tahun.
“Waktu itu Sri sakit demam, setelah sembuh rambutnya gimbal. Kalau kami sisir supaya terurai, maka dia akan sakit lagi. Tiap hari kami mengeramasinya, tapi rambutnya tetap saja gimbal,”katanya.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, rambut Sri akan pulih jika permintaannya dipenuhi.
“Setelah bisa bicara, Sri baru bilang kalau dia minta 4 ekor ayam kampung dan duren, tanggal 16 Januari nanti kita mau adakan selamatan untuk dia sekaligus memenuhi permintaannya. Mudah-mudahan setelah permintaanya dipenuhi, rambutnya bisa kembali normal,” tutur sang Ayah.
PEMBARUAN/RIESKA WULANDARI dan WAHYU MANDOKO
Recent Comments