pulau-rubiahSABANG – Apa yang terpikir jika disebut nama Bunaken atau Nusa Penida? Mungkin terlintas surga taman laut. Selain dua nama itu, masih ada daerah lain di Tanah Air yang memiliki akuarium raksasa, yakni Pulau Rubiah di Sabang.
ada masa kolonial Belanda, pulau seluas 50 hektare itu menjadi asrama haji sebelum calon jemaah haji naik kapal laut menuju Mekkah. Yahya, pemilik pulau itu mengantar SH menyaksikan sisa-sisa fondasi asrama haji, bak air, dan dermaga pelabuhan. Pada masa Perang Dunia II, pulau ini menjadi benteng pertahanan pasukan Belanda dan Jepang. Tak heran, di belakang rumah Yahya terlihat reruntuhan benteng.
”Setengah pulau ini saya miliki dan tidak boleh dijual. Setengah lagi milik Pemda Sabang. Saya mendapat warisan sejak zaman Sultan Iskandar Muda,” ungkap Yahya yang menerangkan ada surat penyerahan pulau ini kepada nenek moyangnya.
Yahya menuturkan, pada masa Darurat Militer tahun 2003, praktis usaha wisata di Aceh pada umumnya dan Sabang khususnya, berada pada ”titik nadir”. TNI pun berpatroli di Rubiah untuk mencari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bersembunyi di sana. Namun semua itu berakhir setelah RI-GAM sepakat berdamai di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Selanjutnya, masa aman pun bergulir sehingga membanjirlah turis internasional ke Aceh dan khususnya ke Sabang. Bahkan, seorang anggota pengawas perdamaian Aceh dari Belanda membangun dua bungalow yang dihibahkan kepada Yahya. ”Dia hanya minta saya merawat bungalow ini. Dia datang setahun sekali untuk menyelam. Ketika itulah dia dan keluarganya baru memakai bungalow itu,” terang Yahya dengan nada bangga.
Berwisata ke Rubiah sama dengan menikmati suasana yang tertib dan penuh kekeluargaan. Beberapa waktu lalu ketika SH tiba di pulau paling ujung barat Pulau Sumatera ini, tampak satu keluarga sedang bermain voli bersama cucunya Yahya. Maklumlah, tak ada tetangga di sana. Setiap pagi, anak dan cucu Yahya diantar ke sekolah dengan boat yang diberikan oleh lembaga swadaya masyarakat/NGO internasional. Lalu sore harinya dia dijemput setelah selesai mengaji.
Keluarga Yahya juga menyediakan konsumsi serta peralatan menyelam. Tidak ada listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hanya ada generator yang dihidupkan sejak pukul 19.00 hingga 00.00 WIB. Itulah kesempatan untuk mengisi ulang baterai telepon seluler atau kebutuhan lainnya.
Apa kelebihan Pulau Rubiah? Sama dengan Bunaken atau Nusa Penida, Rubiah memiliki taman laut yang memaksa mata tak berkedip. Melalui boat berkaca yang mengelilingi Rubiah, kita bisa menyaksikan aneka ikan tropis, terumbu karang, kerang raksasa, karang yang rusak karena tsunami, serta terumbu karang buatan yang ditanam di sekitar perairan Rubiah. Bahkan ikan hiu biasanya muncul pada bulan pertama atau kedua setiap tahun. Konon, tak semua kawasan bahari ini disapu gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.
Harga sewa boat sekitar Rp 250.000-300.000 hingga kembali ke daratan di Iboih. Jika berkelompok, tentu ongkos sewa boat ini tidak terlalu berat, sebab setiap boat bisa menampung 10 penumpang. Sepanjang perjalanan, wisatawan pasti akan terlena menyaksikan melalui kaca bening, ikan-ikan, karang yang hancur karena tsunami, serta dasar laut yang bersih dari sampah-sampah kaleng atau lainnya. Maka rasa lelah pun pasti terbuang dan larut ke dasar Taman Laut Rubiah.

Transportasi
Bagaimana menuju Pulau Rubiah? Begitu tiba di Banda Aceh, bergegaslah ke Pelabuhan Ulee Lheue. Setiap hari, dua kali feri cepat (hanya mengangkut penumpang) dan sekali feri lambat (untuk penumpang dan kendaraan roda empat) berangkat dari Banda Aceh ke Pelabuhan Balohan, Sabang. Feri cepat berangkat sekitar pukul 09.30 WIB dengan waktu tempuh sekitar satu jam, sedangkan jika dengan feri lambat, menghabiskan waktu sekitar dua jam dengan jam keberangkatan 10.30 WIB.
Lalu dengan minibus umum, wisatawan menuju Pantai Iboih sekitar sejam perjalanan dengan kondisi jalan sudah beraspal. Dari Pantai Iboih, sewalah boat ke Rubiah dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Sebaliknya, feri dari Sabang ke Banda Aceh berangkat tiap hari pukul 16.00 WIB. Lazimnya, wisatawan menghabiskan semalam di Kota Sabang dan pada siangnya langsung ke Dermaga Balohan.
Jika sudah di Sabang, inilah kesempatan untuk melangkah ke kilometer nol–searah ke Pantai Iboih–sebagai tanda dihitungnya jarak Indonesia. Pemerintahan Sabang menyediakan sertifikat sebagai bukti sudah pernah ke kilometer nol, sebagaimana lagu dari Sabang sampai ke Merauke.

Sumber: Sinar Harapan