Pintu gerbang Astana Giribangun.

Foto-foto: SP/YC Kurniantoro  - Astana Giribangun.

Tawangmangu adalah satu kecamatan yang menjadi ikon wisata Kabupaten Karanganyar, di Jawa Tengah. Walau pun sejatinya tempat wisata di kabupaten berjarak sekitar 15 km dari Solo itu juga memiliki banyak tempat wisata.

Selain Tawangmangu, dengan Grojogan Sewu-nya (air terjun), juga ada Wana Wisata Gunung Bromo, Bumi Perkemahan Sekipan dan Camping Lawu Resort, pemandian air hangat Cumpleng dan Pablengan.

Kemudian ada Candi Suku dan Ceto, Situs Palanggatan dan Menggung. Masih ada Taman Ria Balekambang, Waduk Lalung dan Delingan. Bahkan setelah terjadinya bencana longsor di beberapa tempat, Karanganyar masih merupakan tempat wisata menarik di Jawa Tengah.

Sekarang ini, dengan populernya tanaman Anthurium yang harganya sampai miliaran rupiah, Karanganyar menjadi kiblat tersendiri dan melahirkan wisata flora. Maka muncul pertanyaan ketika terbersit menjadikan Astana Giribangun, di Kecamatan Matesih, sebagai tempat wisata juga di kabupaten yang lumayan makmur itu. Tepatnya wisata ziarah.

Astana Giribangun akhir-akhir ini memang “melesat” namanya, terutama sejak mantan Presiden Soeharto atau Pak Harto dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), 4 Januari 2008 sampai wafatnya, 27 Januari 2008 lalu. Astana Giribangun bahkan boleh dibilang “langsung” ditengok hanya beberapa hari setelah Pak Harto masuk RSPP karena banyak pihak “meramalkan” kali ini adalah terakhir kali masuk rumah sakit. Terlebih liputan media massa, cetak dan elektronik yang juga mengupas, mengulas Astana Giribangun dikaitkan dengan sakitnya Pak Harto, ketika itu.

Keberadaan Astana Giribangun sebenarnya sudah menjadi satu tujuan wisata utama di Karanganyar selama ini. Bukan hanya ketika Pak Harto sakit sampai meninggalnya. Sukirno, Kepala Pelaksana Harian Pengelolaan Astana Giribangun bahkan menyebutkan, Astana Giribangun yang diresmikan pembangunannya pada Juli 1976 itu pernah dikunjungi 12.800 orang dalam satu hari. “Itu rekornya saya kira, Mas,” katanya ketika ditemui, Selasa (29/1), sehari setelah almarhum Pak Harto dimakamkan dengan upacara kebesaran kenegaraan.

Hanya sekitar tiga hari setelah Hj Fatimah Siti Hartinah Soeharto (Ibu Tien Soeharto) meninggal dunia, kata Sukirno, rombongan demi rombongan setiap hari berziarah ke Astana Giribangun. Ibu Tien Soeharto yang meninggal pada 28 April 1996, dimakamkan sehari kemudian di Astana Giribangun. Artinya sejak tiga hari setelah itu, merujuk pernyataan Sukirno, peziarah tak henti datang.

“Ya kalau dirata-rata sekitar tujuh ribu orang datang ke sini setiap harinya,” katanya. Semua itu berlangsung selama dua tahun, sampai kemudian datang reformasi yang membuat peziarah Astana Giribangun merosot pamornya. Peziarah yang tadinya mencapai ribuan, kata Sukirno, turun drastis hanya sekitar 300 sampai 500 orang per hari.

Bahkan kadang hanya puluhan atau belasan orang. Bukan hanya itu. Kesaksian para pedagang di kawasan itu juga menyebutkan, bahkan kios-kios, warung makan yang pernah sangat marak di Lapangan Karangbangun, sekitar tiga kilometer dari Astana Giribangun yang digunakan untuk parkir kendaraan besar, terpaksa tutup. Bukan hanya karena sepinya peziarah yang datang, tetapi juga ancaman beberapa pihak yang membenci Soeharto dengan Orde Barunya.

Akibatnya, kios dan warung-warung makan itu bukan hanya tutup tetapi harus dibongkar habis. Di Lapangan Karangbangun sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bekas ada kios atau warung, kecuali fondasi yang makin tertutup rumput. Begitu pun semangat masyarakat di sana untuk berdagang masih tinggi dan terlihat ketika Pak Harto dimakamkan, Senin (28/1) lalu. Pamor Astana Giribangun sendiri bagi peziarah boleh dikatakan mulai pulih sekitar satu tahun lalu.

Menurut Sukirno, pengunjung dan peziarah yang tidak dipungut biaya apa pun, kecuali untuk parkir, kadang bisa mencapai 700 orang per hari. Angka ini lumayan bagus dibanding pada masa awal reformasi, tentunya.

Sehari setelah Pak Harto dimakamkan, pengunjung Astana Giribangun memang mulai banyak. Tidak beda ketika Pak Harto masih dirawat di RSPP yang membuat banyak orang berdatangan. Setidaknya untuk melihat seperti apa kompleks pemakaman itu. Peziarah, terutama mereka yang mencintai dan mengagumi Pak Harto lebih leluasa saat ini untuk masuk ke Astana Giribangun.

Peziarah boleh masuk hingga ke Cungkup Argo Sari, yakni areal utama pemakaman keluarga Yayasan Mangkunegaran itu. Ketika Pak Harto sakit, Cungkup Argo Sari dinyatakan ter- tutup dan orang hanya bisa mengintip dari luar. Di Cungkup Argo Sari ini Pak Harto dimakamkan berdampingan dengan Ibu Tien Soeharto, selain ada makam orangtua Tien Soeharto, yakni KPH Soemoharjomo yang meninggal dunia pada 2 April 1972 dalam usia 83 tahun dan KBR Ay Satmanti Soemoharjomo yang meninggal pada 30 Juli 1988 dalam usia 91 tahun.

Di sisi paling barat terdapat makam KR Ay Siti Hartini Oudang, yang meninggal pada 28 Agustus 1967.

Jadi di Cungkup Argo Sari, saat ini terdapat lima makam, yakni secara berurutan dari timur ke barat, makam Tien Soeharto, Pak Harto, KBR Ay Satmanti, KPH Soemoharjomo dan KR Ay Siti Hartini. Di luar Cungkup Argo Sari, yakni satu tingkat di bawahnya adalah Argo Kembang dan di situ terdapat 19 makam yang semuanya adalah keluarga dari Yayasan Mangkunegaran, yang berarti keluarga besar Tien Soeharto.

Petugas menurunkan dan menata kursi yang turun dari truk.

Para warga berdoa di depan makam mantan Presiden Soeharto, Selasa (29/1/08).

Peraturan

Sehari-hari, peziarah boleh berdoa, baik di Argo Kembang atau pun di dalam Cungkup Argo Sari dan tersedia karpet agar tidak dingin ketika duduk. Satu tingkat di bawah Argo Kembang adalah Argo Tuwuh yang merupakan halaman dalam Astana Giribangun.

Sebagai tempat wisata ziarah, Astana Giribangun memiliki beberapa peraturan, di antaranya melepas alas kaki di tangga Argo Tuwuh. Juga dilarang memotret di Cungkup Argo Sari dan tidak boleh bermalam (atau di sana disebut Ndagen) di Kompleks Astana Giribangun. Di atas Kompleks Astana Giribangun sebenarnya adalah Kompleks Astana Mangadeg, yakni kompleks pemakaman Raja Mangkunegaran.

Di situ dimakamkan antara lain tiga raja, yakni Mangkunegaran I (RM Said), Mangkunegaran II dan Mangkunegaran III. Namun tidak banyak peziarah yang datang ke sana kecuali pada Bulan Suro, karena memang dibatasi dan tidak boleh masuk sampai ke areal utama.

Sebagai tempat wisata, Astana Giribangun sampai saat ini masih mandiri dalam arti tidak ada pengelolaan atau pun pendampingan pengelolaan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar. “Jadi, memang belum ada pengelolaan bersama,” kata Sukirno. Namun kerjasama bisa saja dilakukan suatu saat ini. “Tapi sampai saat ini belum, jadi kami mandiri,” katanya lagi.

Potensi mendatangkan wisatawan ke Astana Giribangun tampaknya memang besar, setidaknya berdasarkan pengalaman yang dikemukakan Sukirno di mana dua tahun sejak meninggalnya Ibu Tien Soeharto. Namun, pihak Pemerintah Kabupaten Karanganyar sendiri tampaknya belum bisa (mungkin juga belum berani) mengelola secara penuh.

Setidaknya sampai saat ini belum ada pungutan retribusi untuk masuk areal kawasan ini, meski ada gerbang bertulisan “Kawasan Wisata Matesih”, sekitar tiga kilometer sebelum Astana Giribangun. Ini berbeda dengan Tawangmangu yang di beberapa kilometer sebelum masuk kawasan, petugas retribusi sudah bersiaga memungut uang dari calon pengunjungnya.

Yang jelas, jalan menuju Astana Giribangun sama bagusnya dengan menuju Tawangmangu. Boleh disebut, Karanganyar memiliki infrastruktur jalan cukup bagus dan merata, antara lain karena ada Astana Giribangun.

Menjadikan Astana Giribangun sebagai tempat wisata tentu menjadi harapan masyarakat sekitar, setidak- nya untuk memperoleh penghasilan tambahan dan membuat kesejahteraan makin meningkat. [SP/YW NUGROHO]

Sumber: Suara Pembaruan