Berlibur ke pantai, melihat gua, menyusuri pegunungan, bukit, dan perkebunan teh, jelas merupakan paket wisata yang lengkap. Apalagi jika kombinasi keindahan pemandangan tersebut bisa diperoleh hanya dalam satu kali perjalanan.

pantai-ranca-buayaKeuntungan ganda tersebut bisa diperoleh jika berwisata ke Garut Selatan dengan tujuan wisata Pantai Ranca Buaya. Atau jika Anda cukup bernyali melakukan perjalanan menyusuri Pantai Ranca Buaya dan tembus ke Pameungpeuk yang membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati karena belum ada jalur jalan permanen, bahkan kondisi jalan cenderung ekstrem.

Sepanjang perjalanan ke Ranca Buaya, pelancong akan disuguhi pemandangan menarik. Mulai dari pemandangan Gunung Papandayan yang kawahnya terlihat dari jalan yang dilalui kendaraan. Atau pegunungan Cikuray yang lahannya digunakan untuk perkebunan teh, baik oleh perusahaan negara maupun perseorangan, menyuguhkan hawa pegunungan yang sejuk dan menyegarkan.

Sepanjang perjalanan, keindahan khas pedesaan dan dusun-dusun masyarakat Sunda dengan kesibukan penduduknya mengolah sawah, kebun atau industri rumahan sangat menarik untuk dinikmati.

Kondisi jalan dari Bandung hingga Garut memang bagus. Kawasan Nagreg pun sudah sangat tertata rapih.

Dari kawasan pegunungan Cikuray menuju persimpangan Cikajang ke Ranca Buaya, medan yang dilalui cukup berat. Jalan yang kecil, curam, berkelok-kelok. Kadang – kadang kondisi fisik jalan kurang baik karena gerusan hujan dan truk pengangkut hasil bumi yang kerap melintasi kawasan tersebut.

Perjalanan dari Bandung hingga Pantai Ranca Buaya memang relatif lama, sekitar 7 jam. Jaraknya kurang lebih 135 km dari Bandung. Padahal bila jalannya mulus, paling lama ditempuh 3 jam. Jalur pantai selatan – termasuk pantai selatan Garut – sebenarnya sudah menjadi jalur kesayangan para offroader yang senang mengarungi kawasan-kawasan yang masih belum tersentuh pembangunan fisik.

Sama halnya seperti para offroader yang menggunakan kendaraan bergardan ganda, penulis pun melakukan perjalanan dengan menggunakan Hardtop mengingat medan yang akan dilalui cukup berat, apalagi tersiar kabar belum ada jalan yang menembus Pameungpeuk.

Rombongan tiba di Ranca Buaya sekitar pukul empat sore, tidak ada loket karcis atau retribusi di sini. Plang atau papan nama yang menandakan kawasan tersebut adalah kawasan wisata pun tidak tampak.

Sayang saat rombongan tiba, cuaca mendung. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain memandangi pantai. Menonton kesibukan nelayan yang baru tiba dari melaut dan melihat ikan-ikan yang diangkut oleh sampan-sampan nelayan. Menurut penduduk setempat, para nelayan tak jarang membutuhkan waktu 8 hari 8 malam untuk memperoleh hasil maksimal.

Ada Penginapan

Seusai memandang sunset yang “sendu” karena tertutup awan sehingga matahari terkesan malu-malu, kami kemudian menyewa penginapan. Rombongan cukup beruntung. Di daerah terpencil tersebut masih terdapat penginapan yang kondisinya lumayan nyaman. Interior yang 90 persen terbuat dari kayu dan dikombinasikan dengan batu alam, perpaduan – yang sungguh eksotis.

Malam hari, kami melakukan pesta pantai untuk menyantap hidangan ikan laut, memandangi bintang, mendengarkan musik yang diputar tape recorder mini yang sengaja kami bawa, mengobrol, bermain kartu dan bercanda.

Kawasan wisata pantai Ranca Buaya jelas lebih sepi dibandingkan kawasan wisata Pangandaran. Selain jaraknya yang sangat jauh dari kota, infrastruktur pendukung pariwisata seperti ruang pertemuan, perahu sewaan, sepeda sewa, hotel berkelas dan restoran yang memadai belum tampak di sini.

Tapi justru dari kealamiannya, pantai Ranca Buaya tampak lebih menarik dari pantai yang lain.

Keesokan paginya, kami memutuskan untuk melihat gua kelelawar dan gua walet yang terdapat di kawasan pantai tersebut. Berbeda dengan daerah desa nelayan di sebelah barat pantai, kawasan pantai di sebelah timur terlihat lebih memesona. Kawasan pantai tersebut ditumbuhi rumput hijau yang cukup rata dan cukup nyaman untuk berpiknik dan rebahan.

Kawasan ini juga sering digunakan para pasangan muda yang sedang dimabuk cinta, atau sekelompok pemuda yang menggunakan motor secara berombongan untuk beristirahat sejenak di sini. Namun sayangnya, pantai Ranca Buaya tidak bisa untuk berenang. Lautnya berbahaya dan kabarnya terdapat pusaran yang tidak jarang membuat kapal terbalik dan penumpangnya hilang.

Kejadian naas tersebut pernah terjadi pada tahun 2000 lalu dan menewaskan 5 mahasiswa ITB yang sedang berlibur dan menggunakan perahu karet untuk bermain di laut. Hingga kini jenazah mereka tidak pernah ditemukan dan akhirnya para orangtua korban sepakat mendirikan lima buah menara yang dihiasi alumunium. Jika pada malam hari ada pesawat yang melalui kawasan tersebut pancaran lampu pesawat tampak memantul dari menara.

Di bawah menara tampak terlihat prasasti sederhana bertuliskan nama dan tanggal kelahiran para korban dan di bagian atas diberi tajuk “Melintasi Samudra Menembus Cakrawala”. Sungguh mengharukan dan mendebarkan hati.

PENGINAPAN – Salah satu penginapan yang terdapat di sepanjang Pantai Ranca Buaya.

Penulis mengetahui kisah naas tersebut justru setelah mobil yang ditumpangi rombongan tiba-tiba mogok tepat di bawah menara, di sebelah prasasti kecil padahal mobil baru saja diservis dan akinya masih baru. Penduduk setempat yang turut membantu rombongan sempat bercerita bahwa kerap terjadi mobil mogok di sekitar menara tersebut.

“Para korban mungkin minta diziarahi,” tutur mereka. Dan rombongan pun sepakat untuk melakukan ziarah singkat. Perjalanan kami sempat terhenti sekitar satu jam karena menunggu supir memperbaiki mobil.

Setelah melakukan ziarah, kami meneruskan perjalanan dengan tujuan Pameungpeuk. Sebelumnya kami sempat diperingatkan bahwa hujan sedikit saja bisa sangat membahayakan. Kombinasi medan yang cukup bervariasi, yaitu menyusuri pantai, memotong muara sungai dan “membabat” jalur pegunungan.

Namun niat dan tekad kami sudah bulat, yaitu harus menembus Pameungpeuk dari Ranca Buaya. Menurut perhitungan penduduk setempat, jalan buruk yang harus ditempuh adalah Bungbulang dan Cijayana yang hanya berjarak 10 km.

Demi mendengar jarak yang tidak terlalu jauh, tekad kamipun semakin kuat. Kami segera membeli bahan bakar tambahan dan berencana untuk membawa perbekalan makanan. Namun karena kawasan tersebut masih jarang penduduknya kami tidak menemukan penjaja makanan di kawasan tersebut, jadi kami hanya berbekal beberapa botol air mineral dan permen.

Dengan sangat percaya diri kami kembali melakukan perjalanan, ternyata medan yang dilalui cukup berat. Rata-rata tanjakan memiliki kemiringan 45 derajat sampai 60 derajat dan jaraknya sangat panjang. Kami sempat berpapasan dengan para pengojek, tapi tidak ada sedikitpun kendaraan beroda empat yang kami temui.

Para pengojek tersebut kadang membawa muatan yang berlebihan, yaitu tiga penumpang plus barang-barang yang dibawa penumpang. Sempat rombongan melihat pengendara ojek yang tidak mampu membawa muatan dan tergelincir ke bawah, hampir mengenai kendaraan rombongan.

Hampir di setiap satu kilometer rombongan menemui sungai dan jembatan kokoh berukuran besar, dengan lebar panjang 30 meter, lebar 5 meter dan tinggi tidak kurang dari 35 meter.

Tiba di Sungai Ciparat, rombongan sempat terkesigap, sebab jembatannya baru setengah jadi. Kami harus menuruni tebing sungai sedalam 30 meter dan mendaki tebing sungai yang kemiringannya mencapai 70 derajat.

Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali mencoba menempuh medan irasional tersebut. Ketua rombongan sempat memperingatkan supir untuk tidak memaksakan diri, namun supir memberikan jaminan bahwa kendaraan bisa melalui medan tersebut. Akhirnya kami pun bertekad untuk naik.

Namun apa yang terjadi, sungguh sudah bisa dibayangkan. Mobil tidak mampu mendaki, bahkan tergelincir ke dalam sungai dan mesinnya mati sama sekali. Susah payah rombongan berusaha “membangunkan” mobil, kami mendorongnya maju dan mundur, tapi mesin bergeming. Pakaian mulai basah dan kotor oleh lumpur, sementara perut keroncongan karena belum sempat makan siang.

Supir tidak putus asa, kamipun cukup beruntung karena kawasan tersebut sering dilalui para pengendara ojek. Banyak penduduk sekitar yang datang membantu kami.

Selama lima jam kami terjebak di dalam sungai, berbagai bantuan ditawarkan penduduk. Ada yang membawakan aki untuk memancing strum, ada yang membawakan tali tambang untuk menarik kendaraan, ada yang membawa pacul untuk membentuk tebing sehingga bisa dilalui kendaraan. Ada pula yang hanya menonton sambil bercerita bahwa tepat sepekan yang lalu serombongan offroader yang menggunakan 20 mobil yang dilengkapi dengan sling (tali baja) dan win (katrol) ternyata tidak mampu menempuh medan berat tersebut. Dan memutuskan untuk kembali ke Ranca Buaya.”Mereka balik lagi pak, karena mobilnya mogok persis di tempat bapak mogok di sini,” tutur Aep, pemuda setempat yang membantu rombongan.

MELINTASI JEMBATAN ? Sebuah mobil terpaksa harus berjalan perlahan di belakang penjual minuman saat melintasi jembatan karena belum rampungnya dasar jembatan.

Cerita itu jelas sempat menciutkan hati, tapi di pihak lain semakin menguatkan dan menantang diri untuk meneruskan perjalanan dan menembus Pameungpeuk.

Tepat pukul 16.30 mesin mobil kembali menyalak, sesaat setelah dipancing. Kamipun segera membangun strategi, ada yang membawa batu untuk mengganjal untuk menghindarkan kemungkinan mobil tergelincir, belasan orang memegang tali tambang untuk menarik mobil keluar dari tebing dan ada yang mendorong dari belakang.

Rencana itu berhasil! Mobil bisa menjejakkan bannya di sisi sungai yang lain, tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali bersorak gembira. Rasanya sangat luar biasa, mengingat selama lima jam kami sangat ketakutan oleh ancaman hujan dan banjir bandang yang bisa tiba kapan saja dan tidak mustahil menghanyutkan kami semua.

Setelah tiba di sisi bagian lain, tiba-tiba para penduduk menawarkan diri untuk mengantarkan rombongan hingga ke desa berikutnya yaitu desa Cijayana. “Soalnya di depan masih ada sungai lagi, dan tidak ada jembatannya juga, lalu jalannya juga hanya cukup untuk ojek,” tutur mereka santai.

Ya Tuhan, ternyata rintangan dan cobaan belum berhenti juga. Kali ini kami melakukan pengamatan dan observasi singkat untuk membangun strategi sebelum “menceburkan ” diri ke dalam risiko yang lebih besar. Tampak fisik jembatan yang akan dibangun di atas sungai tersebut baru kelihatan pancangnya saja setinggi 30 meter, bangunan yang lainnya masih nihil.

Sopir kami ternyata cukup nekat, meski kondisi mobil sempat miring karena melalui jalan setapak dan nyaris tercebur ke dalam sungai, ternyata mobil tiba di sungai dengan selamat dan sukses mendaki hingga sisi sungai yang lain, meski tidak perlu ditarik penduduk.

Setelah menempuh dua sungai maut itu, kami melanjutkan perjalanan ke arah Pameungpeuk sejauh 30 km. Kabarnya kondisi jalan sudah mulus.

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 18.00, mobil kami pacu kencang. Kami sungguh terkejut karena meski jalan yang dilalui sudah tertutup aspal mulus namun kontur jalannya sungguh ekstrem. Banyak sekali tanjakan dan turunan tajam dengan jembatan dan tikungan yang sulit diduga.

“Truk tidak akan bisa mampu melalui jalan ini, begitupun mobil kecil seperti kijang atau mobil keluarga lainnya karena kontur jalannya terlalu ekstrim,” ujar sopir kami.

Kendaraan yang kami gunakan pun selalu disetel gardan ganda meski jalannya sudah diaspal mulus. Pukul 19.00 Kami tiba di Pameungpeuk setelah melewati perkebunan di kawasan Cikelet yang kondisi jalannya sudah sangat baik. Perjalanan kami lanjutkan ke Pameungpeuk dan kami sempat makan dan beristirahat sejenak di sana.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Cikajang dan Garut dilanjutkan ke Bandung. Tepat pukul 24.00 Rombongan sudah kembali ke rumah masing-masing. Jabar Selatan menunggu siapa saja untuk menantang petualang yang senang melatih kemampuan, nyali dan kesabaran.