“Welcome to Tg Rhu: mangrove expeditions, cave explorations, eagle feeding, fish farm, river cruise, snorkeling, game fishing (day/night), sunset cruise.”

Foto-foto: PEMBARUAN/SOTYATI

SUNGAI KILIM – Sungai Kilim di taman nasional yang dikembangkan menjadi lokasi wisata lingkungan di Langkawi.

KALIMAT di atas bisa kita baca dari suatu papan sederhana di pinggir jalan raya di Langkawi, pulau tujuan wisata di ujung barat laut Malaysia. Memang sederhana saja. Tidak ada gerbang, apalagi bangunan semacam pos penjagaan. Papan bercat biru dengan tulisan putih itu dibuat dari rangkaian sepuluh bilah papan yang ditempel di tiang bambu.

Suasananya mengingatkan pada suasana pedesaan di kawasan Labuhan, Jawa Barat. Yang membedakannya, kawasan di wilayah Tanjung Rhu, di bagian timur laut Langkawi itu, tak ada permukiman penduduk. Jalan raya yang menghubungkannya dengan kota terbesar Kuah, dan kota-kota lain di pulau itu, sangat mulus.

Perjalanan menjelajah kawasan mangrove di Sungai Kilim diawali dari sebuah dermaga sederhana, sekitar 50 meter dari papan tadi. Ke Langkawi, memang tak lengkap kalau tidak mencicip wisata petualangan, wisata lingkungan.

Paling tepat, berangkat di pagi hari. Tinggal pilih perahu yang berjajar di dermaga itu. Sewanya berkisar Rp 600.000 sampai satu juta rupiah. Memang hanya perahu kecil berkapasitas sepuluh orang, yang dipasangi atap. Tak jauh berbeda dengan perahu nelayan di perairan Muara Karang, Muara Dadap, di Tangerang, namun jauh lebih bersih dan terawat. Tempat duduknya dilapisi busa. Pada salah satu sudut perahu, tampak jaket pelampung sesuai dengan jumlah penumpang.

Pemandangan didominasi air dan mangrove. Tak ada tanda-tanda permukiman. Bahkan tak ada tanda-tanda kehidupan satwa. Sesekali pemandu mengajak menepi, menjelaskan tentang mangrove dan fungsinya bagi lingkungan, jenis-jenis tumbuhan di kawasan mangrove, serta upaya pelestarian yang dilakukan pengelola taman nasional seluas 100 kilometer persegi itu. Bisa jadi membosankan bagi wisatawan yang lebih menyukai wisata belanja.

Memang membosankan jika dibandingkan dengan berperahu di Kali Cigenter di Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat, yang pepohonannya lebih bervariasi. Namun, bagi penyuka kegiatan alam bebas, pemandangan perbukitan di sisi lain bisa menjadi penawar kebosanan. Seperti batu berukir raksasa. Pada beberapa bagian, tampak rata, tanpa rekahan. Sungguh tantangan yang mengasyikkan bagi penyuka panjat tebing.

PEMBIAKAN IKAN – Salah satu tempat pemberhentian dalam penjelajahan Sungai Kilim, tempat pembiakan dan berkesempatan memberi makan ikan pari.

Rangkaian Kegiatan

Pada suatu titik, nakhoda mengurangi laju perahu, menuju jajaran perahu lain, yang sebagian besar penumpangnya berkulit putih, lalu mematikan mesin seperti lainnya. Tiba saatnya untuk eagle feeding, salah satu mata acara yang ditawarkan dalam penjelajahan Sungai Kilim.

Di awan elang cokelat berdada putih berseliweran. Bergantian elang menukik menyambar jerohan ayam yang sudah disiapkan masing-masing nakhoda. Saat yang paling mengasyikkan bagi pelancong untuk mengambil gambar. Kenyang mendapatkan makanan dari pelancong, elang-elang itu terbang dan bertengger di pepohonan. Tubuhnya yang kekar, tegap menantang.

Nakhoda kembali menepikan perahu ketika tiba di Fish Farm, bagan terapung, tempat pembiakan ikan. Di tempat itu, wisatawan disuguhi atraksi penjaga bagan terapung menyuapi ikan pari di salah satu kolam. Ia menjumput beberapa ikan dari baskom kecil, mengaduk-aduk permukaan air, beberapa saat kemudian seekor ikan pari muncul ke permukaan dan mencaplok makanan di tangan orang itu.

Tampak beberapa bagan terapung di kawasan itu. Semua tampak bersih, terawat, termasuk tempat buang air kecilnya. Tempat berikut yang dikunjungi adalah Gua Cerita. Gua ini mengingatkan pada gua-gua di wilayah Pacitan di Jawa Timur. Atraksi utama adalah patung alam stalaktit dan stalagmit aneka ukuran. Di gua ini, mudah menemukan asal bau khas yang sangat menyengat. Apalagi kalau bukan kelelawar. Atap gua memang dipenuhi kelelawar.

Penjelajahan selama dua jam di Sungai Kilim berakhir di restoran di tengah hutan bakau. Barn Thai. Restoran dibangun dari kayu, menyatu dengan alamnya. Atapnya tembus cahaya, memberikan cukup sinar walaupun berada di tengah kerimbunan hutan mangrove.

Walaupun cukup sejuk, restoran itu dilengkapi dengan pendingin udara. Bahkan di salah satu sudut tampak seperangkat alat band. Adakah tamu yang berperahu di malam hari?

Pertanyaan itu akhirnya terjawab. Tentu saja tidak ada tamu yang datang berperahu dua jam dari Sungai Kilim! Berlawanan dari pintu masuk dari Sungai Kilim, tampak jalan keluar yang lain. Jalan itu bagai jembatan apung di atas rawa-rawa, dibuat dari kayu, sepanjang 200 meter, dan menuju jalan besar!

Restoran itu ternyata tak jauh letaknya dari jalan besar, dan bisa ditempuh tanpa harus berperahu dua jam. Restoran juga menjadi titik akhir dari simpul panjang yang menyatukan peran pemandu, pemilik perahu, penjaga habitat elang, pemilik bagan terapung, penjaga kelestarian gua, dan pemilik restoran.

Sungguh kemasan kegiatan wisata yang tak terlupakan, apalagi ditambah kemudahan mencapai lokasi. Banyak penerbangan langsung ke Langkawi dari Kuala Lumpur. Lagipula, tidak sulit mendapatkan transportasi lokal di pulau itu.

PEMBARUAN/SOTYATI