Pengunjung Pulau Kembang disambut monyet.

Pulau Kembang dihuni ratusan monyet. [Foto-foto: Pembaruan/Dwi Argo Santosa]

Berkunjung ke Banjarmasin tak lengkap bila tak menjamah sungainya. Bukankah Banjarmasin disebut sebagai Kota Seribu Sungai? Barito adalah sungai terbesar yang melintasi ibukota Kalimantan Selatan (Kalsel) ini. Sejumlah objek wisata bisa didatangi melalui sungai itu seperti Pasar Terapung dan Pulau Kembang.

Pulau Kembang adalah sebuah delta yang terletak di tengah sungai Barito, termasuk wilayah Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Hutan wisata seluas 60 hektare ini terletak di sebelah barat Kota Banjarmasin.

Pulau Kembang menjadi tujuan wisata karena tempat ini merupakan habitat ratusan monyet dan beberapa jenis burung. Bila tengah beruntung, Anda bisa bertemu dengan salah satu spesies dari monyet-monyet Kalimantan, bekantan (Nasalis larvatus). Sayang, tak mudah bertemu bekantan karena maskot fauna Kalsel itu memiliki sifat pemalu. Ciri khas binatang ini, berambut cokelat kemerah-merahan dan berhidung panjang.

Di kawasan hutan wisata tersebut terdapat bangunan yang disebut kuil. Keberadaan kuil ini cukup menggambarkan bahwa yang datang ke Pulau Kembang tak cuma mereka yang ingin berwisata melainkan ada juga yang datang untuk keperluan berdoa.

Kuil itu berbentuk pendopo, dengan altar menghadap pintu gerbang. Altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji itu dihiasi dua buah arca berwujud kera putih (Hanoman).

Menurut Kamaludin (87), penjaga kuil, warga terutama keturunan China datang berdoa di altar ini. Mereka adalah orang-orang yang punya nazar. Sedangkan memberi makan monyet-monyet tersebut diyakini membawa keberuntungan dan kesejahteraan. “Di sini juga ada tempat memandikan anak-anak. Tak jarang ada yang membawa anak sakit ke sini untuk dimandikan. Sembuh tidaknya tergantung niat sang orangtua,” kata Kamaludin yang mengaku ia adalah turunan keempat penjaga kuil.

Kamaludin dengan fasih menceritakan bahwa hikayat pulau ini berawal sekitar tahun 1698 saat Inggris membuka kantor dagang di Banjarmasin. Hubungan Inggris dengan kerajaan Banjar memanas. Sekitar tahun 1750-an terjadi perang. Kekuatan Inggris dihancurkan termasuk kapal-kapal yang bersandar di Sungai Barito. Bangkai kapal Inggris itulah yang konon menjadi pulau. Sedangkan nama pulau ini diperkirakan muncul karena banyak orang datang ke tempat itu dengan membawa kembang untuk tujuan memberikan sesaji.

Kembang dan sesaji sering dihubungkan dengan hal-hal mistis. Demikian pula dengan berbagai kejadian di pulau ini. Kadang terlihat ada jembatan yang menghubungkan pulau tersebut dengan daratan. Kemudian sosok pangeran berbaju putih mengendarai kuda melintas di jembatan itu. “Tapi hanya orang-orang yang beruntung yang bisa melihat kejadian itu,” ungkap Ningrum, warga setempat. Sedangkan menurut Kamaludin, ia sendiri beberapa kali melihat sosok gaib berujud seorang putri. “Karena itu jangan berbicara kasar atau mengeluarkan kata-kata kotor di sini,” ujarnya.

Percaya atau tidak, itulah yang diyakini banyak orang mengenai Pulau Kembang. Tanpa kisah-kisah tersebut, sebenarnya Pulau Kembang sudah cukup menarik. Kerumunan monyet dan pemandangan sekitar pulau begitu mengasyikkan. Tentu bila cuaca cerah. Ratusan monyet jinak berkeliaran bebas. Para pengunjung biasanya berinteraksi dengan memberikan makanan berupa kacang. Tak perlu repot membawa makanan atau buah karena di sana terdapat sejumlah pedagang asongan. Untuk masuk ke tempat itu cukup membayar Rp 2.500 per orang seperti yang tertera di loket.

Lokasi pulau ini sekitar 10 menit perjalanan, menggunakan perahu kelotok, dari Pasar Terapung. Wisatawan datang ke Pulau Kembang setelah mengunjungi Pasar Terapung yang memang lebih populer. Kedua tempat itu hanya bisa dicapai dengan perahu kelotok. Dari tengah kota, sewa perahu bisa mencapai Rp 200.000 pulang-pergi dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Penumpang bisa melintasi sejumlah tempat makan yang cukup dikenal seperti Depot Soto Bang Amat, Depot Soto Bawah Jembatan, dan Yana Yani. Juga Museum Wusaka, tempat menyimpan berbagai benda pusaka Kerajaan Banjar.

Beruntung ada teman yang menunjukkan tempat yang lebih dekat yakni dari Kompleks Makam Sultan Suriansyah di Kuin Utara, Banjarmasin. Sewa dan lama perjalanan perahu hanya Rp 50.000. Hanya saja Pasar Terapung adalah tempat terjadinya proses jual beli layaknya pasar di daratan. Bedanya, pedagang dan pembeli masing-masing berada di perahu. Para pedagang dan pembeli yang berasal dari berbagai penjuru kota dan desa itu mulai bertransaksi dari pukul 05.00 hingga 07.30 waktu setempat. Pasar ini cukup ramai karena letaknya yang cukup strategis yakni antara Kabupaten Barito Kuala dan jalur lalu lintas ke Kalimantan Tengah.

Pasar terapung di Sungai Barito

Minat Khusus

Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin cukup memperhatikan keberadaan pasar ini. Bukan dalam kaitan kegiatan perdagangannya karena aktivitas di sana tidak menyumbang pendapatan daerah. Pemkot setempat memanfaatkannya sebagai objek wisata minat khusus. Langkah yang tepat. Kegiatan transaksi yang sederhana di atas perahu-perahu kecil itu ternyata sungguh menarik dinikmati. Terlihat benar bagaimana manusia yang terlibat di dalamnya adalah mereka yang begitu akrab dengan sungai.

Tangan-tangan keriput perempuan pedagang terlihat begitu cekatan merapatkan perahunya. Ketika perahu kelotok datang membawa wisatawan, para pedagang berperahu kecil begitu cepat menempel. Sama sekali tak ada ketakutan perahu mereka akan terguling karena alun atau tertabrak.

Isi perahu mereka beragam dan begitu berwarna-warni. Buah-buahan berupa rambutan garuda yang merah darah, pempaken yang mirip durian tetapi dengan daging buah berwarna oranye dan kesturi yang kehijauan dan masih banyak lagi. Lalu, bila sudah cukup mengambil gambar atau foto dan puas melihat suasana sekitar, jangan lupa mampir ke perahu warung. Selain warung makan yang menyediakan menu berat seperti Soto Banjar dan Ketupat Kandangan, ada juga warung kopi yang hanya menyediakan kue dan minuman. Menyeruput teh atau kopi panas sambil makan gorengan terasa nikmat di antara semilir angin pagi Barito. Jukung besar atau kelotok hilir mudik. Orang-orang begitu sibuk. Sedangkan di kejauhan terdapat jajaran lanting atau rumah terapung tempat anak-anak tengah berenang. Tak terasa kami telah menikmati sebuah budaya dan adat istiadat masyarakat Banjar. [Pembaruan/Dwi Argo Santosa]