Pelataran Parkir Cibodas – Gunung Pangrango indah berdiri di pagi hari, di pelataran Cibodas.

Berdentam-dentam rasanya hati bila melihat air terjun ini. Semburat air bertenaga, jatuh menerpa serombongan batu di bawahnya. Sekejap terselip takut, saat kita tepat berada di bawah air jatuhnya. Namun, bulir-bulir embun air yang terbawa angin ke mana saja, seperti memberitakan persahabatan sejati. Aku, sang air terjun perkasa, akan selalu menerima.
Itu makna yang kembali tersirat, saat kaki berkesempatan kembali mengempaskan jejaknya disana minggu lalu. Di lokasi yang terletak di kaki gunung Gede– Pangrango ini, kembali teringat betapa hingga sepuluh tahun terakhir ini tak banyak yang berubah di sana.
Pembukaan jalur masih harus melewati deretan pohon hijau. Meniti undakan-undakan bersahabat. Menikmati segar udara hasil fotosintesa, yang kualitasnya amat jauh berbeda ketika berada di perkotaan. Napaspun masih agak tersengal sedikit. Sekadar mengingatkan bahwa kita berada di kawasan konservasi, yang telah berumur ratusan tahun sekarang. Hingga akhirnya mata ini melihat kembali telaga biru. Lengkap dengan aliran air bersih yang mengalir disebelahnya. Tak banyak yang berubah.
Namun seperti layaknya juga arus globalisasi yang menerpa sekian banyak orang dinegeri ini. Bohong, kalau kita tak perlu berubah untuk menawar hidup bersama alam. Benar saja, tepat setelah telaga biru kini berdiri kukuh kirai jembatan panjang. “Untuk memudahkan wisatawan mencapai daerah air terjun Cibeureum,” ucap seorang penjaga taman nasional yang kebetulan berpapasan.
Kini jalan rawa, tepat sebelum pos Panyangcangan, telah dibuatkan jembatan kayu. Lebih horizontal, ketimbang berlelah mendaki. Ini lebih bersahabat, ketimbang mengotori kaki, karena rembesan rawa yang seingat saya memang kadang mengganggu dibawahnya. Terlihat lebih cantik dan rapi, bersahabat karena memudahkan.
Hal serupa juga kemudian ditemui, ketika makin mendekati air terjun paska pos Panyangcangan. Deretan kayu-kayu yang tersusun rapih, seperti menjadi pintu gerbang. Menuju suasana alam, air terjun “Merah” yang terdengar mengelegak di atas sana.
Di Cibeureum, kini juga terlihat beberapa bangunan baru menghias.
Sebuah altar kayu, berdiri tepat diatas aliran sungai Cikundul. Ada juga sebuah bangunan mirip altar namun lengkap dengan atapnya juga menghias kini. Membuat kita lebih nyaman menikmati alam, tanpa harus kegerahan.
Tempat wisata alam ini tampak dibuat lebih bersahabat kini. Menjauhkan orang-orang dari bayangan sulit menikmatinya. Membuat makin dekat alam, dengan banyak orang. Yang berarti makin banyak orang yang berkesempatan mengenali alamnya. Dan memutuskan mencintanya.

Menuju Lokasi Cibeureum

Tak perlu berdenyut saat kita memutuskan untuk menyambangi air terjun ini. Bila memulai perjalanan dari Jakarta, arahkan saja laju kendaraan menuju kawasan Puncak. Tiba di persimpangan Cibodas, masuklah ke arah daerah Taman Nasional. Parkir kendaraan di pelataran parkir, yang teramat luas di area desa Rarahan, dan kita bisa memulai perjalanan dengan berjalan kaki.
Bila memulai perjalanan dari Bandung. Arahkan mobil anda ke daerah Cianjur. Terus menuju area Puncak. Tiba di simpang Cibodas, setelah Cipanas, lakukan hal serupa seperti yang diungkapkan sebelumnya.

Aula Hijau – Bangunan berbentuk aula terbuka juga kini dibuat untuk menambah nyaman wisatawan yang mengunjungi.

Jangan lupa melapor dulu ke pos PHPA Taman Nasional Gede – Pangrango yang berada di dekat pelataran parkir. Bayar karcis tanda masuk, dan silahkan menikmati indahnya alam. (slg)

Naskah dan Foto: Sulung Prasetyo (Sinar Harapan)