Pukul 04.35, menjelang subuh, Sang Jenderal tertembak mati di rumahnya sendiri. Kini, rumah itu menjadi saksi bisu kekejaman Gerakan 30 September 1965/PKI.

Kediaman Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani terletak di Jalan Lembang No. D-58, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah yang resmi menjadi Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani, pada 1 Oktober 1966 atau tepat setahun setelah terjadinya peristiwa G30 S/PKI, menyimpan kisah tak terlupakan bangsa Indonesia.

Walaupun tampak seperti rumah tua, bangunan dengan arsitektur indische ini sangat terawat, nyaman dan asri berkat pohon-pohon yang tumbuh di bagian depan dan belakang rumah. Di sisi kiri bagian luar, terlihat mobil Chevrolet tua berwarna biru milik Jenderal Ahmad Yani. Petugas museum, Sersan Mayor H. Sartono, mengajak pengunjung masuk dari arah belakang rumah.

Cerita pun bermula di ruang tamu bagian belakang. Tempat ini menjadi ruang dokumentasi berupa foto-foto lama. Diantaranya, beberapa foto rekonstruksi saat pembunuhan, data riwayat hidup. Terdapat juga, gambar penggalian dan pengangkatan tujuh jenazah Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, pelepasan jenazah dari Mabes AD, foto situasi upacara pemakaman di TMP Kalibata.

Setelah itu, pengunjung bisa melihat kamar mandi anak-anak dan dapur. Lalu, melangkah menyusuri lorong yang menghubungkan dapur dengan bagian dalam rumah, dibatasi oleh sebuah pintu kaca. Pengunjung bisa menyaksikan bukti penembakan berupa bekas peluru, menyisakan retakan dan lima lubang pada kaca.

Di depan pintu dapur inilah, Jenderal Ahmad Yani tersungkur bersimbah darah dan menghembuskan nafas terakhirnya. Lantai tempat beliau meregang nyawa pun diberi tanda peringatan.

Memasuki ruang makan dan minibar. Penataan meja, kursi, lemari, souvenir yang beliau beli saat berkunjung ke luar negeri dan piagam-piagam penghargaan, serta ucapan belasungkawa, tidak berubah, masih sama seperti dulu, saat belum menjadi museum. Foto-foto Pahlawan Revolusi di atas dinding ruang makan menjadi tambahannya.

Beranjak ke ruang khusus. Selama menjabat sebagai Menpangad, beliau menjalankan tugasnya, mengadakan briefing dengan asisten-asistennya di tempat ini. Sebuah lukisan dengan ukuran besar terpampang, menggambarkan penculikan, dinamakan Subuh yang Berdarah. Dilukis oleh Mayor Jenderal TNI Umar Wirahadi Kusumah pada 1967.

Kemudian, pengunjung dibawa menuju ruang santai. Ruangan ini menjadi tempat beliau bersantai, sambil membaca dan mengawasi putra-putrinya bermain ayunan di taman kecil, halaman belakang rumah. Di tempat tersebut juga disimpan perlengkapan golf, salah satu olahraga kegemaran almarhum, aquarium, foto-foto dan benda lainnya.

Selanjutnya, ada ruang tunggu tamu. Sebelum resmi diterima oleh pria kelahiran Jenar, Purworejo, 19 Juni 1922 ini, para tamu biasa menunggu di ruang tersebut. Selain itu, beliau turut menggunakan ruang itu untuk menerima tamu-tamu yang belum pernah datang.

Ada beberapa koleksi cenderamata dari dalam dan luar negeri. Di sebelah ruang tamu, tertata ruang ajudan. Tepat di belakang kursi ajudan, terdapat lemari dengan buku-buku bacaan tersusun rapih dan foto-foto semasa dinas.

Melangkah ke ruang tidur Jenderal Ahmad Yani. Ruang itu tidak terlalu besar, dengan kamar mandi didalamnya. Isi ruangan ini antara lain, sebuah tempat tidur, meja rias, dan dua buah lemari pakaian. Pada sudut kanan atas dinding terlihat bekas sambaran petir.

Etalase kecil memperlihatkan senjata yang dipakai untuk menembak ayah dari delapan anak ini, lengkap dengan sisa peluru. Lalu, replika baju tidur, uang gaji terakhir beliau, cincin, kacamata, keris, tongkat komando, pulpen, dan lain-lain.

Ruang terakhir adalah kamar tidur anak-anak, terdiri dari dua ruang. Lagi-lagi, kita menemukan dokumentasi foto, pakaian dinas, serta boneka-boneka pemberian beliau.

Singgah di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani seperti membuka tabir kelam sejarah bangsa ini. Tidak menutup mata, peristiwa itu sudah menjadi bagian dari sejarah yang patut diketahui generasi muda.

Sumber: Majalah Travel Club