Pemerintah Daerah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (Kaltim), melalui sektor pariwisatanya berupaya agar Pulau Derawan bisa menjadi tujuan wisata unggulan, terutama bagi para turis mancanegara. Kaltim yang kaya akan berbagai sumber daya alam, di samping berbagai prasarana lainnya, kini sektor wisata akan menjadi prioritas pertama pembangunan tahun mendatang.

Selama dua dekade musim kunjungan wisata ke Derawan, target telah tercapai walau terbatas hanya para wisatawan lokal dan tingkat ASEAN yang telah berkunjung ke sana. Baru-baru ini, penulis mengikuti perjalanan artis tahun 70-an, Yessy Gusman, yang baru saja meresmikan sebuah Taman Bacaan “Darul Ilmi” di Desa Batuah, Kecamatan Loajanan, Tenggarong, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim. Kemudian perjalanan yang dipandu oleh seorang warga asli Biduk-biduk dilanjutkan ke Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kaltim, hingga desa-desa di Kecamatan Biduk-biduk kawasan terpencil di Tanjung Mangkaliat.

Perjalanan tersebut sebagai survei Yessy Gusman untuk mengetahui kondisi dan prasarana apa yang diperlukan dalam mendirikan sebuah Taman Bacaan Anak di desa terpencil itu, selain mencari potensi alam yang bisa dikembangkan. Menggunakan dua mobil Toyota Kijang carteran, di pagi yang cerah kami berangkat ke arah utara menelusuri kawasan punggung bukit areal pengeboran minyak di Bontang, lalu mengarah ke Timur menuju wilayah Sangatta,dan merambah hutan lindung Gunung Kudung yang masih beraspal dengan kondisi jalan sedikit berlubang.

Menjelang malam tiba di kawasan Dusun Ambur Batu, kami menghadapi medan jalan off road sepanjang 25 km, berupa kerikil dan tanah merah yang licin hingga wilayah Muara Wahau.

Pada km 374 Desa Muara Wahau, ternyata jalur jalan semakin berat dan licin karena belum terkena aspal. Di situ tampak puluhan kendaran berbagai jenis terutama truk dan bus umum antre dan saling bergantian untuk mencoba melintas medan bergelombang dan lubang berlumpur pekat setebal 40 cm.

Banyak kendaraan tidak mampu melintas kecuali jenis jip yang dilengkapi dobel gardan yang dapat lolos.

Beberapa kendaraan meraung-raung mencoba mendaki di malam gelap itu namun tidak berhasil melintas sehingga jalur jalan tertutup dan puluhan kendaraan yang terjebak terpaksa bermalam di tengah hutan berlumpur tersebut.

Pagi harinya satu per satu kendaraan berusaha ditarik oleh tenaga relawan sekitar 40 orang, yang secara bergantian saling menolong agar terlepas dari medan berlumpur.

Setelah berhasil, perjalanan dilanjutkan. Pada Km 547 kendaraan kami melintas sisi garis Khatulistiwa yang terletak di antara wilayah Muara Wahau dan Kelai dan tiba pada malam harinya, di Tanjung Redeb, Ibukota Kabupaten Berau, perjalanan sepanjang 923 km itu ditempuh selama dua hari dua malam.

Gaung Derawan

Dalam peta Asia, nama Derawan memang tidak tercantum. Namun ‘gaung Derawan’ tentunya telah terdengar juga oleh beberapa kelompok kecil turis bule maupun perorangan. yang sering disebut petualang/avonturir. Mereka melanjutkan perjalanan dari Bali, meluangkan sisa waktunya untuk juga berkunjung ke Pulau Derawan.

Di Tanjung Redeb, penulis bertemu dengan kelompok turis bule tersebut, saat bermalam di Hotel Tepian Segah, rupanya mereka pernah juga terjebak di Batu Ambur – Muara Wahau.

Mereka dari Eropa dan Amerika yang bukan dari kelompok paket kunjungan sebuah biro perjalanan.

Saat di hotel tersebut terlihat ada sedikit perselisihan dengan pengemudi, karena mereka tidak puas dengan sempitnya waktu saat berkunjung ke Derawan .

Menurut pemandu wisata Hotel Tepian Segah, perjalanan ke Pulau Derawan mudah dan hanya dua jam dengan speed boat dari tepi sungai Kalai pelabuhan Tepian Segah, Tanjung Redeb.

Namun bukan itu masalahnya menurut mereka, melainkan saat berangkat menuju Berau dari Bandar Udara Sepinggan di Balikpapan mereka menggunakan kendaraan mobil carter. Melalui jalur lintas darat, perjalanan itu tidak mereka risaukan juga bukan masalah jarak dan harga carter kendaraannya melainkan kondisi jalan rayanya yang sangat buruk tidak diberi tahu sebelumnya oleh pengemudi.

Masalah ketepatan waktu sangat diperhitungkan oleh mereka, jadi selama perjalanan melalui lintas darat memang amat sulit diprogram, baik oleh para petugas dari biro perjalanan sekalipun.

Jadi kondisi jalan raya menuju wilayah Kabupaten Berau yang sangat buruk dan sudah lama dalam kondisi terbengkalai, merupakan kendala yang perlu perhatian Pemda setempat. Yang telah terprogram dan terlaksana dengan baik, selama ini baru paket perjalanan dari Tanjung Redeb, menuju Pulau Derawan, yang terlayani secara rutin dengan speed-boat dan feri.

Memang, secara umum di Pulau Derawan telah tertata dengan apik, baik kekayaan flora maupun fauna lautnya dan mereka bisa juga dapati berbagai sarana akomodasi yang cukup memadai. Pantainya bersih dan taman lautnya kaya aneka terumbu karang serta keragaman berbagai jenis ikan hias beraneka warna.

Di tujuan wisata tersebut juga mereka bisa berkomunikasi dengan lancar saat me nemui suatu komunitas masyarakat dari beberapa etnis Asia yang hidup rukun dan damai.

Demi kepedulian akan keragaman hayati laut di situ juga terdapat lokasi pembudidayaan Penyu Hijau (Chelonia mydas), satwa yang sudah langka dan dilindungi hukum internasional terdapat di situ. Juga terdapat lahan bagaimana cara penangkarannya bila Penyu telah melepas telurnya.

Demikian diungkap salah seorang ‘turis bule’ tersebut, apa yang dia nikmati selama perjalanan dan sepulang dari Derawan, kepada penulis di Hotel Tepian Segah, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kaltim.

Jatah Bikin Jalan

Setelah perjalanan yang melelahkan dan jebakan lumpur di Muara Wahau, paginya kami melanjutkan dari Tanjung Redeb menuju Desa Biduk-biduk sejauh 240 km ke arah tenggara. Setelah jalan antardesa terlewat, kami menelusuri kawasan HPH, cukup lebar. Maklum jalan ini selalu dilewati truk-truk besar.

Tapi ada juga jalur jalan yang terbengkalai, menandai masa kontrak HPH tidak diperpanjang.

Dari keterangan penduduk, hal itu karena ada semacam kewajiban bagi para pengelola HPH untuk membuat jalan penghubung yang dijatah oleh Pemda setempat, namun karena masa kontraknya tidak diperpanjang oleh Pemda, perawatan dan perbaikannya telantar.

Terlihat beberapa kawasan bekas rumah karyawan rusak dan terbengkalai akibat tidak dihuni lagi, itu terdapat di wilayah Talisayan.

Pada ruas jalan yang seharusnya perbaikan dilakukan Pemda, terutama mendekati kawasan Hutan Lindung di wilayah Seguntur banyak yang rusak.

Juga terdapat jembatan sempit yang dialiri sungai kecil belum dibuatkan jembatan yang permanen, di samping kurangnya rambu-rambu arah jalan dan nama tempat. Hal itu akan menyulitkan bila berkendaraan dilakukan malam hari, karena kawasan permukiman umumnya berada di balik ruas jalan.

Memasuki pesisir pantai kawasan Teluk Sulaiman, merupakan jalan desa yang sempit dan harus hati-hati bila berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan.

Menjelang petang kami memasuki wilayah Desa Biduk-biduk ditandai dengan rimbunan perkebunan kelapa, sepanjang 15 km. Sedang kawasan permukimannya berada pada sepanjang garis pantai berpasir putih hingga Tanjung Mangkaliat.

Perjalanan hingga memasuki Desa Biduk-biduk sepanjang 240 km, itu pun ditempuh selama 8 jam, hal itu karena buruknya kondisi jalan. Angkutan dengan bus maupun angkutan pedesaan belum ada.

Bermalam di penginapan kecil, penulis mendapat keterangan dari tetua setempat, H Hasbullah (64), bahwa mayoritas penduduk di Biduk-biduk sebagai pendatang pertama tahun 60-an, adalah komunitas asal Sulawesi Selatan, yang terdiri dari suku Bajo, Bugis dan Mandar.

H Hasbullah (63), ayah dari 6 orang anak, adalah seorang mantan Kepala Desa Biduk-biduk, Kec Biduk-biduk, Kab Berau, Kaltim. Sebagai kepala desa sejak tahun 1963, menjabat selama 5 periode. Di masa pensiunnya dia mengelola penginapan ‘Lilis Lestari’, dengan 6 kamar yang merupakan penginapan satu-satunya di desa tersebut.

Saat diwawancara penulis, dia menuturkan, “Desa kami tidak pernah dikunjungi seorang wartawan apalagi bintang film seperti Ibu Yessy yang punya niat mulia mendirikan Taman Bacaan Anak, nah lihat itu, sejak malam tersiar kabarnya dan pagi ini mulai dari anak kecil, remaja hingga usia lanjut ingin difoto bersamanya. Langka sekali pejabat daerah bersilaturahmi ke sini, padahal banyak potensi alamnya, selain masyarakatnya sebagai nelayan tangguh juga dari hasil kebun kelapa menghidupi masyarakat di sini.”

Danau Labuan Cermin

Menurutnya, Biduk-biduk sebagai desa penghasil kelapa bulat terbesar di Kaltim, yang setiap bulan 75.000 ton dipasok ke Samarinda, Tarakan, Berau, Balikpapan dan Tenggarong.

Setelah melihat langsung ke beberapa lokasi selama dua hari, ternyata Biduk-biduk, lebih memukau, ketimbang cerita tentang Derawan dari seorang turis’bule’.

Di desa terpencil tersebut terdapat sebuah danau, yang oleh penduduk setempat dinamai ‘Danau Labuan Cermin’, yang terletak di tengah-tengah permukiman dengan hamparaan airnya bagai ‘cermin/kaca’, terlihat kebiru-biruan, dan saking jernihnya air danau tersebut hingga batu padas di dasarnya dapat terlihat kasat mata.

Disebut Labuan, karena sebagian ruas alur air danau yang cukup deras mengarah muara, pada sisi kiri dan kanannya dijadikan dermaga sebagai penambatan perahu pada bagian muka rumah setiap pemilik perahu.

Limpahan air danau ke muara, hanya 50 meter hingga batas lidah pantai, namun pada pertemuan air tersebut airnya tidak terasa asin, mungkin karena besarnya deras air danau

Desa Biduk-biduk yang berpenduduk 1.500 keluarga menempati areal permukiman di sepanjang 6 km pada garis pantai Teluk Sulaiman, yang merupakan kawasan Tanjung Mangkaliat.

Mata air danau ini, berasal dari air yang keluar dari puluhan gua yang terdapat di bagian selatan danau, pada kawasan hutan lindung yang lebat dan secara adat dilindungi oleh warga setempat dengan sanksi berat apabila kedapatan menebang pohon.

Berbagai jenis pohon kayu tropis mengelilingi danau seluas 50 ha dan terdapat 3 pulau yang merupakan aset bagi warga sebagai sumber air bersih dan air minum yang hingga kini jaringan pipa air telah terpasang ke seluruh perumahan warga desa yang dikelola PDAM Kecamatan Biduk-biduk

Juga bagi warga lainnya telah terpasang saluran air ke Desa Pantai Harapan dan Desa Tanjung Perepat yang letaknya puluhan kilometer ke arah barat dari desa tersebut.

Sementara puluhan gua berada di bagian selatannya sebagai sumber mata air danau, hingga kini masih belum ada kelompok peneliti gua (speleolog) dari Indonesia maupun luar negeri yang mencoba menelusuri relung dan lika- liku kedalaman gua hingga ke hulunya yang merupakan kawasan hutan lindung yang masih lebat.

Yang uniknya, di Danau Cermin tersebut terdapat ikan Kakap Merah, yang biasanya hidup di kedalaman laut yang berbatu karang, namun bagi masyarakat Biduk-biduk yang biasa mencari ikan di situ, cukup mudah menangkapnya, dengan cara di pancing atau di jala dan jenis ikan tersebut cukup banyak untuk dikonsumsi .

Kembali diutarakan Hasbullaah, “Keberadaan ikan Kakap Merah di danau itu memang mengherankan, itu berkah kebesaran Tuhan, yang mungkin telah puluhan atau mungkin ratusan tahun ikan itu beradaptasi dan berkembang biak secara alami karena sangat dekat dengan batas pantai. Mengenai keanehan ikan Kakap Merah yang terdapat di air tawar tersebut siklus kehidupannya, mungkin saja seperti kehidupan ikan Salmon di laut Kanada, yang bila masa bertelur akan secara berkelompok berenang menuju hulu suatu danau. Selain ikan Kakap Merah, juga beberapa ikan lainnya seperti sejenis ikan Nila dan Gabus terdapat juga di danau itu, sehingga penduduk bisa juga mendapat berbagai sumber protein hewani dari ikan darat.”

Di samping itu ada suatu kelompok masyarakat dari suku Dayak Basap, di kawasan Teluk Sumbang Kecamatan Biduk-biduk yang masih hidup nomaden berpindah-pindah, tidak menetap), namun lebih dikenal sebagai masyarakat yang menghuni gua-gua.

– UTUN LK